Connect with us

Kopini Tamu

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Diskusi Forum Wartawan Kebangsaan

Catatan: Mohammad Nasir, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan

Jakarta, Koin24.co.id – Diskusi-diskusi kecil dengan tema besar mengalir begitu saja dalam diskusi mingguan Forum Wartawan Kebangsaan (FWK). Dikatakan bertema besar karena membahas kepentingan rakyat, bangsa Indonesia,dan ke-Indonesia-an.

Banyak masalah yang kini dihadapi bangsa ini. Bertumpuk-tumpuk persoalan bangsa yang harus diselesaikan para pihak yang diberi kewenangan untuk mengurus.

Persoalan datang silih berganti, belum selesai yang satu, datang persoalan baru, bergema di mana-mana, seperti negeri dalam kekacauan. Peserta diskusi mengkhawatirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia hancur.

Orang-orang pemerintahan yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah, justru kadang-kadang menjadi bagian dari masalah.
Kebijakan dan dalam pelaksanaan menimbulkan masalah.

Banyak persoalan di berbagai bidang: hukum, politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, industri, pertambangan, perubahan iklim, olahraga, dan lain-lainnya. Persoalan seringkali berubah menjadi gaduh.

Semua persoalan tersebut menjadi bahasan diskusi. Mencari duduk perkara, mencari solusi, memberi saran dan masukan.

Diskusi tidak pernah kekurangan tema penting yang harus dibahas. Bahkan terasa sulit mengagendakan dan memberi prioritas, karena dinamika isu berubah sangat cepat.

Dalam bulan September- Oktober 2025, contohnya, ketika ramai dibicarakan kasus dugaan korupsi yang mengguncang kementerian pendidikan terkait pengadaan komputer chrombook, ditimpa kasus lain.

Padahal kasus dugaan korupsi di kementerian pendidikan menjadi perhatian publik. Membawa serta mantan gus menterinya, dan dalam proses hukum.

Kejaksaan Agung menduga dugaan korupsi di kementerian pendidikan pada 2019- 2022 untuk program digitalisasi pendidikan menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 1,98 triliun (Kompas.com, 6 September 2025).

Ketika kasus tersebut belum selesai, ditimpa peristiwa kasus keracunan massal peserta didik akibat mengonsumsi makanan yang disediakan program makan bergizi gratis (MBG).

Berangkat dari kasus keracunan MBG, kemudian disorot masalah pengelolaan program bergizi gratis untuk anak sekolah yang masih amburadul, termasuk persoalan dapur, dan transparansi penggunaan anggaran.

Dunia pendidikan bertambah ruwet ketika 630 murid SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, mogok belajar. Mereka kabarnya tidak terima seorang temannya ditempeleng guru ketika kedapatan merokok di sekolah.

“Masalah yang mencuat di dunia pendidikan ini serius. Harus segera ditangani oleh pemerintah. Ini alarm yang harus ditanggapi serius. Pemerintah harus bangkit membenahi pendidikan dari berbagai sisi. Kalau dunia pendidikan sampai kehilangan kepercayaan masyarakat, akan berbahaya untuk kelangsungan bangsa ini,” kata Hendry Ch. Bangun, mantan wartawan Harian Kompas yang pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Pers.

Hendry turut hadir dan menjadi narasumber dalam diskusi FWK bertema carut-marutnya dunia pendidikan.

Tema lain yang pernah dibahas media sosial dan media pers berbagai platform adalah jabatan rangkap di kementerian dan komisaris-komisaris di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jabatan rangkap ini menjadi persoalan ketika Presiden Prabowo Subianto sedang melakukan penghematan penggunaan anggaran negara.

Kinerja menteri-menteri juga sempat menjadi tema hangat diskusi kecil yang dihadiri wartawan-wartawan senior.

Wartawan yang hadir antara lain Jimmy S. Harianto, Yesayas Octavianus, AR. Loebis, Hendry Ch. Bangun, Budi Nugraha, Untung Kurniadi, Sayid Iskandarsyah, M. Iqbal Irsyad, Tatang Suherman, Herwan Pebriansyah, Herry Sinamarata, Berman Nainggolan L.Radja, Dadang Rachmat, Simon Leo Siahaan, dan Edi Kuswanto.

Karena diskusi FWK dikelola oleh wartawan, diskusi ini tidak pernah kehilangan tema. Bahkan tema-tema penting berjubel untuk dibahas, sehingga diperlukan pengelolaan isu, mana yang harus didahulukan.

Peserta dalam keseharian di kantor redaksi masing-masing sudah terbiasa mengelola isu harian yang dijadikan berita. Jadi suasana diskusi ini semacam rapat perencanaan redaksi yang membahas isu-isu penting.

Isu-isu penting menyangkut kepentingan rakyat, dan kebangsaan dibahas, dicari persoalannya, kemudian diberikan saran untuk penyelesaian.

Diskusi seperti yang sudah berlangsung selama ini dipimpin oleh Koordinator Nasional FWK Raja Parlindungan Pane, mantan pemimpin redaksi di Jakarta.
Raja memimpin diskusi dengan gaya lugas dan cerdas dalam menangkap setiap gagasan yang muncul.

“Diskusi ini terbuka untuk semua wartawan. Semakin banyak anggota diskusi semakin banyak pemikiran yang masuk. Kami di sini melihat persoalan bukan hanya dari satu sisi, tetapi dari berbagai sisi dan sudut pandang. Karena kami membutuhkan pemikiran dari semua
Peserta,” kata Raja Pane.

Untuk sementara ini diskusi mengambil tempat berpindah-pindah, karena belum mempunyai kantor tetap. Kadang-kadang berlangsung di ruang rapat media VOI Jalan Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan kadang-kadang di ruang rapat Redaksi Suara Merdeka Biro Jakarta di Tebet.

Peserta yang hadir biasanya tidak banyak, sekitar 20 orang. Tetapi audiens sangat banyak di rumah masing-masing. Mereka mengikuti melalui media yang memberitakan hasil diskusi.

Beritanya direproduksi dan diamplifikasi. Gaungnya hampir di seluruh provinsi di Tanah Air, dan bahkan sampai luar negeri karena disebar-luaskan juga oleh media dalam berbagai bahasa dunia.

Dari diskusi-diskusi kecil itulah FWK membisikkan perjuangan kebangsaan kepada siapa saja yang mau mendengar.

Continue Reading

Kopini Tamu

12 JUTA PENUMPANG WHOOSH, APA ARTINYA?

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh : Dimas Supriyanto

Jakarta, Koin24.co.id – SUDAH 12 juta orang naik Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Dua belas juta! Bukan angka kecil, bukan angka propaganda, dan bukan pula angka pesanan biro humas istana. Bisa dicek dan dikonfirmasi datanya. Itu adalah kepercayaan publik yang nyata—orang-orang yang membeli tiket, duduk, dan melesat dalam 40 menit dari Halim ke Tegalluar tanpa rasa takut, tanpa teror politik, tanpa khotbah dari pengamat ekonomi layar kaca.

Tapi anehnya, di negeri yang paling sibuk mencari celah dari keberhasilan orang lain, 12 juta penumpang masih juga dianggap “belum bukti apa-apa”. Katanya proyek ini pemborosan, katanya beban utang, katanya cuma “alat politik Jokowi”. Boleh jadi yang bicara begitu justru belum tentu pernah naik Whoosh, bahkan mungkin belum pernah ke Halim.

Ironis, mereka tak sadar: kalau proyek ini memang sembarangan, 12 juta orang itu seharusnya sudah jadi berita duka, bukan berita capaian.

Namun faktanya, Whoosh berjalan aman, nol kecelakaan besar, dengan rekor harian lebih dari 25 ribu penumpang.

Tapi tetap saja—yang dicari bukan data, melainkan dosa.

Mari jujur: Whoosh bukan cuma proyek rel, tapi simbol keberanian Indonesia untuk melompat di tengah ketakutan kolektifnya sendiri. Sebelum ini, kita sibuk memuja-muja “kemajuan” negara tetangga: Singapura dengan MRT-nya, Thailand dengan pariwisatanya, Vietnam dengan industrinya. Kini giliran Indonesia punya kereta cepat, tiba-tiba sebagian orang jadi alergi.

Indonesia sudah melampaui Amerika Serikat dan India dalam pembangunan KA cepat. California yang menggagas sejak 2008 masih mangkrak. Sudah 170 miliar dollar dihabiskan untuk jalur San Fransisco – Los Angeles belum kunjung jadi.

India baru tahun depan menikmati 500 kilometer kereta cepatnya yang menghubungkan Mumbai – Ahmedabad – tapi belum jelas juga kepastiannya. Kendala biaya juga menghantui proyek dua raksasa kerjasama dengan Jepang itu.

Di forum regional, Whoosh jadi bahan perbandingan, bukan ejekan. Namun di dalam negeri, ia justru dijadikan bahan debat tentang siapa yang akan dapat panggung di 2029.

ASEAN kini memandang Indonesia berbeda dari sebelumnya – setelah kita punya Whoosh. Kita tak lagi sekadar negara besar dengan birokrasi lambat, tapi negara yang berani mengeksekusi.

Padahal kalau kereta cepat ini benar-benar gagal, mengapa Prabowo justru melanjutkan dan memperluas jalurnya hingga Surabaya? Bukankah ini bukti paling sederhana bahwa proyek ini berhasil?

Atau jangan-jangan, “pemborosan” itu hanya berlaku kalau inisiatif datang dari Jokowi, tapi berubah jadi “strategi pembangunan nasional” begitu nama presidennya berbeda?

Kalau begitu, yang bermasalah bukan proyeknya, tapi standar kejujuran politik kita.

SATU lagi, ya. Ketika Jokowi menyebut Whoosh sebagai “investasi sosial”, sontak sebagian komentator ekonomi seperti kehilangan keseimbangan. “Bagaimana bisa proyek B to B disebut investasi sosial?” kata mereka dengan nada sok tahu, seolah semua istilah pembangunan harus lewat kalkulator bunga pinjaman.

Padahal Jokowi tidak sedang bicara soal format pembiayaan, tapi makna pembangunan. “Investasi sosial” bukan berarti proyek amal. Ia berarti nilai sosial dari proyek ekonomi—manfaat yang dirasakan rakyat: konektivitas, waktu tempuh, peluang kerja, dan kepercayaan diri bangsa.

Tapi begitulah, di negeri yang segala sesuatu harus diukur dengan angka defisit dan kurs dolar, kata “sosial” selalu dianggap sinonim dari “merugi”. Seakan-akan yang disebut “investasi” hanyalah yang mencetak laba finansial, bukan laba peradaban.

Coba lihat realitasnya:
12 juta penumpang bukan angka subsidi. Memang ada promosi pada awalnya. Normal. Tapi mereka bayar tiket, dan mereka memilih naik.

Waktu tempuh 3 jam kini jadi 40 menit. Itu bukan teori ekonomi, itu efisiensi hidup. Ada keluhan teknis dan kenyamanan. Nyaris tidak ada. Puji pujian malah berlimpah!

Kota-kota baru mulai tumbuh di lintasan Padalarang dan Tegalluar. Itu bukan propaganda, tapi fakta lapangan.

Kalau itu bukan investasi sosial, lalu apa?

LUCU – di negeri ini kecepatan justru dianggap dosa. Saat proyek berjalan cepat, dibilang tergesa-gesa. Saat proyek tertunda, dibilang gagal. Saat sudah jadi, dibilang ambisius!

Tampaknya yang diinginkan sebagian orang hanyalah satu: proyek yang tidak pernah selesai agar mereka bisa terus berteriak “mana hasilnya?”. Gagal. Mangkrak. Adili.

Padahal risiko proyek ini sangat tinggi. Bayangkan, kecepatan 350 km/jam di negara tropis dengan kontur tanah rumit. Tapi sejauh ini, aman. Tidak ada berita kecelakaan fatal. Tidak ada kegagalan teknis besar. Namun tetap saja, sebagian orang lebih percaya rumor Twitter ketimbang laporan keselamatan resmi.

Kita ini bangsa yang luar biasa: bisa membangun infrastruktur tercepat di ASEAN, tapi juga bisa menciptakan teori konspirasi tercepat di dunia.

Ada korupsi di Whoosh? Ya ada! Memangnya proyek apa yang tidak dikorupsi di negeri ini? BBM Pertamina dikorupsi, Bansos dikorupsi, pembangunan menara internet dikorupsi, duit pensiunan tentara dikorupsi. Silakan saja usut korupsinya, tangkap pelakunya.

SEJAK zaman Bung Karno, proyek mercusuar selalu dicibir: Monas, Stadion Gelora Bung Karno, Taman Mini, semuanya pernah dianggap “pemborosan”. Tapi waktu membuktikan: yang dulu dicaci kini jadi ikon.

Whoosh pun akan begitu. Hari ini mungkin masih jadi bahan debat politik. Tapi sepuluh tahun lagi, ia akan jadi hal biasa—dan para pengkritiknya akan berpose di dalamnya sambil tersenyum di Instagram. Begitulah nasib proyek besar: selalu dimaki di awal, dipuji di akhir.

Mereka yang dulu berteriak “ini proyek Jokowi” akan melupakan jeritannya ketika nanti proyek ini meluncur sampai Surabaya, dan mereka ikut memotong pita peresmiannya.

Whoosh bukan sekadar kereta. Ia adalah simbol dari bangsa yang akhirnya berani melesat lebih cepat dari rasa curiganya sendiri.

Sebuah bangsa yang terlalu lama disekolahkan untuk berpikir lambat, kini belajar bahwa kecepatan juga bisa lahir dari kehati-hatian dan keberanian.

Dan kalau proyek seaman ini masih dicurigai, kalau keberhasilan semacam ini masih dianggap dosa, mungkin yang harus diperiksa bukan rel keretanya, tapi rel logika kita.

Karena pada akhirnya, Whoosh sudah melaju — melesat – meninggalkan mereka yang sibuk mencari cari alasan untuk terus ngomel dan merepet di stasiun kebencian. *

Continue Reading

Kopini Tamu

Apakah Sumpah Pemuda 1928 Masih Relevan di Era Digital?

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh:Jimmy S. Harianto, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan, mantan Redaktur Opini, Redaktur Internasional, Redaktur Olahraga dan mantan wartawan Senior Kompas 1975-2012

Jakarta, Koin24.co.id – Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Bahasa Indonesia. Tiga kalimat sederhana yang diucapkan saat Sumpah Pemuda di Batavia 28 Oktober 1928 ini sudah lama menjadi fondasi bagi lahirnya bangsa yang besar. Ia bukan sekadar teks sejarah, melainkan semacam manifesto moral yang menegaskan bahwa pemuda adalah sumber kekuatan untuk mempersatukan Indonesia.

Kini, hampir satu abad kemudian, semangat itu diuji kembali . Bukan di medan pertempuran fisik, melainkan di dunia digital yang serba cepat, serba instan, serba ‘real time’ (serta merta) dan terbuka namun terkadang memecah belah.

Pertanyaannya, masihkah semangat Sumpah Pemuda yang diucapkan bapa-bapa Bangsa kita 97 tahun lalu itu masih hidup di tengah derasnya arus teknologi dan media sosial hari ini? Saat ini nasionalisme tidak lagi diukur dari seberapa keras kita berteriak ‘Merdeka!’, melainkan seberapa nyata kita menjaga nilai dan identitas Indonesia dalam setiap klik yang kita lakukan.

Mari kita tengok perubahan semangat kita, para pemuda Indonesia, setelah hampir seabad Sumpah Pemuda itu diucapkan. Di Media sosial, dalam berbagai platform, kita sekarang bukan lagi mengandalkan “ketajaman pena dan tebalnya huruf di kertas surat kabar”. Akan tetapi berbicara lantang menyodorkan data, teknologi dan jejaring digital. Namun kebersatuan kita saat ini bukan lagi semangat kemerdekaan, untuk memperjuangkan eksistensi bangsa, akan tetapi adalah “semangat kepentingan”. Di mana kepentingan bicara, kita bersatu. Kalau perlu melawan fakta dan data sebenarnya. Karena dengan dengungan berulang-ulang kebohongan, fakta dan data palsu bisa disulap menjadi kebenaran!

Kebersatuan di media sosial masa kini didasarkan pada kebersamaan kepentingan, untuk mencapai tujuan politik tertentu. Bisa karena didorong kepentingan partai, kepentingan kelompok, maupun ambisi jabatan baik bagi kelompok, tokoh pujaan, maupun diri kita sendiri. Semangat seperti yang dulu dikumandangkan oleh bapa-bapa bangsa hampir seratus tahun lalu, kini sudah nyaris luntur.

Ada baiknya kita memang mencoba menengok kembali apa yang dilakukan oleh bapa-bapa bangsa kita yang bercapai-capai, berpeluh keringat, dan bahkan berdarah-darah untuk berdiri mengucapkan sumpah: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia…

*Refleksi Seratus Tahun*

Sumpah Pemuda merupakan momen bersejarah lahirnya semangat persatuan bangsa Indonesia, saat para pemuda dari berbagai daerah dan organisasi berkumpul dalam Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta sekarang ini).
Isi Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak penting kebangkitan nasional dalam arti persatuan bangsa adalah:

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Peristiwa Sumpah Pemuda tidak lahir dari satu orang, melainkan dari semangat kolektif para pemuda Indonesia pada waktu itu. Ada beberapa tokoh pemuda yang perlu kita kenang untuk “manifesto moral” para pemuda, yang ditempa keprihatinan lantaran mengalami berbagai bentuk penjajahan kolonial, baik dari sejak era Hindia Belanda, sampai penjajahan Jepang dan bangsa asing lain yang bersekutu menguasai dunia pada era sebelum Indonesia Merdeka.

Sumpah Pemuda 1928 dimotori oleh Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda II. Selain memimpin jalannya kongres, yang dilukiskan sebagai tegas dan berwibawa, dalam pidato pembukaannya ia menyerukan agar pemuda Indonesia “bersatu dalam satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa.

Lalu Wage Rudof Supratman. Dialah pencipta lagu “Indonesia Raya”, yang pertama kali dimainkan (secara instrumental) pada penutupan Kongres Pemuda II. Lagu itu di kemudian hari sampai hari ini dijadikan simbol kebangkitan nasional, dan lagu WR Supratman menjadi Lagu Kebangsaan Indonesia.

Perumus ‘manifesto moral’ Sumpah Pemuda? Dialah Mohammad Yamin, perumus ide “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa,”. Dan di dalam Kongres Pemuda II tersebut, M Yamin digambarkan berpidato dengan sangat inspiratif, menanamkan cita-cita persatuan yang melampaui suku dan daerah.

Tokoh-tokoh lain dalam Sumpah Pemuda II yang ikut berperan dalam semangat persatuan kepemudaan saat itu, adalah juga: Amir Sjarifoeddin, Djoko Marsaid, Johanes Leimena dan Sarmidi Mangunsarkoro. Tentu masih ada lagi peran lain lagi dari pemuda-pemuda, bapa-bapa bangsa kita saat itu.

Lalu bagaimana menghidupkan kembali api semangat Sumpah Pemuda nyaris 100 tahun lalu itu? Bolehlah kita rumuskan sesuai era digital sekarang ini:

Gunakan teknologi untuk membangun, bukan untuk menjatuhkan sesama. Artinnya, jadikan setiap unggahan dan komentar sebagai bentuk cinta pada bangsa. Lalu bangunlah jejaring lintas daerah dan budaya, demi kolaborasi lintas wilayah dan komunitas yang dapat memperkuat rasa kebangsaan. Dan terakhir, jangan lupa kembangkan inovasi berbasis kearifan lokal. Buatlah produk dan ide kreatif yang mengangkat nilai-nilai Indonesia, yang bisa menjadi kebanggaan bersama.

Itu gagasannya. Tetapi bisakah kita di zaman serba ingin eksis sendiri seperti sekarang ini, kita menjadikan setiap ruang digital tempat kita bekerja, belajar, dan berinteraksi sebagai ruang perjuangan baru.

Mari kita coba jaga persatuan bukan hanya di dunia maya. Akan tetapi juga didunia nyata. Semoga bisa..*

Continue Reading

Kopini Tamu

Sanksi Berat Bagi Olahraga Indonesia

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh: Jimmy S.Harianto, mantan Redaktur Olahraga dan wartawan senior Kompas serta anggota Forum Wartawan Kebangsaan

Jakarta, Koin24.co.id – Bukan untuk pertama kalinya Indonesia terkena sanksi olahraga. Tetapi sanksi kali ini terasa berat lantaran Komite Olimpiade Internasional (IOC) menyerukan kepada federasi olahraga internasional agar tidak menggelar event di cabang apapun di Indonesia setelah visa atlet Israel ditolak Oktober lalu. IOC juga meminta menghentikan pembicaraan terkait pengajuan Indonesia untuk menjadi tuan rumah olimpiade.

Keputusan Komite Olimpiade (IOC) yang diumumkan Rabu (22.10.2025) lalu itu menjadi ulangan sanksi yang pernah dijatuhkan pada Indonesia pada tahun 1963 ketika Indonesia menolak memberi visa pada atlet Israel untuk berpartisipasi dalam pesta olahraga Asia, Asian Games ke-4 tahun 1962.

Waktu itu Indonesia bahkan tidak hanya menolak memberi visa pada Israel, akan tetapi juga pada Taiwan karena Indonesia saat itu berpendapat Taiwan masih menjadi bagian dari Republik Rakyat China (RRT). Soekarno menganut One China Policy dan hanya menganut satu China, yakni RRC.

Keputusan IOC tahun 1963 itu berbuntut panjang. IOC waktu itu bahkan memutuskan mencabut keanggotaan sekaligus menunda partisipasi Indonesia di ajang Olimpiade.

Alih-alih menyerah, Presiden Soekarno juga mengeluarkan perintah agar Indonesia keluar dari IOC dan mendirikan gerakan Olimpiade tandingan yang disebut sebagai Games of The New Emerging Forces (GANEFO) untuk negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara sosialis lainnya.

Pada 10-22 November 1963, Indonesia resmi menggelar Olimpiade tandingan GANEFO di Jakarta. Sebanyak 10 negara dari Asia, Afrika, hingga Eropa berpartisipasi dalam ajang tersebut.

GANEFO yang ke-2 bahkan digelar di Kamboja tiga tahun kemudian. Awalnya, GANEFO direncanakan menjadi ajang rutin, tetapi rencana tersebut tidak pernah berlanjut.

Meski begitu, GANEFO tetap dikenang sebagai simbol perlawanan Indonesia terhadap dominasi Barat dalam dunia olahraga dan politik global.

Kronologi insiden Israel

Keputusan Indonesia menolak menerbitkan visa bagi atlet dari Israel bermula dengan digelarnya Kejuaraan Dunia Senam Artistik 53rd FIG Artistic Gymnastics World Championships di Jakarta (19–25 Oktober 2025).

Melalui pernyataan resmi, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, pada 9 Oktober 2025 menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan memberikan visa kepada 6 atlet Israel yang dijadwalkan mengikuti kejuaraan senam dunia di Jakarta tersebut.

Menteri Yusril menyatakan keputusan ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. Yusril juga mengungkapkan, termasuk aspirasi masyarakat serta hal itu sesuai sikap politik luar negeri Indonesia terkait Palestina/Israel. Pemerintah daerah DKI Jakarta juga menyatakan tidak mengizinkan atlet Israel hadir di ibu kota.

Menanggapi penolakan ini, Federation Gymnastics Israel (IGF) mengajukan dua permohonan ke peradilan olahraga, Court of Arbitration for Sport (CAS) agar atlet Israel bisa ikut atau agar kejuaraan dipindah dari Jakarta atau bahkan dibatalkan.

Permohonan diajukan pada 10 Oktober (terhadap Federation Internationale de Gymnastique / FIG) dan 13 Oktober (bersama enam atlet Israel) untuk “langkah sementara” agar kejuaraan ditunda atau dibatalkan.

Pada 15 Oktober, peradilan olahraga (CAS) menolak kedua permohonan Israel. FIG menyatakan bahwa keputusan pemerintah Indonesia berada di luar kewenangannya terkait penerbitan visa, dan FIG mengakui bahwa ini mungkin menyalahi statuta mereka/International Olympic Committee (IOC), meskipun pertimbangannya karena faktor force majeure seperti keamanan.

IOC kemudian menyatakan keprihatinan atas keputusan Indonesia yang menolak visa bagi tim Israel, menegaskan bahwa “semua atlet yang memenuhi syarat seharusnya dapat berkompetisi tanpa diskriminasi”.

IOC menyebut keputusan ini sebagai pelanggaran terhadap prinsip non-diskriminasi di dalam olahraga yang dianut IOC, dan menyatakan akan mengevaluasi bila tuan rumah tidak menjamin akses setara bagi semua atlet.

Rapat Virtual IOC

Keputusan Komite Olimpiade itu ditetapkan setelah pihaknya mengadakan rapat virtual untuk membahas penolakan dari pihak Indonesia tersebut. Hasil rapat virtual menelorkan empat keputusan sanksi atas Indonesia, berupa penghentian dialog pengajuan Indonesia sebagai tuan rumah Olimpiade (diajukan Indonesia sejak 2022), Olimpiade Remaja, acara-acara berkaitan dengan Olimpiade, dan atau konferensi tentang Olimpiade di masa mendatang.

Dialog akan dilanjutkan jika pemerintah Indonesia memberikan jaminan bahwa semua peserta Olimpiade, tanpa memandang kewarganegaraan, akan diizinkan masuk ke Indonesia.

IOC juga merekomendasi (menyarankan) agar Federasi-federasi Internasional Olahraga tidak mengizinkan Indonesia menjadi tuan rumah acara olahraga atau pertemuan internasional olahraga dalam bentuk apapun.

IOC juga menegaskan prinsip non-diskriminasi, yang menekankan pentingnya akses bebas dan tanpa hambatan bagi semua atlet, tim dan pengurus olahraga yang memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga internasional, tanpa diskriminasi oleh negara tuan rumah.

Tak hanya itu. IOC juga mengimbau agar Federasi Internasional Olahraga agar untuk sementara tidak menggelar turnamen internasional di Indonesia.

Erick Thohir

Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Erick Thohir, pada dua hari berikutnya setelah keputusan IOC mengungkapkan kepada pers di Jakarta bahwa keputusan Komite Olimpiade Internasional (IOC) terhadap Indonesia tidak berarti keanggotan Indonesia di IOC dibekukan dan bahwa Indonesia masih bisa mengirimkan atlet untuk berlaga di ajang internasional.

Hetifah menegaskan, sikap Indonesia tidak bisa dipandang sebagai tindakan diskriminatif terhadap atlet, melainkan bentuk konsistensi moral bangsa dalam memperjuangkan kemanusiaan dan solidaritas terhadap rakyat Palestina.

Sementara kalangan netizen dalam beberapa unggahannya mengatakan, justru menilai IOC memakai “standar ganda”. Di satu pihak, menginginkan “olahraga dipisahkan dari politik”.

Akan tetapi IOC sendiri tidak memakai standar yang sama ketika menerapkan sanksi pada atlet-atlet negara Rusia dan Belarusia, berkaitan dengan agresi mereka ke Ukraina. Sejak tiga tahun ini, atlet-atlet Rusia dan Belarusia tidak diizinkan berpartisipasi di Olimpiade Paris 2025, dan juga Olimpiade musim Dingin 2026.

Sementara di lain pihak, Israel yang juga melakukan agresi dan bahkan juga tindak genosida terhadap rakyat di Palestina, tidak dijatuhi sanksi yang sama seperti pada atlet Rusia dan Belarusia.

Dan kali ini, IOC bahkan menjatuhkan sanksi berat pada Indonesia yang menolak memberi visa pada “negara agresor” Israel untuk berpartisipasi di Kejuaraan Dunia Senam Artistik di Jakarta Oktober lalu… (*)

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler