Connect with us

Opini Redaksi Koin

Kebohongan Demi Kebohongan

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh: Hendry Ch Bangun, Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028

Kadang saya berfikir adakah hubungan antara kesalehan beragama dan kesalehan sosial? Semestinya ada dan jelas tetapi tampaknya itu sering sebatas angan-angan saja.

Pengalaman hidup, bergaul, berorganisasi menunjukkan orang yang tampaknya religius, taat beribadah, sudah pergi ke Mekah di musim haji, bahkan membangun masjid, tidak menjadi jaminan bahwa dia akan hidup lurus sesuai tuntunan agama. Ilmunya yang tinggi tidak menjamin dia akan beradab.

Bahkan bisa jadi, merasa kaya dan berada membuat dia merendahkan kehidupan ekonomi orang lain. Dia lupa bahwa kekayaan bisa lenyap seketika. Dan ketika nanti nyawanya dicabut, kekayaan sebesar apapun akan dia tinggalkan. Temannya hanya kain kafan dan tanah ukuran 1,5 meter kali 2 meter. Tidak lebih.

Saat diantar ke kuburan, hilang semua kemegahan yang dipuja-pujanya. Hilang semua kekuasaan yang dia agung-agungkan untuk merendahkan orang lain. Oleh karena itu ada nasihat, kalau umur sudah lebih 60 tahun, banyaklah bertobat, sebelum terlambat.
Cari lah orang-orang yang pernah Anda sakiti dengan perkataan dan perbuatan, untuk melapangkan jalan. Jangan sampai terantuk-antuk bahkan ditarik ketika amalnya dihitung karena orang yang kita sakiti memohon kepada Allah agar semua pahala dan amal baiknya diberikan kepadanya. Istilahnya, menjadi orang yang merugi di akhirat kelak. Merasa beramal bergunung-gunung, ternyata kerap menganiaya, memfitnah, dan menjelek-jelekkan orang lain.

Orang yang pernah bersujud di Masjidil Haram, menangis di depan Kabah pastilah faham betapa kita ini hanya secuil di hadapan Allah Yang Maha Agung. Tidak ada apa-apanya. Kemegahan, kekayaan, popularitas, hanya perhiasan saja, yang bisa hilang kapanpun. Tidak patut kita merasa hebat, paling benar, dan itu terakumulasi di ibadah haji. Kecuali kalau berhajinya hanya untuk riya. Pamer agar dikagumi orang lain. Pergi tobat pulang kumat.
Jadi saya kerap heran, kok bisa ya, si anu tidak tercermin tindakan dan perilakunya, dengan atribut yang dimilikinya. Ada dua sisi kepribadian yang bertolak belakang. ***
Orang saleh biasanya hati-hati dalam melabel seseorang karena kalau salah bisa menjadi fitnah. Fitnah itu menurut Islam, lebih kejam dari pembunuhan. Orang pasti ingat bahwa kata-kata itu disampaikan di pidato Jenderal AH Nasution tahun 1965 saat melepas pemakaman jenderal dan perwira TNI yang akan dikuburkan di Taman Makam Pahlawan, karena dibantai pemberontak G 30 S PKI yang ingin merebut kekuasaan.

Fitnah itu bagai memakan bangkai saudara sendiri. Luar biasa kejamnya. Profesi wartawan yang dianggap mulia, sudah diajari untuk konfirmasi, cek dan ricek, tabayun, sebelum menuduh seseorang. Menyebut saya koruptor? Kapan pengadilan memvonis saya korupsi? Melabel saya cash back? Anda tahu aturan tertulis yang ada di PWI? Anda tahu mekanisme check and balances di PWI. Tanyalah soal hasil rapat di PWI yang ada notulennya. Pelajari sebelum memberi label.

Maka kalau sampai ada wartawan senior, bahkan lama menduduki jabatan dewan kehormatan, melakukan fitnah, entah sebesar apa kesalahannya. Kita bicara dunia, kalau akhirat ya urusan Allah Yang Maha Tahu. Kasihan kalau nanti ajal datang, orang yang difitnah belum memaafkan.

Jangan sampai rasa benci membuat Anda mengesampingkan kebenaran. Di kode etik jurnalistik itu disebut uji informasi. Atau juga independen, sesuai hati nurani, tanpa campur tangan apapun. Tanpa kepentingan apapun. Masak nggak tahu. Katanya senior…

Saya terheran-heran dengan kebohongan yang dianggap benar dan terus didengung-dengungkan dalam keributan di PWI saat ini. Menyebut sebagai rapat pleno sebuah pertemuan yang hanya dihadiri segelintir orang dan beberapa di antaranya bahkan bukan lagi pengurus sesuai Susunan Pengurus PWI Pusat yang disahkan SK Kemenkumham dengan AHU-0000946.01.08. Tahun 2024 tanggal 9 Juli.
Kalau dihitung jumlah peserta rapat pleno PWI Pusat 76 orang, rapat bisa diadakan kalau yang hadir 2/3 yaitu 51 orang. Kalau tidak korum, ditunggu 2 x 15 menit, maka rapat bisa diadakan kalau diikuti setidaknya 1/3 orang. Yaitu 26 orang. Jadi ketika rapat hanya diikuti 9 orang pengurus sah sebab 4 lainnya sudah dipecat apakah itu korum. Ya tidak. Rapat batal. Masak iya lalu dianggap sah dan menetapkan Zulmansyah menjadi Plt Ketua Umum? Kebohongan apa yang telah kalian ciptakan dan dianggap sebagai kebenaran. Setan apa yang merasuki kalian? Orang pintar jadi ikut bodoh. Siapa dia, carilah sendiri.

Begitu pula sebelumnya ketika Dewan Kehormatan memberikan sanksi pemberhentian kepada saya selaku Ketua Umum PWI Pusat. Yang tanda tangan Sasongko Tedjo sebagai ketua, sementara sekretaris ditulis Nurcholis Basyari yang tidak lagi menjadi pengurus sebagai Susunan Pengurus PWI Pusat yang aktenya disahkan SK Kemenkumham dengan AHU-0000946.01.08. Tahun 2024 tanggal 9 Juli 2024. Jelas Sekretaris Dewan Kehormatan adalah Tatang Suherman, kok bisa-bisanya orang yang lagi menjabat dianggap sah. Gugat lah AHU itu ke PTUN kalau mau tetap berpegang pada susunan pengurus lama. Bukan hantam kromo seperti orang tidak tahu berorganisasi.

Sama halnya dengan Kongres Luar Biasa yang kemudian aktanya menyebutkan KLB didukung 20 provinsi termasuk PWI Sumatera Utara, PWI Sumatera Selatan, PWI Kalimantan Timur, dan PWI Kalimantan Utara. Apakah di Kongres PWI Bandung tahun 2023, PWI Jawa Timur, PWI Riau, PWI DKI Jakarta, suaranya diwakili Ketua Dewan Kehormatan? Ya nggaklah. Pemilik suara adalah Ketua PWI. Jadi, luar biasa bohongnya apa yang ditulis di akta.

Begitu pula sejumlah nama yang asal comot dan dimasukkan ke dalam susunan kepengurusan tanpa konfirmasi, klaim semaunya? Banyak pengurus PWI Pusat Hasil Kongres 2023, mati ketawa melihat namanya dimasukkan. Kalau mau berorganisasi dengan benar, janganlah berbohong. Tanya satu persatu. Tapi kalau sudah berbiasa bohong, mungkin anggap ini biasa. Kalau saya sih melihat dengan jijik. Menghalalkan segala cara. Kasihan PWI nanti rusak gara-gara nafsu. ***

Kalau ingin menjadi Ketua Umum PWI, adakan Kongres Luar Biasa yang sah. Silakan kumpulkan dukungan setidaknya 26 provinsi yang sah untuk mengikuti KLB sesuai PD PRT PWI. Dengan dukungan besaran uang yang dipertontonkan di KLB kemarin—KLB yang gagal—bisa jadi Anda para penggagas KLB, akan berhasil. (Meski konon bandar sudah marah karena dikira gampang tetapi ternyata sampai saat ini sasaran merebut kursi Ketua Umum PWI Pusat belum berhasil he..he..he).
Uang memang penting, bisa membeli orang-orang yang sudah terbiasa bermain uang, orang yang mudah tergoda, tetapi dari pengalaman, uang saja tidak cukup. Di PWI Sebagian besar Ketua PWI Provinisi adalah orang berintegritas, setia pada organisasi dan taat pada PD PRT. Untuk bisa merebut suara, merayu agar terpilih menjadi Ketua Umum PWI Pusat, Anda harus kompeten dan diakui kinerjanya. Tunjukkan dulu prestasi, jangan hanya program ramai-ramai nonton sepakbola, studi banding, jalan-jalan, tapi buatlah pendidikan dan pelatihan yang bermutu. Adakan kegiatan yang berkualitas. Tidak ada jalan pintas. Pantaskan lah diri untuk menjadi Ketua Umum PWI Pusat, kira-kira begitu kata motivator kenamaan.
Saya sih Ikhlas saja. Kalau ditakdirkan berhenti, saya stop saja jadi Ketua Umum PWI Pusat meski baru setahun menjabat. Yang penting, sosok PWI saat ini sudah berbeda dengan tahun-tahun lalu. Para pengurus PWI Provinsi sudah melihat hasil kerja Pengurus PWI Pusat, mereka pun menikmati legitimasi yang tinggi di mata kepala daerah.

Kinerja PWI sudah tampak sehingga organisasi tetangga pun menjadi iri dan ikut-ikutan PWI ingin hancur dan terpuruk. Lucu sekali meski bikin prihatin. Tapi itulah hidup. Kita pasrahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Swt yang sudah menggariskan takdir bagi manusia.

Wallahu a’lam bhisawab.
Ciputat 5 Oktober 2024.

Continue Reading

Opini Redaksi Koin

Pendataan Memang Bukan Pendaftaran

Avatar

Published

on

Catatan Hendry Ch Bangun

Saya sebenarnya tidak ingin seperti berpolemik dengan Wina Armada Sukardi, pakar hukum pers yang dua periode menjadi anggota Dewan Pers dan pernah menjabat Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, terkait artikelnya “Tidak Ada Kewajiban Perusahaan Pers Mendaftar di Dewan Pers”. Mengapa, karena ada dua alasan. Pertama, saya sudah selesai bertugas di Dewan Pers setelah menjadi anggota dua kali dan terakhir menjabat sebagai Wakil Ketua. Kedua, pandangan seperti itu pun pernah disampaikan ahli pers Kamsul Hasan yang juga lama menjadi pengurus PWI.

Apa yang disampaikan itu betul adanya, dasarnya Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, yang kalau merujuk ke Pasal 15 ayat (g) mengatakan salah satu fungsi Dewan Pers adalah mendata perusahaan pers. Jadi yang ada adalah fungsi Dewan Pers. Tidak ada kewajiban perusahaan pers untuk mendaftarkan diri. Sifatnya satu arah, bukan resiprokal. Karena beberapa orang bertanya, tulisan itu dimuat di banyak media siber khususnya  yang pimpinan atau pemiliknya dari PWI, saya perlu merasa menulis supaya tidak timbul salah faham karena seolah mempertentangkan pendataan dan pendaftaran yang memang berbeda.

UU 40/1999 yang dibuat saat terjadi euphoria reformasi memang dibuat sebebas mungkin akibat trauma dari era Orde Baru yang dengan berbagai upaya ingin membungkam pers. Oleh karena itu salah satu wujud dari betapa hebatnya UU 40/1999 ini adalah tidak ada turunannya entah itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, dst. Kalaupun akhirnya ada, maka aturan yang dibuat haruslah berupa swa regulasi yang dibuat masyarakat pers sendiri, difasilitasi Dewan Pers, sebagaimana disebut di Pasal 15 ayat (f) UU 40/1999. Dengan prinsip dari, oleh, dan untuk pers itu sendiri. Atur sendiri, ya ikuti dan taati, apabila sudah semua sepakat menjadikannya sebagai aturan.

Salah satu tonggak dari kekompakan masyarakat pers dalam mengatur dirinya sendiri itu, tertuang di Piagam Palembang 2010 yang ditandatangani pimpinan media arus utama Indonesia di Hari Pers Nasional 2010 di Sumatera Selatan. Kala itu, media cetak masih berjaya sehingga kerelaan, keikhlasan untuk diatur oleh Dewan Pers, secara simbolis melambangkan sikap dari sebagian besar masyarakat pers Indonesia.

Ada dua poin penting dari Piagam Palembang yang historis ini, saya kutip agar kita ingat lagi:

  1. Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami.
  2. Kami menyetujui dan sepakat, memberikan mandat kepada lembaga independen yang dibentuk Dewan Pers melakukan verifikasi kepada kami, para pendatatangan naskah ini, untuk menentukan penerapan terhadap kesepakatan ini. Kepada lembaga itu kami juga memberikan mandat penuh untuk membuat logo dan atau tanda khusus yang diberikan kepada perusahaan pers yang dinilai oleh lembaga tersebut telak melaksanakan kesepakatan ini.

Dasar dari kesediaan itu, sebagaimana disebut dalam alinea kedua preambule Piagam Palembang, “Dalam mewujudkan  kemerdekaan pers serta melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, pers mengakui adanya kepentingan umum, keberagaman masyarakat, hak asasi manusia, dan norma-norma agama yang tidak dapat diabaikan. Agar pelaksanaan kemerdekaan pers secara operasional dapat berlangsung sesuai dengan makna dan asas kemerdekaan pers yang sesungguhnya, maka dibutuhkan pers yang profesional, tunduk kepada undang-undang tentang pers, taat terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan didukung oleh perusahaan pers yang sehat serta serta dapat diawasi dan diakses secara proporsional olehmasyarakat luas.” ***

Kebersediaan diatur ini tentu karena asumsi, keyakinan bahwa Dewan Pers sudah independen sejak UU No.40/1999 berlaku, yang anggotanya tidak lagi ditunjuk pemerintah seperti sebelumnya, tetapi dipilih masyarakat pers sendiri, dari kalangan wartawan, perusahaan pers, dan masyarakat. Dengan kata lain, menyerahkan diri diatur Dewan Pers artinya sama dengan mengatur diri sendiri alias swaregulasi. Mengatur sesuai dengan kehendak kalangan pers sendiri.

Adanya Piagam Palembang ini berkonsekuensi banyak. Apabila wartawan di media “besar” sebelumnya malas dan merasa tidak perlu untuk ikut uji kompetensi, pelahan tapi pasti mulai bersedia. Wajar karena perusahaannya sudah menyatakan bersedia sepenuhnya mengikuti Standar Kompetensi Wartawan, yang antara lain menetapkan Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab harus bersertifikat Wartawan Utama. Tidak ikut berarti, secara struktural karier si wartawan tidak akan sampai di puncak.

Perusahaan Pers dengan kesediaan itu, mewajibkan dirinya memberi gaji minimal setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) 13 kali setahun (termasuk Tunjangan Hari Raya), karena itu menjadi peraturan perusahaan, mengikuti peraturan Menteri Tenaga Kerja yang diadopsi di Peraturan Dewan Pers No.5 tahun 2008  tentang Standar Perusahaan Pers.

Perusahaan pers besar juga bersedia diverifikasi oleh Dewan Pers. Dalam artikel Wina Armada ditulis, tidak perlu anggota Dewan Pers yang repot-repot turun untuk verifikasi faktual karena banya urusan lain yang lebih penting untuk dikerjakan. Tetapi sering kehadiran anggota ini penting, khususnya untuk memberi persepsi kepercayaan terhadap lembaga.

Misalnya saja ketika mengecek akte notaris suatu media, yang di dalamnya ada jumlah modal, pemegang saham, dll, yang bagi perusahaan adalah rahasia. Kalau staf sekretariat yang datang, saya tidak yakin pimpinan media yang diverifikasi mau memberikan datanya, takut bocor atau apapun namanya. Saya beberapa kali meyakinkan data itu bersifat rahasia, tidak akan bocor dan saya jaminannya. Mereka percaya.  Tentu saja, data itu sampai tahapan tertentu juga bisa diakses di lembaga negara, tetapi ketika berhadapan langsung, sosok pemverifikasi menjadi urgen.

Terkait dengan pengaturan perusahaan pers ini, memang Standar Perusahaan Pers No. 3 tahun 2019 terasa lebih progresif untuk mengantisipasi beberapa hal yang tidak tercakup di Peraturan No.5/2008, hanya saja menimbulkan konsekuensi berat bagi manajemen perusahaan. Apalagi dikaitkan dengan kondisi ekonomi perusahaan pers, besar apalagi menengah dan kecil, yang kian merosot akibat turunnya pendapatan sementara biaya operasional meningkat.

Misalnya saja, kewajiban untuk memberikan asuransi kesehatan dan asuransi ketenagakerjaan kepada wartawan dan karyawan, di Pasal 20 Peraturan Dewan Pers No.3/2019. Di aturan lama, itu diatur secara umum, di Pasal Pasal 9 yang berbunyi “Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.”

Ini agaknya penjabaran lebih dekat dari Pasal 10 UU No.40/1999 tentang Pers yang berbunyi, “Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.” ***

Persoalan yang kini menghangat umumnya adalah terkait verifikasi ini. Sifatnya sukarela tetapi menjadi seperti wajib bagi media, karena selain sebagai wujud profesionalisme media, juga ada kaitan ekonomis, sejumlah lembaga di pusat dan daerah, mensyaratkan status terverifikasi untuk dapat menjadi mitra kerja terkait pencitraan lembaga. Bahasa kasarnya, untuk bisa memperoleh jatah iklan.

Ada empat pemerintah provinsi yang mewajibkan status terverifikasi ini yakni Sumbar, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Riau, tetapi hanya Sumbar dan Kepri menjalankan dengan konsisten. Babel masih menunda karena banyaknya protes dari kalangan media, Riau meski sudah didukung penuh organisasi perusahaan pers konsituen Dewan Pers, informasi terakhir belum menjalankan 100%. Di kabupaten dan kota pun sudah banyak yang menerapkan, ada menjalankan dengan ketat, dan masih ada yang longgar karena berbagai alasan, seperti untuk keadilan bagi media yang sudah menjalankan sebagian peraturan Dewan Pers.

Soal verikasi ini ramai diangkat media saat berlangsung Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin. Ketua Dewan Pers Mohammad NUH menegaskan, Dewan Pers tidak pernah meminta pemerintah daerah untuk mensyaratkan status terverifikasi untuk menjalin kemitraan. Saya sendiri dalam berbagai kesempatan juga menyatakan hal yang sama. Bagi saya, cukup bahwa perusahaan per situ berbadan hukum Indonesia sebagaimana ditetapkan Dewan Pers, memiliki Pemred dan Penanggungjawab bersertifikat Wartawan Utama sebagaimana diatur Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan, dan mencantumkan dengan jelas alamat redaksi sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat.

Begitu pula kalau ada kasus hukum atau masih di tingkat pengaduan ke kepolisian atas sebuah produk jurnalistik, Dewan Pers selalu menjadikan tiga hal di atas sebagai dasar untuk pembelaan terhadap media. Bukan harus terverifikasi baru dibela dan dilindungi eksistensinya. Hal ini juga disebabkan kesadaran dari sisi Dewan Pers bahwa proses verifikasi media secara administratif apalagi faktual, memerlukan proses yang lama.

Ada ratusan perusahaan pers yang antre, untuk diproses karena persyaratan yang belasan jumlahnya, banyak berkas yang harus diperiksa dan dicek atau konfirmasi, sementara sumber daya manusia yang mengurusnya terbatas untuk tidak mengatakan sedikit. Dulu staf sering saya minta agar mereka lembur untuk mempercepat proses, tetapi tetap saja kekuatan fisik dan psikis staf ada batasnya.

Keluarnya Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2023 yang ditetapkan 6 Januari 2023, membuat verifikasi administrasi semakin membebani media, sampai saya mengatakan ini sudah mirip dengan “Deppenisasi” yang berpotensi mematikan kemerdekaan pers, karena “membunuh” kehidupan media kelas UMKM. Kewajiban memiliki minimal 10 wartawan plus karyawan, kewajiban membayar BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan untuk seluruh wartawan dan karyawan, kewajiban membayar upah minimal setara UMP yang ditandai dengan bukti transfer perusahaan ke karyawan, dll membuat media dengan modal sedang atau kecil, mati berdiri.

Seharusnya Dewan Pers memberi keringanan karena kondisi ekonomi perusahaan pers yang terpuruk saat ini, tidak hanya karena perubahan perilaku konsumsi informasi masyarakat dan makin tersedotnya iklan ke media sosial, tetapi juga akibat pandemi selama dua tahun . Bukan malah membebani lagi. Apakah anggota dan staf Dewan Pers tidak pernah turun ke lapangan untuk mengetahui kehidupan ekonomi media yang seharusnya didorong untuk maju dan kini terkesan malah dipersulit? ***

Kembali ke awal cerita, Dewan Pers tidak pernah mewajibkan perusahaan pers untuk mendaftar karena itu bertentangan dan tidak diatur di Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers. Sebaliknya media berlomba-lomba ingin diverifikasi karena inilah jalan keluar dari pendapatan yang semakin sulit, antara lain akibat pertumbuhan media siber yang abnormal. Dan fakta bahwa pemerintah daerah dan lembaga menjadikan status terverifikasi sebagai saringan untuk memudahkan pilihan, mana yang diajak kerjasama, efisiensi, pertanggungjawaban anggaran yang akuntabel, serta keterbatasan anggaran.

Media massa profesional masih dibutuhkan negeri ini untuk mengimbangi kebisingan dan banjir informasi lancung dari media sosial sehingga semua pihak khususnya Dewan Pers amat berkepentingan memberikan ekosistem yang baik. Jangan biarkan mereka hidup segan mati tak mau di lahan gersang, khususnya media produk wartawan profesional, wartawan idealis, yang ingin menjalankan peran sebagai alat menyalurkan aspirasi masyarakat, mengedukasi masyarakat , melakukan fungsi kontrol, menjadi ajang diskusi atas masalah-masalah kebangsaan dan negara, dst.

Sebaliknya Dewan Pers harus memunculkan gagasan, melakukan diskusi-diskusi itensif, bagaimana agar pers ini mendapat nafas lebih banyak, memiliki ruang hidup yang lebih luas, dan memilah-milah mana yang lebih penting dari 7 fungsi Dewan Pers yang disebutkan di Pasal 15 UU No.40/1999 agar mendukung dan bukan malah menghalangi pelaksanaan peran pers nasional seperti dinyatakan Pasal 6 UU No.40/1999:

  1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
  2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan
  3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
  4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
  5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Itulah cita-cita perancang UU No.40/1999 dan sungguh berdosa apabila kita lupa dan malah cenderung mengabaikannya karena asyik dengan hal remeh-temeh yang mestinya diurus belakangan. Seperti kata pujangga Jawa Ronggowarsito dalam salah satu bait di Serat Kalatida:

..//Dilalah kersa Allah/ begja-begjaning kang lali/luwih begja kang eling lan waspada// yang  artinya..//Sudah kehendak Allah/betapapun bahagianya orang yang lupa/lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada//.

Wallahu a’lam bishawab.

 

Ciputat, 22 Februari 2023

Continue Reading

Kopini Tamu

Disruptive dan Digital Literasi Googelisasi (googlization) yang Mengubah Pola Komunikasi Masyarakat dalam Berinteraksi

Redaksi KOIN24.CO.ID

Published

on

Penulis : Sujonsen. Mahasiswa S2 Magister Ilmu Komunikasi, FISIP USU.

 

Revolusi industri 4.0 merupakan proses kelanjutan dari revolusi industri sebelumnya, mulai dari revolusi pertama yang menemukan mesin uap dan kereta api (1750-1830), kemudian kedua, penemuan, kimia, alat komunikasi, listrik dan minyak (1870- 1900), dan ketiga, penemuan komputer, internet, dan seluler sampai pada teknologi digital dan informasi (1970—an hingga sekarang). Revolusi industri yang telah berada pada gelombang keempat, yang dikenal sebagai revolusi industri 4.0. Revolusi 4.0 yang menghasilkan teknologi digital telah mendasari koneksi data dalam skala besar, luas serta berlangsung dengan super cepat yang kejadiannya tidak pernah kita bayangkan. Revolusi industri 4.0 merupakan tren proses produksi yang berbasis teknologi digital yang menciptakan perubahan pada semua sektor kehidupandan melahirkan teknik-teknik produksi terkini, yang mampu meningkatkan produktivitas serta efisiensi secara berkelanjutan.

Industri 4.0 adalah teknologi digital yang melahirkan teknologi cerdas diantaranya; kecerdasan buatan (artificial intellegence), mahadata (bigdata), robot, teknologi finansial, perdagangan elektronik (e-commerce), pemasaran elektronik (e-marketing). Hampir semua kegiatan industri baik di sektor manufaktur maupun jasa kini menggunakan teknologi digital. Di era disruptive tidak hanya perusahaan-perusahaan besar kelas dunia yang terganggu (disrupted) dengan hadirnya teknologi masa kini. Teknologi digital menciptakan perubahan secara terus-menerus dan menjadi gangguan dalam proses produksi, dan tatanan kehidupan sosial ekonomi-budaya. Teknologi digital meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat akibat pengaruh kemajuan teknologi membuat beberapa pekerjaan terancam hilang tergantikan dengan jenis-jenis pekerjaan baru sehingga sumber daya manusia harus dipersiapkan untuk menghadapi datangnya era masa depan tersebut.
Tidak hanya itu, beberapa kemajuan teknologi yang memiliki pengaruh besar di dunia pendidikan nantinya paling banyak didominasi oleh hadirnya teknologi informasi. Seperti halnya 3D Digital Printing, Virtual and Augmented Reality , Gamification, Artificial Intelligent, dan Learning Analytics. bahkan menurut Lim Tai Wei (2019) dalam bukunya Industrial Revolution 4.0, Tech Giants, and Digitized Societie mengatakan bahwa awal abad 21 sebagai era industri 4.0 dikarakteristikkan dengan perkembangan artificial intelligence (AI), manufaktur aditif, robot dan kendaraan otomatis, mesin yang dikontrol algoritma, software/ aplikasi yang mampu memprediksi perilaku berbasis algoritma, dan revolusi media sosial. Thangaraj, dan Narayanan (2018) mengatakan industri berkoneksi dengan IoT (internet of things) yang memungkinkan teknik manufaktur untuk berbagi informasi, menganalisis dan memandu aksi cerdas dalam bentuk robot, AI, teknologi kognitif, dan augmented reality

Dalam era digital,  teknologi telah mendominasi kehidupan manusia sekarang dan masa depan. Teknologi telah dipahami dari berbagai pendekatan. Menurut Boone dan Kurzt (2000) teknologi diartikan sebuah aplikasi dari pengetahuan yang didasarkan atas berbagai penemuan dan inovasi ilmu pengatahuan. Dari aspek sosial Perrow (1967, dalam Robbins,1990) teknologi dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan seorang individu terhadap sebuah objek, dengan atau tanpa bantuan alat atau perlengkapan mekanis, untuk membuat perubahan tertentu pada objek tersebut. Literasi digital yang sekarang digaungkan memiliki pengaruh yang akan menciptakan masyarakat dengan pola pikir, membangun komunikasi serta pandangan yang kritis dan kreatif terhadap media digital. Tentunya Literasi digital merupakan suatu kemampuan seseorang dalam memahami, menganalisis, dan mengevaluasi suatu informasi dengan menggunakan teknologi digital saat ini.

Sebuah Data yang tersaji dari Data Global Internet Traffic Forecast (Cisco, 2022) menyebutkan lalu lintas internet global telah mencapai 278 exabyte per bulan pada tahun 2021. Angka ini menunjukkan adanya pertumbuhan yang masif dan  ketergantungan masyarakat pada komunikasi sekaligus menegaskan adanya kemajuan konektivitas yang berkualitas. Tentunya hal ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan besar, Sejauh mana kita mampu mengimbangi cepatnya kemajuan teknologi dan derasnya aliran informasi ini dan membekali diri dengan pengetahuan untuk memanfaatkan internet secara bijak dan bertanggung jawab? Menteri Komunikasi dan Informatika Repbulik Indonesia Johnny Gerard Plate dalam siaran Pers Siberkreasi dalam acara WSIS 2020 (8/9/2020), menyampaikan pentingnya peningkatan literasi digital masyarakat, sesuai dengan pidato “Visi Indonesia” Presiden Repbulik Indonesia yang disampaikan pada tanggal 14 Juli 2019, menekankan bahwa pada masa pemerintah kedua, Pembangunan SDM akan menjadi salah satu visi utama. Indikator Literasi Digital yakni Idikator IMD dan  Katadata digunakan sebagai acuan dan target penyusunan peta jalan literasi digital.

Data IMD (Institute of International Management Development) IMD Digital Competitiveness Ranking menggunakan 3 kategori (Technology, Knowledge,Future Readiness) dengan 9 sub-faktor dan 52 kriteria indikator, dalam hal ini  peringkat Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun dari kurun tahun 2015 s.d. 2020 dari peringkat 60 mejadi 56 dari 63 negara. Sedangkan Status Literasi Digital Indonesia Survei di 34 Provinsi (Katadata Insight Center) Survey ini dilakukan untuk mengukur tingkat literasi digital dengan menggunakan kerangka “A Global Framework of Reference on Digital Literacy Skills” (UNESCO, 2018) Melalui survei ini, responden diminta untuk mengisi 28 pertanyaan yang disusun menjadi 7 pilar, 4 sub-indeks menjadi sebuah Indeks Literasi Digital yang terangkum hasil skor digital literasi Indonesia yang terbagi menjadi Wilayah Indonesia Barat 3,43, Wilayah Indonesia Tengah 3,57 dan Wilayah Indonesia Timur 3,44.

Tentunya menjadi PR yang besar dalam mencapai target program literasi digital, perlu diperhitungkan estimasi jumlah masyarakat Indonesia yang telah mendapatkan akses internet berdasarkan data dari APJII dan BPS Identifikasi Target User, Total Serviceable Market mencakup perorangan yang menjadi target spesifik program literasi digital Tingkat Penetrasi Internet Belum Mendapat Internet Jiwa196.714.070  atau 73,7% sedangkan yang belum mendapatkan internet 26,3% (data Roadmap Literasi digital 2021-2024, Kominfo RI).

Peran penting teknologi masa kini terasa dalam memudahkan hidup dan masuk keseluruh sendi-sendi kehidupan individu dan masyarakat. Informasi apa pun kini bisa diperoleh semudah bertanya pada ‘Mbah Google.’ Namun, ternyata di sisi lain, kemudahan ini juga berdampak pada kemampuan pengguna mengonsumsi informasi. Gejala ini disebut fenomena ‘Googlization’, sebuah kondisi yang membuat seseorang sangat nyaman untuk menjelajah di dunia maya untuk mencari informasi. (Alice Lee, Literacies & Competencies Required to Participate in Knowledge Societies). Kondisi ini membuat pengguna yang selalu menggunakan dan mengandalkan mesin pencari mengalami cacat memori dan pada akhirnya sulit dan tak mampu lagi membaca artikel panjang dan mendalam. Studi yang dimuat oleh  MindEdge Online Survey of Critical Thinking Skills menunjukkan generasi milennial kekurangan kemampuan berpikir kritis. Masalah ini menjadi sangat penting, dimana 55 % generasi milenial bergantung pada media sosial sebagai sumber berita, 51 % sangat rajin membagikan konten dari media sosial ke lingkaran terdekatnya, dan 36 % secara sengaja telah membagikan informasi yang tidak akurat. Pendekatan teori yang terkait dengan media sosial menunjukkan bahwa media sosial dapat mengubah agenda pemberitaan yang ada di masyarakat bahkan menjadi pemberitaan itu sendiri (David & Young, 2009) Media sosial memang memiliki peran dalam membangun dan mengubah opini dalam masyarakat. Temuan ini konsisten dengan survei dari Universitas Stanford (Evaluating Information: The Cornerstone of Civic Online Reasoning) yang mendapati bahwa pelajar-pelajar di sekolah menengah hingga mahasiswa di perguruan tinggi tidak mampu membedakan bentuk berita, mana yang berupa artikel, iklan, atau tajuk opini.

Media sosial telah menjadi alternatif medium yang digunakan selain dari media TV, radio, koran, dan majalah yang selama digunakan masyarakat secara massif. Media sosial tumbuh semakin pesatnya menjadi media public relation (kehumasan) baru dalam masyarakat dan mengubah berbagai hal. Media sosial menjadi medium persuasi yang dapat mengubah persepsi ataupun perilaku publik. Komunikasi melalui media sosial dapat menambah ataupun mengkonsolidasikan reputasi dan kepercayaan, baik untuk individu maupun untuk sebuah institusi. Karena itu, pemahaman terhadap penggunaan media sosial ini secara efektif menjadi tuntutan zaman untuk dapat bekerja secara efektif dan saling bertukar pengaruh antara pemberi informasi dan penerima informasi dalam masyarakat. Setiap individu saat ini hampir mengakses internet untuk menjangkau informasi global dengan berbagai cara. Tidak ada lagi yang dapat membendung pengaruh perkembangan internet dan media sosial dalam kehidupan keseharian masyarakat. Media sosial telah digunakan oleh 1 dari 10 orang pekerja, pelanggan, stakeholder (mitra), politisi, masyarakat lokal dengan berbagam jaringan sosial seperti facebook, tweeter dan sebagainya (David & Young, 2009) bahkan era ini lebih daripada yang sebutkan oleh David & Young. Karena itu, media sosial menjadi sarana untuk menciptakan sebuah wacana dalam bentuk luas serta dapat menjadi bahagian kontrol terhadap sebuah isu. Mark Poster The Second Media Age  dalam bukunya menyatakan bahwa yang menandai era media baru adalah lahirnya teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, khususnya dunia maya yang akan mengubah masyarakat. Media baru ini berbasis pada interaksi sosial dan integrasi sosial. Dalam pendekatan interaksi sosial, media baru lebih interaktif dan menciptakan sebuah pemahaman tentang komunikasi yang lebih bersifat personal. Pandangan ini didukung Pierre Levy dengan istilah cyberculture yang memandang world wide web sebagai lingkungan informasi terbuka, fleksibel, dinamis, namun interaktif. teori persamaan media (media equation theory) yang menyatakan bahwa manusia memperlakukan media (komputer ataupun hp) seperti manusia dalam artian nyata. Pendekatan ini melihat bagaimana new media dapat mempengaruhi individu dan struktur sosial masyarakat (Littlejohn & Foss, 2009). Pendekatan Teori inti yang digunakan dalam kajian ini yaitu Participatory Media Culture dari Henry Jenkins. Jenkins dalam teorinya menguraikan sejumlah pendekatan dan mekanisme yang dilakukan individu ataupun khalayak tertentu yang secara bersama-sama mengambil peran sebagai konsumen media sekaligus pula berperan sebagai produsen informasi tertentu dari media tersebut. Dalam teori ini, khalayak dengan beragam kreativitasnya dapat menanggapi isi media dengan menciptakan komoditas budaya mereka sendiri dengan menguraikan serta menemukan sejumlah makna yang terdapat dalam pesan dan produk media.

Problematika penggunaan media sosial di kalangan masyarakat dan terutama kaum milenial sering menjadi perhatian dan sorotan dari beragam kalangan mulai dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, juga sejumlah elemen masyarakat seperti para guru, dosen, pemerhati pendidikan dan tentunya para orang tua sendiri yang sering mengalami kecemasan terhadap penggunaan media sosial.

Beberapa fenomena yang banyak terjadi dari penggunaan media sosial yang berlebihan dangan kemudahan akses dari fenomena disruptive dan feneomena Googelisasi pada semua platform media digital dan semakin tumbuh suburnya di masyarakat ini dengan munculnya beragam berita yang kurang bisa divalidasi kebenarannya pada media sosial digital, atau biasa dikenal dalam masyarakat sebagai hoax (Serangan konten negatif). Hoax menjadi fenomena yang berkembang sangat cepat ditengah perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Hoax yang berkembang di media sosial dan media massa dianggap bukan hanya sebagai salah satu bentuk penyebaran kebohongan semata, namun telah berkembang menjadi virus informasi dan penyakit yang dapat melumpuhkan pola pikir dan perilaku masyarakat terutama generasi milenial. Pekerjaan rumah besar kita bersama adalah membangkitkan kesadaran setiap individu untuk kembali berpikir kritis dalam menerima setiap informasi. Apapun beritanya Cek terlebih dahulu, Saring sebelum Sharing.

Continue Reading

Opini Redaksi Koin

SELAMAT JALAN MAS TJAHJO

Sakti Sawung Umbaran

Published

on

selamat jalan mas tjahyo

Dapat kabar satu menteri, Tjahjo Kumolo mendahului kita. Terus terang kenal bingits mah kagak. Cuman ada satu kenangan bersama doi nyang kagak terlupakan.

Satu hari di bulan Desember 2017,kl kagak salah,gw sama bokin makan di Gado-gado Bonbin kawasan Cikini.Emang lagi jam makan. Penuh bingits. Ada satu tempat yg lengang. Cuman satu orang nyang duduk. Tjahjo Kumolo. Daripada kagak makan ya gw samperin ajah. Sok tau dan sok kenal. Numpang duduk. Ternyata doi ramah. Narik kursi. Mari, silakan katanya buat bokin gw.

Abis itu kita ngobrol antara laintentang kegiatan kami dan tentang almarhum Ketua PWI Pusat, Tarman Azzam.
Mas Tjahjo juga cerita udah berapa puluh tahun jadi langganan di tempat itu. Sama dong, kata gw.
Lantas, sebagaimana biasa, mungkin untuk nyang laen bisa berasa kurang ajar,gw minta foto.

Kl aku minta izin berfoto sama menteri kan ga sopan, jadi aku perintahkan Pak Menteri berfoto sama kita, kata gw.
Seperti nyang gw duga Mas Tjahjo malah ngakak. Ayo, katanya dengan nada hangat. Jadi deh jeprat-jepret.
Lantas gw tanya mau ke mana mas? Ada acara di Gedung Juang.Mau gabung? Gw bilang terima kasih mas, ntar ganggu.

Ra opo opo katanya. Tetep ajah gw tampik. Pipi kenapa mas? Tanya gw ngeliat ada plester nempel. Ooh,bisul iki, jawabnya.

Saat kita ngobrol, orang -orang pada ngeliatin.Jangan-jangan pada bertanya, siapa sih tuh orang nyang sok kenal tapi ditanggapi dengan akrab. Atau malah ada nyang ngira gw pejabat. Hhhh, kagak pentinglah.

Ga lama kemudian Mas Tjahjo minta diri. Aku dulu ya. Bener ga mau gabung.

Ga deh mas. Selamat dan sukses yo.

Iyo suwon, katanya. Doi pergi sementara tempat duduk kami masih lengang.
Ada nyang gw lupa………..minta dibayarin Rasanya sih doi ga keberatan. Bukan kagak punya kepeng tapi kan gagah masyarakat biasa dibayarin menteri.

Itu sekelumit kenangan bersama Mas Tjahjo. Selamat jalan Mas. Semoga mendapat nyang terbaik.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler