Connect with us

News

Aktif Dukung Perkembangan Pers, Gubernur Kalsel H. Muhidin Bakal Mendapat Anugerah Pena Emas

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Banjarbaru, koin24.co.id – Gubernur Kalimantan Selatan H.Muhidin dipastikan bakal menerima anugerah Pena Emas dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2025 pada 9 Februari 2025 mendatang.

Kepastian penerimaan Angerah Pena Mas ini pun disampaikan langsung Ketua PWI Pusat Hendry CH Bangun saat audensi di ruang rapat Kantor Gubernur Kalsel, Banjarbaru, pada Sabtu (1/2/2025).

Dalam audiensi tersebut, pembahasan difokuskan pada penghargaan Pena Emas yang akan diberikan kepada Gubernur Muhidin.

Penghargaan yang diberikan sebagai bentuk apresiasi atas kontribusinya yang besar dalam memajukan dunia pers, khususnya dalam mendukung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Kalsel.

“Anugerah Pena Emas ini merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan kepada tokoh-tokoh yang dinilai memiliki dedikasi luar biasa dalam mendukung kemajuan dunia pers dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat pers di Indonesia,” ucap Ketua Umum PWI Pusat Hendry CH Bangun.

Gubernur Kalsel, H. Muhidin, yang selama ini aktif dalam menciptakan iklim pers yang sehat dan kondusif di Kalimantan Selatan, dinilai layak menerima penghargaan tersebut.

“Kami sangat bangga dan berterima kasih atas dedikasi Gubernur H. Muhidin dalam mendukung perkembangan dunia pers di Kalsel,” imbuh Hendry.

Terkait dengan proses penganugerahan, Hendry menjelaskan Gubernur Muhidin akan berpidato di hadapan juri yang terdiri dari wartawan-wartawan senior pada Puncak Peringatan HPN nanti. Pidato yang disampaikan itu berkaitan dengan latar belakang pemikiran untuk kepentingan bangsa dan negara, serta Pers Nasional khususnya.

“Gubernur dipersilakan untuk memberikan gagasan-gagasan serta pandangannya mengenai upaya memajukan dunia pers, baik di Kalimantan Selatan maupun di tingkat nasional,” jelasnya

Pandangan-pandangan yang disampaikan oleh Gubernur Muhidin tersebut akan menjadi masukan penting bagi PWI dalam mengembangkan organisasi ini.

“Pandangan tersebut juga akan menjadi acuan bagi kami untuk terus memperkuat organisasi PWI sebagai organisasi nasional tertua yang memiliki lebih dari 30.000 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

Gubernur Kalsel, H. Muhidin selama ini dinilai aktif dalam menciptakan iklim pers yang sehat dan kondusif di Kalsel. Keaktifannya dalam mendukung dunia pers di Kalsel membuatnya dinilai layak menerima penghargaan Anugerah Pena Emas.

“Alhamdulilah, saya merasa sangat terhormat dan bersyukur atas penghargaan ini. Pers merupakan pilar penting dalam pembangunan masyarakat, dan saya selalu berusaha untuk memberikan dukungan penuh kepada teman-teman wartawan di Kalsel,” tuturnya.

Menanggapi penganugerahan, Muhidin menekankan, anugerah ini bukan hanya untuk pribadi, tetapi juga untuk semua pihak yang telah bersama-sama mendukung pengembangan dunia pers di Kalsel.

“Saya percaya bahwa pers yang bebas dan profesional adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, saya akan terus mendukung upaya-upaya untuk menciptakan iklim pers yang sehat di daerah ini, agar pers dapat terus berkontribusi positif dalam pembangunan,” pungkasnya.

Audiensi ditutup dengan penyerahan buku berjudul Bumi Lambung Mangkurat dari PWI kepada Gubernur Kalsel. Buku tersebut mengangkat potensi luar biasa Kalsel dan diharapkan dapat dibaca oleh masyarakat di seluruh Indonesia, terutama melalui para jurnalis yang hadir dalam acara HPN 2025.

Direncanakan, pada acara puncak tersebut, buku Bumi Lambung Mangkurat juga akan diserahkan kepada Presiden RI Prabowo Subianto oleh Gubernur Kalsel.

Continue Reading

News

HPN 2025 Kalsel: Zainal Helmie Pandai Mengelola Kompleksitas

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Zainal Helmie Masdar,Ketua PWI Provinsi Kalimantan Selatan.

Banjarmasin, Koin24.co.id – Ada sejumlah tokoh kunci di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang turut mengantar kesuksesan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Banjarmasin, Kalsel.

Mereka antara lain Gubernur Kalsel H. Muhidin, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalsel HM Muslim serta Koordinator HPN Daerah Kalsel Toto Fachrudin, dan Ketua PWI Kalsel Zainal Helmie. Mereka ini dan tentu sejumlah orang yang tidak disebutkan satu per satu di sini, menjadi unsur penting penyebab HPN sukses.

Decak kagum dan pujian keberhasilannya menggema, menjadi bahan obrolan di mana-mana hingga berhari-hari setelah HPN usai. Gaung ketulusan pelayanan terpateri dalam ingatan. Bahkan terekam di langit!

HPN itu sendiri sudah berakhir pada puncak hari peringatannya, 9 Februari 2025 di Kampleks Perkantoran Gubernur Kalsel di Banjarbaru. Perhelatan HPN menjadi ajang silaturahim antar insan pers, termasuk pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari 30 provinsi yang hadir beserta keluarganya.

Dalam perhelatan HPN di Kalsel ini kita boleh bertanya urusan HPN kepada Zainal Helmie dan Toto Fachrudin. Mereka ini seperti encyclopedia berjalan tentang HPN. Sedang di kepanitiaan pusat ada juga sosok penting yaitu Hendry Ch Bangun, penanggung jawab HPN dan Raja Parlindungan Pane Ketua Panitia Pelaksana HPN Pusat.

Saya ingin bercerita sedikit tentang salah seorang tokoh kunci HPN yang berada di balik panggung. Dia adalah Zainal Helmie, Ketua PWI Kalsel.

Fotonya terpampang di spanduk-spanduk HPN bersama Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun dan Gubernur Kalsel H. Muhidin.

Bagi warga yang tinggal di Kompleks PWI di Kelurahan Sungai Andai, Banjarmasin Utara, pasti sudah mengenal sosok kalem yang bernama lengkap Zainal Helmie Masdar ini. Dia bersama keluarga memang tinggal di kompleks tersebut.

Zainal Helmie dalam menggerakkan HPN diibaratkan sebagai gerbong kereta api paling depan. Sebagai lokomotif yang punya power tinggi.
Bersama Toto Fachrudin, ia menggerakkan kekuatan-kekuatan penting dalam mewujudkan terlaksananya HPN dengan baik.

Meskipun sebagai lokomotif, dia lebih banyak tampak di belakang. Di belakang layar, di belakang gemerlapnya panggung HPN. Sosoknya dapat dibilang low profile, rendah hati.

Sebagai pimpinan PWI Kalsel sebagai tuan rumah perhelatan besar dengan tamu sekitar 3000 orang, termasuk Menteri Kebudayaan Dr. Fadli Zon, ia memimpin dengan kepekaan rasa.

Contoh paling kecil, ketika ada anggota tim panitia dari Jakarta bilang, “Durian Banjarmasin legit-legit,ya”, Zainal Helmie menangkap makna cletukan yang mungkin hanya untuk bumbu obrolan ringan (small talk).

Akan tetapi Zainal Helmie memaknai lebih luas. Akibatnya kami yang berada dalam rombongan itu “disandra” tidak boleh kembali ke hotel dulu.

Kami digiring ke tempat penjual durian. Setelah puas menikmati durian lokal hasil bumi Borneo, kami baru boleh kembali ke hotel.

Karena kepekaan Zainal yang tinggi, saya sebagai tamu dari PWI Pusat, memilih diam, tidak memberi komentar apapun tentang makanan atau sesuatu yang enak.

Tetapi posisi diam juga kurang tepat dalam pergaulan. Bisa dibaca lain. Bisa dianggap kurang berkenan dengan keadaan. Harus ada small talk, supaya suasana lebih cair untuk mendukung keberhasilan kerja sama.

Dalam suasana kerja sama yang kompak, kami pun bisa saling mengerti mana gurauan, mana pernyataan, mana pertanyaan, dan mana permintaan.

Kepekaan atau sensitivitas yang tinggi plus pengelolaan kompleksitas yang tepat, membuat semua nyaman. Dan, kesuksesan pun terwujud.

Kemampuan-kemampuan seperti itulah yang dimiliki Zainal Helmie wartawan senior yang kini sebagai Direktur Utama PT Klikkalsel Media Mandiri, perusahaan pers Klikkalsel.com. Dia pandai mengelola kompleksitas. (Catatan M. Nasir, Wartawan Harian Kompas 1989- 2018).(***)

Continue Reading

Kopini Tamu

Merasa Raja dari Wakanda

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Ian Situmorang

Cerita Dongeng Ian Situmorang

Jakarta, Koin24.co.id – Di negeri Wakanda hidup seorang Raja bernama Galaxy. Merasa memiliki kekuasaan tanpa batas, ia pun mengatur segala ragam level pimpinan bangsa. Ia sesukanya menujuk orang menjadi petinggi negeri.

Penunjukan tokoh bukan karena cakap dan berkepribadian kuat. Dasarnya (secara tidak tertulis), adalah harus tunduk kepada Raja dalam segala hal. Petinggi bak boneka, begitulah.

Raja Galaxy berkuasa dan seolah tiada akhir. Ia pun semakin liar dan berbuat seenaknya. Pikirnya, mana mungkin ada panglimanya berani bersuara dan bertindak di luar kendalinya.

Alkisah, di depan para petinggi negeri itu diadakan pemilihan Panglima secara terbuka (ceritanya mau demokratis). Panglima baru negeri Wakanda adalah hasil kesepakatan dan sesuai regulasi yang berlaku. Sang Raja senang, karena yang terpilih adalah orang yang sudah dikenal baik dan berpengalaman di berbagai kegiatan.

Everybody hepi, begitulah. Suasana di negeri Wakanda di bawah arahan Panglima baru bernama Wakeup berjalan baik. Masyarakat semakin antusias mengikuti aturan main yang disusun ulang secara apik oleh mister Wakeup dan staf professional di sekitarnya.

Tak ada lagi tokoh yang dikultuskan. Negeri Wakanda harus berjalan sesuai konstitusi yang menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi, tanpa harus seijin Raja. Berani ya melawan arus.?

Waduh. Suasana menjadi tegang bagi pihak tertentu, khususnya bagi Raja Wakanda. Dia mulai merasa matahari tidak lagi berpusat padanya. Perlahan, pamor Jenderal Wakeup makin mengkristal.

Sang Raja tidak tinggal diam. Harus bertindak, lewat diplomasi atau kekerasan angkat senjata. “Apa-apaan tuh si Wakeup. Saya yang membuatnya mejadi Panglima, tapi tidak mau tunduk,” gumam tuan Galaxy.

Panglima, Jenderal Wakeup keukeuh pada kebenaran menjalankan roda negeri sesuai amanah yang diterima. Bukan tidak menghormati para senior yang hidupnya saat ini telah mapan, tapi harus mengedepankan rule of the game.

Bagi Jenderal Wakeup, orientasi kerja dan pengabdian adalah untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk menyenangkan hati secara pribadi Raja Wakanda. Inilah yang membuat tuan Galaxy dan konco sekitarnya tersinggung.

Pertemuan, diskusi, rapat rahasia sambil makan enak-enak di istana mewah berkali-kali dilaksanakan. Raja Wakanda bertitah kepada pengikut setianya. “Cari titik lemah dari Jenderal Wakeup. Telusuri latar belakang hingga peraturan yang dikeluarkan.”

Lapor Raja! Kata intel yang suka carmuk karena sering mendapat bonus. Menurutnya, Jenderal Wakeup melakukan korupsi. Uang sumbangan negara digunakan untuk kepentingan pribadi dan foya-foya.

“Mati kau,” pikir Raja Galaxy. Strategi berbau fitnah pun disebarkan ke selusuh pelosok negeri. Tujuannya agar masyarakat Wakanda menghujat Wakeup dan mengusirnya ke tanah pembuangan.

Rupanya Panglima Wakeup memang jago dan banyak akal. Sepertinya ia memahami strategi Sun Tzu. Ia paham betul strategi perang melawan pihak lalim. Maju terus. Tidak sudi mundur dari medan perang, walau sesungguhnya tidak tega main kotor memprovokasi lawan.

Membina dan membangun hubungan kekerabatan di tengah rakyatnya, itu jauh lebih penting. Ketimbang enerji terkuras urusan dengan orang yang panik, lebih baik guyub bersama grass rooth.

Strategi Wakeup ternyata jitu. Tercatat 30 dari 39 provinsi di negeri Wakanda hadir saat diundang. Sedangkan acara yang digelar Raja Galaxy sepi pih.

Saking malu, Raja Galaxy berlari kencang ke Desa Konoha. Polos telanjang tanpa busana. Bertapa sendirian, berharap dapat wangsit agar memiliki kekuatan gaib. Walau tubuh dan pikirannya sudah tak karuan, tetap saja ia ingin berkuasa. Kasihan deh lu..!

“Ternyata Panglima Wakeup bukan Jenderal angkuh. Ia mau mengajak sang raja dan para pengikutnya yang tak realistis untuk kembali. Tentu dengan syarat yang sebenarnya tidak sulit. ‘Taat aturan main yang sah’,” itu saja. Mau atau mau bangettt? Hi…hi. *

Continue Reading

News

HPN 2025 Kalsel Sukses, Yel Yel HCB Pun Menggema

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Jakarta, Koin24.co.id – Mendidih, menggelegar, berteriak marah Jari-jaripun dikepalkan, keras membatu Siap menghatam, meluluhlantakkan Tidak boleh ada yang membantah Meski untuk menuntut, memperjuangkan hak Sayalah sang raja diraja, katanya pongah Yang lain harus patuh, menundukkan kepala

Itulah sebait puisi dari puisi berjudul “Hati Yang Terbakar” karya sendiri, yang saya bacakan awal Lomba Baca Puisi dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) ke-40/2025, di Wetland Square, Banjarmasin, Kalimanta Selatan,Jumat (7/2/2025). Saya bukan peserta lomba, tapi tampil hanya sebagai selingan setelah lomba dibuka secara resmi oleh Ketua Umum PWI Pusat/Penanggung Jawab HPN 2025, Hendry Ch Bangun.

“Entah apa yang terjadi dengan Djunaedi, tiba-tiba saja dia (waktu itu) mendadak rajin dan lancar menulis puisi,” kata Hendry menyinggung tentang saya, ketika memperkenalkan tiga aggota juri lomba puisi, termasuk saya bersama AR Loebis dan Benny Benke. “Saya adalah lulusan sastra UI, AR Loebis sastra UGM, sedang Benny Benke penyair,” katanya, tanpa menjelaskan saya lulusan dari mana.

Ya, Ketua Umum PWI Pusat itu benar, saya bukan berlatarbelakang pendidikan sastra. Dan dugaan dia juga benar, saya menulis puisi karena ada sebab, saya lagi dirundung kekecewaan, sakit hati, bahkan sedikit stres terkait perkerjaan saya sebagai seorang wartawan pada awal Maret 2006. Sebagai pelarian, selain makin rajin menulis cerita pendek, saya juga belajar menulis puisi. Padahal puisi sebelumnya tidak saya sukai. Apalagi mendengar orang membaca puisi yang berteriak-teriak, seperti marah. Saya banyak belajar dari karya Hendry Ch Bangun dan sahabat saya AR Loebis.

Maaf, saya jadi terlalu asyik membicarakan diri sendiri. Lomba puisi HPN 2025 dengan 23 peserta berjalan lancar, peserta dan para juaranya sama-sama senang, enjoy. Acara ini hanya sebagian kecil dari kegiatan HPN. Banyak kegiatan lainnya, seperti olahraga massal, kegiatan sosial, seminar, diskusi di berbagai lokasi, serta acara pucak HPN yang digelar di Halaman Kantor Gubernur Kalsel, di Banjarbaru. Acara puncak berjalan meriah, di bawah tenda khusus memanjang, ber-AC, dipadati anggota PWI, IKWI dari seluruh negeri, serta para undagan dan tamu-tamu. Hadir dan menyampaikan sambutan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Itu bukan pertamakalinya Presiden RI tidak hadir pada acara pucak HPN. Hal serupa pernah terjadi, seperti ketika Jokowi baru saja menjadi Presiden pada tahun 2015, saat PWI Pusat dikomandoi Margiono. Bahkan ada pula Presiden yang menunjuk wakil presiden mewakilinya. Yang pasti pelaksanaan perayaan puncak HPN sejak Presiden Soeharto berkuasa, selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. HPN, yang digelar pertamakalinya tahun 1985, di Jakarta, merupakan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional.

Meski PWI Pusat di bahwa komando Hendry Ch Bangun akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja, karena adaya sempalan–yang mereka sebut sebagai hasil Kongres Luar Biasa (KLB) 18 Agustus 2024, di Jakarta–persiapan dan pelaksanaan HPN 2025 di Kalsel belangsung sukses. Semua berjalan sesuai recana, termasuk pelaksanaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2024 yang berhadiah ratusan juta rupiah. Semua angota panitia bekerja sesuai tanggungjawab masing-masing.

Saya yang tergabung pada tim penerbitan buku dan lomba puisi, menjalankan tanggung jawab sebagai mana mestinya. Sebagai salah seorang editor, dari dua editor, untuk buku setebal 176 halaman berjudul Bumi Lambung Mangkurat Bentangan Zamrud; Lumbung Pangan, Pertanian, dan Wisata, saya bahkan masih sempat menyumbangkan lima tulisan. Sebetulnya kami siap menerbitkan sejumlah buku lainnya yang telah terdaftar, seperti pada HPN-HPN sebelumnya. Sayang waktu terlalu mepet.

Yel Yel HCB

Ada hal baru di HPN Kalimantan Selatan, yang di gelar di dua kota Banjarmasin dan Banjarbaru. Jika biasanya, dalam hal tertentu, sekelompok angota PWI, dari pusat maupun daerah, sepakat untuk meneriakkan yel yel PWI; “PWI. yes, yes, yes” dengan berteriak serentak, pada HPN ke-40 di Kalsel muncul yel yel baru; “HCB. Yes, yes, yes.” Kompak dan bersemangat. Saya menterjemahkan yel yel HCB tersebut sebagai dukungan terhadap Ketua Umum PWI Pusat yang syah, Hendry Ch Bangun. Hendry memang perlu disemangati, didukung, agar organisasi wartawan tertua di Nusantara ini tetap berjalan denga baik. Jadi ada dua yel yel yang menggema selama pelaksanaan HPN Kalsel yang diteriakkan silih berganti. Suatu hal wajar. HCB. Yes, yes, yes, bergema di beberapa tempat, termasuk usai acara puncak.

Saya mengenal Hendry Ch Bangun sejak tahun 1980. Kami berjumpa pertama kalinya di tempat wisata Taman Nasional Bali yang terkenal dengan Pulau Mejangan. Kami berada di sana utuk meliput Jambore Selam Indonesia. Saya dari Harian Suara Karya Jakarta dan Hendry dari Majalah Sportif. Jambore selam nasional telah mempertemukan kami mejadi dua sahabat, karena sejak itu kami kerap berjalan bersama dalam meliput berbagai kegiatan olahraga, terlebih setelah HCB, demikian dia kerap kami sebut sesuai dengan kode beritanya setelah berada di Kompas.

Bekerja di Harian Kompas, jelas suatu kebanggan dan kehormatan, sebuah koran berpengaruh terbesar dan terkenal. Namun predikat itu tak membuat Hendry lupa diri, sombong. Nyatanya kami tetap bersahabat. Dia banyak memberi kesempatan pada saya. Dia yang mendorong saya menjadi seorang penguji (asesor) uji kompetensi wartawan (UKW), dia pula yang megajak saya masuk dalam pengurusan PWI Pusat, termasuk menjadi Wakil Sekjen PWI (penggantian antarwaktu). HCB pula yang mengajak saya masuk ke Dewan Pers sebagai salah seorang anggota kelompok kerja (Pokja).

Hendry memiliki segalanya. Namun dalam berteman, putra dari salah seorang tokoh politik ternama ini, tak pernah pilih-pilih. Dia siap membantu, diminta atau tidak. Namun jangan coba memaksakan kehendak, mengaturnya harus begini dan begitu. HCB memiliki prinsip. Dia berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang diyakini. Jangan coba-coba memaksakan, jawabannya adalah tidak. Dan sikapnya itu ternyata dinilai sejumlah orang tidak fleksibel, apalagi sebagai seorang pemimpin.

Salah seorang wartawan senior, dalam percakapan dengan saya, menilai HCB sebagai seorang Ketua Umum PWI Pusat tidak luwes, tidak mudah beradaptasi, atau tidak lentur. Sikapnya itulah, kata wartawan senior itu, membuat Hendry akhirnya dituding terlibat kasus cashback. HCB, dikatakan senior itu, merupakan korban dari “orang dalam” PWI sendiri, yang menebar tudingan melalui berbagai cara, termasuk leat “pernyataan rilis gelap.”

“Harusnya Hendry meniru sikap salah seorang Ketum yang pernah ada. Dia luwes, jika disentil oleh tokoh tertentu dia langsung datangi tokoh itu ke rumahnya. Persoalan selesai. Itu yang tak mau dilakukan Hendry,” ujar wartawan senior itu yang tidak tergabung dalam PWI Pusat yang dipimpin HCB.

Senior tersebut bahkan mengaku bertamu langsung ke rumah kediaman Hendry, setelah tudinggan cashback mencuat. Pengakuan serupa juga dikatakan salah seorang senior lainnya. Keduanya tidak menemukan “sinyal” apa-apa bahwa HCB terlibat kasus cashback.

Saya termasuk yang tidak yakin HCB tersangkut langsung kasus cashback. Saya sangat hapal sikap Hendry terkait uang. Ketika masih di lapangan, saat banyak wartawan mengharapkan “amplop”, dia malah menghindar. Bahkan ketika dia diundang induk organisasi untuk meliput kegiatan di luar kota, dia bahkan tidak mengambil uang saku, dan tidak memanfaatkan hotel yang disediakan pengundang. Dia memanfaatkan biaya kantor.

Ketika dia baru saja terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat, saya mendengar ada tawaran dari seorang pengurus bahwa Hendry Ch Bangun bersama Sekjen PWI Pusat akan diberi uang operasional bulanan. Dia menolak. Begitu pula ketika ada wacana menyediakan sebuah mobil lengkap dengan sopir untuk keperluan harian. HCB Juga menolak, meski ada beberapa pengurus berusaha menyakinkan bahwa sebelumnya ada Ketua dan Sekjen yang menerima fasilitas uang (gaji) bulanan.

Terkait cashback, saya mendengar sudah ada aturannya di PWI Pusat. Hal itu kabarya sudah berlangsung sejak lama. Lah, jika benar cashback terjadi di era sekarang, kenapa hal itu dipersoalkan? Hal itu harus dibuat terang benderang. Itulah jalan pikiran saya yang perlu mendapat pencerahaan.

Jabatan Satu-Satunya di Dunia

Kenapa mendadak saya suka menulis dan membaca puisi? Pertanyaan Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bagun dalam sambutannya itu terjadi karena saya mengalami “musibah”. Sebagai seorang wartawan. Apa yang saya alami sangat menyakitkan. “Kiamat”, itulah yang saya hadapi sebagai seorang wartawan, karena dilarang menulis berita, membuat tulisan opini, juga tak boleh membuat tajuk rencana (editorial). Padahal hari-hari sebelumnya hal itu akrab dengan saya.

Itu terjadi mulai 1 Maret 2006, ketika Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya yang baru mengeluarkan SK, memberhentikan saya sebagai Redaktur Pelaksana dan metapkan sebagai Redaktur Pelaksanan Non News. Jabatan baru itu tidak pernah ada di media manapun, bahkan di dunia, karena yang namanya Redaktur Pelaksana selalu berubungan dengan news. Sementara tiga wakil redakur pelaksana semuanya diberi jabatan Redaktur Pelaksana yang dibagi menjadi bidang news, korlip, dan lainnya.

Sebagai Redaktur Pelaksana Non News saya dilarang menulis berita, opini, tajuk, dan sejenisnya. Namun aturan itu tidak tertulis dalam SK, juga tak ada penjelasan dari Pimpred. Anehya yang memberi tahu saya adalah para redaktur bidang, yang meyatakan mereka diinstruksikan untuk tidak diperkenankan menerima karya jurnalistik saya. Tugas saya adalah membantu bidang usaha, terutama manejer iklan melakukan pendekatan kepada pengambil kebijakan di berbagai perusahaan, baik BUMN maupun perusahaan swasta.

Bagi saya pekerjaan itu bukan persoalan. Yang saya heran kenapa saya tetap ditempatkan sebagai Redaktur Pelaksana, bukannya dipindahkan saja ke bidang usaha. Pejelasan tentang itu akhirnya saya dapatkan dari Pemimpin Umum. “Anda ditempatkan di Redpel Non News, tapi lebih banyak membantu bidang usaha. Nggak usah jadi pikiran, toh gaji anda tak berkurang,” tuturnya.

Namun akhirnya saya tahu kenapa jabatan Redaktur Pelaksana saya dicopot? Itu karena ada 5
bawahan saya—wakil redpel, redaktur bidang, dan wakil redaktur bidang—menghadap Pimpinan Redaksi yang baru, melaporkan bahwa saya melakukan korupsi bersama salah satu dari bidang usaha. Apa yang saya korupsi? Sampai sekarang saya sendiri nggak mengerti.

“Maaf Bang, saya dipaksa ikut mendongkel Abang. Abang tadinya diusulkan turun jabatan menjadi redaktur olahraga, atau kepala sekretariat redaksi. Namun pimpinan umum menolak. Jadilah Abang mejadi Redaktur Pelaksana Non News,” kata salah seorang rekan redaktur.

Ya, akhirya saya bisa menimati tugas baru. Hampir tiap hari pakai jas, paling tidak pakai dasi, ketemu para direktur perusahaan. Makan enak di hotel-hotel atau restoran. Jika ada waktu senggang saya menulis cerita pendek (cerpen), kemudian belajar menulis dan membaca puisi. Lumayan, tulisan cerpen dan puisi saya selain dikirim ke media lain, juga bisa ditampilkan di Suara Karya dan diberi honor lagi. Lebih kurang 150 puisi saya telah dibukukan di kumpulan puisi HPN, di samping yang dimuat di sejumlah media. Cerpen pun lancar.

Sayangnya, ketika saya sudah bisa menikmati enaknya menjalani tugas baru, tujuh bulan kemudian diperintahkan kembali ke jabatan Redakatur Pelaksana tanpa embel-embel. Saya sempat meyatakan keberatan, namun tidak bisa mengelak, karena Piminan Umum menyatakan bahwa itu adalah perintah. Utungnya tak ada larangan menulis cerpen dan puisi. Alhamdulillah, kegiatan itu masih berjalan hingga sekarang.***(Djunaedi Tjuti Agus)

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler