Connect with us

Kopini Tamu

Ketika Jurnalisme Tak Lagi Menarik: Renungan Menurunnya Minat Generasi Muda terhadap Jurusan Jurnalistik

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh : Dadang Rachmat
Sekjen Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat – Pimred Mitrapol

Jakarta, Koin24.co.id – Setiap tanggal 2 Mei, Bangsa Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional, sebagai penghormatan kepada Ki Hajar Dewantara, Pelopor Pendidikan Indonesia yang mengedepankan kemanusiaan. Namun, dalam era sekarang, pendidikan tidak lagi menjadi sekadar tanggung jawab guru dan sekolah, melainkan menjadi tugas kolektif semua elemen bangsa, termasuk wartawan. Pers dan dunia pendidikan memiliki misi yang sejajar: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai penyampai informasi dan penjaga nalar publik, wartawan memiliki peran yang krusial dalam mendukung pendidikan nasional. Melalui berbagai bentuk pemberitaan, mulai dari berita, opini, laporan investigasi, hingga rubrik edukatif, wartawan berkontribusi dalam membangun kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya pendidikan. Banyak perubahan kebijakan pendidikan yang dihasilkan berkat dorongan opini publik yang dipicu oleh laporan media.

Di tengah derasnya arus informasi yang tak pernah berhenti, profesi wartawan seharusnya menjadi salah satu yang paling relevan di era digital saat ini. Namun, alih-alih meningkat, minat generasi muda untuk menempuh pendidikan di jurusan jurnalistik justru mengalami penurunan yang signifikan. Fenomena ini adalah sebuah ironi yang menyedihkan: di saat kebutuhan akan jurnalisme berkualitas semakin mendesak, calon-calon jurnalis semakin sulit ditemukan.

Data dari berbagai perguruan tinggi mengungkapkan penurunan drastis jumlah pendaftar jurusan jurnalistik dalam lima tahun terakhir. Banyak siswa SMA lebih memilih jurusan yang dianggap lebih menguntungkan secara finansial, seperti teknologi informasi, bisnis digital, atau profesi baru di dunia konten seperti influencer, content creator, dan vlogger. Sayangnya, jurnalisme sekarang dipandang sebagai profesi “usang” yang kalah saing di zaman algoritma.

Padahal, jurnalisme lebih dari sekadar pekerjaan menulis berita. Jurnalisme adalah pilar demokrasi. Dalam ungkapan Walter Lippmann, seorang tokoh pers asal Amerika, “Tanpa kritik dan pelaporan yang dapat dipercaya, masyarakat akan menjadi massa yang tak berdaya.” Ini menunjukkan bahwa hilangnya jurnalis profesional berarti hilangnya mata dan telinga publik yang kritis terhadap kekuasaan dan ketidakadilan.

Lalu, apa yang menyebabkan minat ini memudar?

Pertama, citra profesi wartawan sering kali dianggap kurang menjanjikan, baik dari segi finansial maupun prestise. Banyak generasi muda melihat wartawan sebagai pekerjaan yang berisiko tinggi dengan imbalan yang tak sebanding. Selain itu, industri media juga tengah menghadapi krisis, dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), upah yang stagnan, dan semakin menyusutnya ruang redaksi.

Kedua, disrupsi digital telah menggeser peran wartawan menuju tangan algoritma dan konten instan. Generasi muda, yang sudah terbiasa dengan media sosial, lebih tertarik menjadi kreator konten independen dibandingkan jurnalis yang terikat pada etika dan verifikasi. Dunia jurnalistik dianggap “kaku”, terlalu normatif, dan kalah cepat dibandingkan dunia media sosial dalam hal pencapaian dan eksposur.

Ketiga, kurangnya promosi dan pendidikan mengenai jurnalistik sejak dini. Di banyak sekolah, pelajaran menulis, berpikir kritis, dan pemahaman tentang etika media belum menjadi bagian integral dari kurikulum. Anak-anak tidak diperkenalkan pada peran penting jurnalis dalam masyarakat, sehingga jurnalistik tidak tampak sebagai jalan hidup yang mulia dan menarik.

Namun, harapan masih ada. Dunia jurnalistik justru memerlukan wajah-wajah baru: generasi muda yang peka terhadap keadilan sosial, melek digital, dan berani menyuarakan kebenaran. Profesi ini akan selalu relevan, terutama di tengah dunia yang semakin ramai oleh hoaks dan manipulasi informasi.

Kita perlu menggali kembali narasi positif tentang jurnalisme. Bahwa menjadi wartawan adalah sebuah pilihan karier yang membawa makna, bukan sekadar soal gaji, melainkan juga tentang pengabdian kepada publik, kemanusiaan, dan nilai-nilai kebenaran. Seperti yang diungkapkan Christiane Amanpour, jurnalis senior CNN, “Tugas kami adalah memberikan suara kepada yang tak bersuara dan menyampaikan kebenaran di dunia yang penuh propaganda.”

Lembaga pendidikan, organisasi profesi, dan industri media harus bersatu menciptakan ekosistem yang menarik bagi calon jurnalis. Mulai dari program pelatihan jurnalistik digital, beasiswa khusus, hingga promosi melalui media sosial yang lebih ramah dan inspiratif.

Karena jika generasi muda kehilangan minat pada jurnalisme, yang kita hadapi bukan hanya krisis profesi, tetapi juga krisis informasi, krisis keadilan, dan krisis masa depan demokrasi itu sendiri.***

Continue Reading

Kopini Tamu

Buruh dan Presiden Sepanggung Sepenanggungan

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh: Tundra Meliala
Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat

Jakarta, Koin24.co.id – Monumen Nasional, Jakarta, kembali menjadi saksi bisu sejarah. Pada Hari Buruh Internasional (May Day), 1 Mei 2025, untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, Presiden Republik Indonesia berdiri di atas panggung yang sama dengan para pemimpin serikat buruh. Riuh tepuk tangan bergema di tengah lautan massa berbaju merah, biru, dan putih, menandai babak baru hubungan antara buruh dan negara.

Momentum ini bukan sekadar selebrasi tahunan. May Day kali ini menyimpan aroma perubahan. Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, menyebut momen kebersamaan ini sebagai “simbol harapan baru”. Pernyataan yang terdengar sederhana, tapi punya daya ledak politik yang besar.

“Banyak yang bertanya, bagaimana mungkin buruh bisa bersama Istana,” ujar Jumhur dari atas panggung. Jawabannya, menurut dia, karena Istana hari ini adalah Istana yang ingin membebaskan kaum miskin dan memulihkan martabat kaum buruh.

Ada yang berbeda dalam perayaan May Day 2025. Bukan hanya karena semarak panggung hiburan dan barisan spanduk penuh tuntutan, tetapi karena atmosfer kebijakan terasa bergeser. Presiden Prabowo Subianto tak hanya hadir, ia juga bicara langsung di hadapan buruh—dengan nada yang tegas namun bersahabat.

“Negara tidak boleh lemah dalam melindungi buruh,” ujar Presiden Prabowo. “Kita akan perkuat regulasi, kita akan tingkatkan pengawasan, dan kita pastikan setiap pekerja Indonesia hidup dengan layak.”

Ucapan itu langsung disambut gemuruh massa. Tapi di balik tepuk tangan, ada ekspektasi besar. Buruh tidak hanya menginginkan pengakuan simbolik, mereka menuntut aksi konkret.

Salah satu aspirasi penting yang disuarakan Jumhur adalah dorongan agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 188 tentang Pekerja Perikanan. Ini bukan permintaan baru, tetapi kini gaungnya terdengar langsung ke telinga presiden.

“Teman-teman buruh yang bekerja di laut menitipkan pesan agar konvensi ini segera diratifikasi menjadi undang-undang,” kata Jumhur. Di balik tuntutan itu, ada nasib ratusan ribu pekerja di kapal-kapal nelayan dan pabrik pengolahan ikan yang hingga kini masih bekerja tanpa jaminan perlindungan memadai.

Presiden Prabowo menyambut aspirasi tersebut dengan terbuka. Ia menjanjikan pembahasan cepat bersama DPR. “Kami akan pelajari dan kaji dengan serius agar perlindungan hukum bisa diperluas,” katanya. Bahasa tubuhnya tenang, tetapi suara hatinya, tampaknya, sedang menimbang tanggung jawab besar yang dibebankan rakyat kepadanya.

Namun, euforia May Day ini tetap harus dibarengi kewaspadaan. Sejumlah aktivis buruh mengingatkan bahwa kebijakan tak boleh berhenti di podium. Komitmen presiden harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata—revisi regulasi yang selama ini dianggap tidak berpihak pada pekerja, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, masih menjadi tuntutan utama.

Pendekatan dialogis yang kini diambil pemerintah patut diapresiasi. Tapi dalam negara demokratis, suara kritis tetap harus dijaga. Serikat buruh harus tetap menjadi kekuatan independen, bukan sekadar mitra pemerintah yang jinak. Kolaborasi tak boleh menghilangkan daya kritis.

May Day 2025 menjadi titik balik penting. Sebuah panggung yang mempertemukan Istana dan massa pekerja bukan hanya ruang simbolik, tapi juga medan pertarungan ide. Arah kebijakan ketenagakerjaan ke depan akan ditentukan oleh seberapa serius pemerintah menjalankan komitmennya. Jika benar negara ingin memperkuat ekonomi rakyat, maka penguatan buruh—dalam upah, perlindungan hukum, dan jaminan sosial—adalah keniscayaan.

Buruh adalah rakyat. Sama seperti TNI yang berasal dari rakyat dan kembali kepada rakyat setelah purna tugas. Presiden Prabowo, yang datang dari latar belakang militer, tampaknya mengerti hal itu. Ia ingin menyatu dengan rakyat, termasuk mendengar dan merespons koreksi dari mereka. Jika ia konsisten, sejarah akan mencatat May Day 2025 sebagai awal terang bagi kaum buruh Indonesia.***

Continue Reading

Kopini Tamu

Implikasi Yuridis Penerimaan Noeh Hatumena Sebagai Plt. Ketua DK PWI dalam Gugatan PMH oleh PN Jakpus

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh: Hendra J. Kede, S.T., S.H., M.H., GRCE
Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat / Ketua Bidang Non-litigasi LKBPH PWI Pusat

Jakarta, Koin24.co.id – Sayid Iskandarsyah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat (DK PWI) dan pengurusnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas terbitnya SK DK Nomor: 21/IV/DK/PWI-P/SK-SR/2024 tentang Sanksi Organisasi Terhadap Sayid Iskandarsyah tanggal 16 April 2024.

Gugatan terdaftar di Kepaniteraan PN Jakarta Pusat di bawah nomor register: 395/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst tanggal 8 Juli 2024.

Sayid Iskandarsyah menilai para Tergugat telah melanggar Pasal 1365 jo Pasal 1366 KUHPerdata (Halaman 17 Putusan Sela).

Institusi DK PWI menjadi Tergugat I. Sementara Tergugat II dan III adalah Ketua dan Sekretaris DK PWI yang menandatangani Surat Keputusan a quo yaitu Sasongko Tedjo dan Nurcholis Ma Basyari.

Tergugat IV – X adalah Wakil Ketua, dan enam orang Anggota DK PWI saat SK diterbitkan. Dan Hendry Ch Bangun dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PWI Pusat sebagai Turut Tergugat II.

Penerimaan Noeh Hatumena Sebagai Plt. Ketua DK PWI oleh Majelis Hakim

Majelis Hakim menjatuhkan Putusan Sela yang pada intinya menyatakan PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan hukum/legal standing (kompetensi absolut) untuk memeriksa dan mengadili gugatan PMH a quo.

Mempelajari Putusan Sela dimaksud, pada halaman 1, Majelis Hakim PN Jakpus menerima Noeh Hatumena mewakili kepentingan hukum DK PWI di persidangan selaku Plt. Ketua DK PWI.

“Lawan 1. Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, berkedudukan…., diwakili oleh M. Noeh Hatumena selaku Plt. Ketua Dewan Kehormatan PWI dalam hal ini memberikan kuasa kepada….”

Hal ini sesuai dengan SK PWI Pusat Nomor: 250-PLP/PP-PWI/2024 tentang Pemberhentian Sementara Sasongko Tedjo Sebagai Ketua Dewan Kehormatan dan Pengangkatan Noeh Hatumena Anggota Dewan Kehormatan Sebagai Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kehormatan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia Masa Bakti 2023-2028 tanggal 5 Agustus 2024.

Penerimaan Majelis Hakim ini dilanjutkan dengan memberi kesempatan kepada Penasihat Hukum DK PWI Pusat yang ditunjuk oleh Noeh Hatumena untuk memberikan jawaban atas gugatan Penggugat, dan jawaban tersebut ikut dimuat dalam Putusan Sela.

Tidak ditemukan dalam Putusan Sela tersebut, Tergugat II (Sasongko Tedjo) mempermasalahkan penerimaan Noeh Hatumena oleh Majelis Hakim (Fakta persidangan).

Sebagai catatan, persidangan pertama untuk memeriksa kedudukan hukum/legal standing para pihak dilakukan setelah ditetapkannya Noeh Hatumena sebagai Plt. Ketua DK PWI.

Pertanyaan Kritis

Pertanyaan kritis yang muncul kemudian terkait sedang adanya dinamika kepengurusan di PWI Pusat adalah apakah penerimaan Noeh Hatumena oleh Majelis Hakim PN Jakpus ini memiliki implikasi yuridis walau tidak dinyatakan secara eksplisit oleh Majelis Hakim berdasarkan asas legalitas (Legaliteitsbeginsel), asas kepastian hukum (Rechtszekerheid), asas tidak menyalahgunakan wewenang (Detournement de Pouvoir), asas akuntabilitas , dan asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law), dan praktik hukum administrasi?

Implikasi Yuridis Noeh Hatumena Diterima Majelis Hakim Sebagai Plt. Ketua DK PWI Pusat

Penerimaan Noeh Hatumena yang berwenang mewakili DK PWI dalam persidangan menimbulkan sejumlah implikasi yuridis yang patut dicermati dan terbaca secara implisit dalam Putusan Sela PN Jakpus a quo.

Pertama. Pengakuan Terhadap Kepengurusan PWI di bawah Ketua Umum Hendry Ch Bangun dan Sekretaris Jenderal Iqbal Irsyad

Sasongko Tedjo telah menyatakan dirinya sebagai Ketua DK PWI  dari apa yang dia sebut hasil Konggres Luar Biasa (KLB) PWI Agustus 2024 dengan Zulmansyah sebagai Ketua Umum dan Wina Armada sebagai Sekretaris Jenderal.

Sementara di sisi lain, Hendry Ch Bangun selaku Ketua Umum hasil Konggres Bandung 2023 dengan Sekretaris Jenderal Iqbal Irsyad telah menunjuk Noeh Hatumena sebagai Plt. Ketua DK PWI menggantikan Sasongko Tedjo melalui sebuah Surat Keputusan (Asas legalitas).

Padahal yang digugat oleh Sayid Iskandarsyah sebagai Tergugat I adalah institusi DK PWI. Maka pertanyaan logisnya adalah bukankah seharusnya Sasongko Tedjo menolak kehadiran Noeh Hatumena sebagai orang yang mewakili kepentingan hukum institusi DK PWI dalam persidangan?

Beranjak dari fakta-fakta di atas, maka penerimaan PN Jakpus terhadap Noeh Hatumena secara implisit dapat diterjemahkan sebagai pengakuan lembaga peradilan terhadap keabsahan Surat Keputusan yang diterbitkan Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad yang menunjuk Noeh Hatumena, sekaligus merupakan pengakuan implisit keabsahan kepengurusan PWI Pusat dibawah kepemimpinan Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad.

Kedua. Keberlakuan Perombakan Pengurus oleh Hendry Ch Bangun

Noeh Hatumena ditunjuk sebagai Plt. Ketua DK PWI setelah terbitnya SK AHU Kumham Nomor: AHU.0000946.AH.01.08 Tahun 2024 dan sampai saat pembacaan putusan belum mengalami perubahan.

Maka penerimaan PN Jakpus terhadap Noeh HatumenaI secara implisit dapat dimaknai juga bahwa perombakan kepengurusan PWI Pusat oleh Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad adalah sah dan mengikat dihadapan hukum, dan dapat diberlakukan walaupun belum terbit SK AHU perubahan.

Implikasi yuridisnya adalah segala tindakan administratif yang diambil oleh kepengurusan PWI Pusat dibawah Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad berlaku dan mengikat secara hukum, baik ke dalam maupun ke luar organisasi PWI (asas akuntabilitas).

Ketiga. Tidak Ada Dualisme Kepengurusan PWI

Argumen Dewan Pers dalam surat pengosongan kantor PWI Pusat di Gedung Dewan Pers Lt. IV, Jln. Kebon Sirih 34, Jakarta Pusat yang menyatakan seolah-olah ada dualisme kepengurusan PWI Pusat tertolak dengan diterimanya Noeh Hatumena oleh PN Jakpus ini, padahal Ketua DK PWI a.n. Sasongko juga bagian dari persidangan dan merupakan Tergugat II.

Hal ini sekaligus juga bermakna bahwa PN Jakpus secara implisit mementahkan argumentasi Dewan Pers yang mengakui Sasongko Tedjo selaku Ketua DK PWI Pusat exiting selama proses persidangan berlangsung dan selama SK PWI Pusat yang mengangkat Noeh Hatumena belum dicabut (asas tidak menyalahgunakan wewenang, asas kepastian hukum, dan asas persamaan di depan hukum).

Melalui Putusan Sela ini, PN Jakpus seolah mengajarkan bahwa asas legalitas harus dijunjung tinggi, dihormati, dan dijalankan oleh siapapun.

Dan karena yang berwenang menentukan legalitas kepengurusan PWI adalah Kementerian Hukum, maka lembaga lain, termasuk Dewan Pers, wajib mematuhinya tanpa ada ruang sedikitpun untuk mempertanyakannya, kecuali ditetapkan lain oleh pengadilan jika ada yang mengajukan gugatan hukum.

Kempat. Keabsahan Kepengurusan DK PWI

Penerimaan Noeh Hatumena oleh PN Jakpus sekaligus juga menegaskan bahwa Wakil Ketua, Sekretaris, dan Anggota DK PWI yang memiliki kewenangan hukum mengatasnamakan DK PWI dan mengambil tindakan administrasi atas nama DK PWI guna menjalankan segala hak dan kewajiban yang diamanatkan Peraturan Dasar (AD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT) PWI adalah kepengurusan DK PWI yang berada dibawah koordinasi Noeh Hatumena.

Kelima. Keabsahan Surat-Surat

Putusan Sela juga secara implisit menyatakan bahwa semua Surat Keputusan dan surat-surat lainnya yang dikeluarkan PWI Pusat yang ditandatangi oleh Ketua Umum Hendry Ch Bangun, Sekretaris Jenderal Iqbal Irsyad, Bendahara Umum Muhammad Nasir, serta pengurus lainnya, termasuk dan tidak terbatas surat-surat yang diterbitkan bagian keuangan Sekretariat PWI Pusat adalah sah dan mengikat secara hukum.

Akibat yuridisnya, kepengurusan PWI Pusat di bawah Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad merupakan kepengurusan PWI yang memiliki hak hukum untuk melakukan perikatan keperdataan dengan pihak manapun untuk dan atas nama institusi PWI Pusat, termasuk dan tidak terbatas dengan pemerintah dan perbankan dengan segala implikasi hukumnya.

Keenam. Ilegalitas Kepengurusan KLB Jakarta 2024

Makna implisit lainnya dengan diterimanya Noeh Hatumena oleh PN Jakpus adalah tidak diakuinya klaim adanya KLB PWI pada pertengahan Agustus 2024 oleh PN Jakpus, delapan bulan sebelum pembacaan Putusan Sela.

PN Jakpus tidak mengakui legalitas dan keabsahan kepengurusan PWI yang mendasarkan legalitas dan kepengurusannya kepada apa yang mereka sebut sebagai hasil KLB PWI.

Hal ini dapat dipahami kenapa PN Jakpus bersikap demikian jika dilihat dari sisi asas legalitas dan praktik hukum administrasi.

Hakim dalam memutus terikat dengan asas legalitas. Dan faktanya, sampai Putusan Sela dibacakan Kementerian Hukum tidak menerbitkan SK AHU yang mengubah posisi Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PWI Pusat dari Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad.

Dan mereka yang mengatasnamakan Pengurus PWI hasil KLB, sampai saat Putusan Sela dibacakan, setelah 8 bulan berlalu, juga tidak mengajukan gugatan hukum terhadap Menteri Hukum atas keberlakuan SK AHU Nomor: AHU.0000946.AH.01.08 Tahun 2024.

Melihat rentang waktu yang demikian panjang, delapan bulan, maka patut diduga sebenarnya pihak yang mengatasnamakan sebagai kepengurusan PWI Pusat hasil KLB yakin akan kalah jika mengajukan gugatan hukum ke PTUN atas SK AHU tersebut.

Ketujuh. Kantor PWI di Lantai 4 Gedung Dewan Pers Dikembalikan dan UKW Seharusnya Diaktifkan

Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa penerimaan Noeh Hatumena oleh PN Jakpus sebangun dengan pengakuan secara implisit lembaga peradilan terhadap legalitas kepengurusan PWI Pusat dibawah kepemimpinan Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad, sekaligus mematahkan argumen Dewan Pers terkait adanya dualisme kepengurusan PWI Pusat.

Maka konsekuensi hukumnya adalah Dewan Pers sudah seharusnya mengembalikan kantor PWI Pusat yang terletak di lt. 4 Gedung Dewan Pers, Jln. Kebon Sirih nomor 34 Jakarta Pusat, kepada kepengurusan PWI hasil Konggres PWI Bandung 2023 dibawah Ketua Umum Hendry Ch Bangun dan Sekretaris Jenderal Iqbal Irsyad.

Bersamaan dengan itu, mengaktifkan kembali PWI sebagai lembaga uji pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang beberapa waktu terakhir dibekukan Ketua Dewan Pers tanpa alasan yang dibenarkan hukum. Hal ini sangat merugikan PWI sebagai organisasi profesi wartawan dan lebih-lebih lagi merugikan ribuan wartawan anggota PWI di seluruh Indonesia.

Penutup

Lembaga peradilan dalam negara yang beradab dan berdasarkan hukum dipandang sebagai lembaga penyelesai akhir atas segala dinamika yang ada di tengah masyarakat.

Maka penghormatan atas putusan pengadilan haruslah dipandang sebagai solusi akhir atas segala dinamika sosial kemasyarakatan dalam masyarakat yang beradab dan berbudaya.

PN Jakarta Pusat sudah sangat jelas dan terang benderang dalam memandang dinamika PWI melalui penerimaan terhadap Noeh Hatumena selaku Plt. Ketua DK PWI untuk mewakili kepentingan hukum DK PWI dalam sidang PMH di PN Jakarta Pusat, dengan segala implikasi yuridisnya.

Tidak ada pilihan lain selain menaati dan mematuhinya dengan sepenuh hati, terlepas dari pandangan subjektif dan kepentingan pribadi, baik pribadi orang maupun pribadi badan hukum, seperti Dewan Pers.

Demikian, semoga bermanfaat, terima kasih.

Continue Reading

Kopini Tamu

Semangat Emansipasi Kartini di Dunia Jurnalistik

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh :Umi Sjarifah

Jakarta, Koin24.co.id – Setiap tanggal 21 April, Bangsa Indonesia mengenang sosok Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita. Kartini tidak hanya dikenal karena perjuangannya dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum perempuan, tetapi juga karena pemikirannya yang tajam, kritis, dan visioner terhadap kondisi sosial di zamannya.

Bila kita tarik benang merah perjuangan Kartini ke dunia modern, khususnya dalam dunia jurnalistik, maka jelas bahwa semangatnya tetap relevan, bahkan semakin dibutuhkan.

Kendati tidak menulis di media massa, R.A.Kartini dapat disebut sebagai jurnalis kaum hawa Indonesia. Surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Eropa merupakan bentuk dokumentasi pemikiran yang kritis, reflektif, dan penuh kepedulian terhadap kondisi bangsanya.

Dalam surat-surat tersebut, Kartini membahas isu-isu sosial, pendidikan, kebudayaan, dan peran perempuan mengusung tema yang juga menjadi fokus utama jurnalisme progresif pada hari ini.

*Esensi Jurnalisme*

Bila jurnalisme adalah tentang menyuarakan yang tak terdengar dan mengangkat mereka yang tersisihkan, maka Kartini sudah mempraktikannya sejak awal abad ke-20. Ia menulis bukan untuk popularitas atau sekadar panjat sosial alias pansos. Kartini adalah bentuk perlawanan intelektual terhadap ketidakadilan.

Ia menyadari betul bahwa narasi memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan masyarakat. Inilah esensi jurnalisme yang ideal, yakni mengedukasi, menggugah, dan mendorong perubahan.

Keberadaan kaum hawa dalam dunia jurnalistik hari ini masih menghadapi tantangan besar, mulai dari bias gender di ruang redaksi, ketimpangan akses karier, hingga ancaman terhadap keselamatan saat meliput isu-isu sensitif. Namun, semangat Kartini harus terus menyala dalam diri para jurnalis perempuan Indonesia yang tak gentar menyuarakan kebenaran dan keadilan. Mereka menulis dengan keberanian, seperti halnya Kartini menulis surat dengan semangat pembebasan.

*Kartini Masa Kini*

Kartini masa kini bisa kita temukan dalam sosok wartawati yang meliput konflik di wilayah rawan, mengangkat isu perempuan dan anak yang terpinggirkan, atau memperjuangkan transparansi dan kebenaran di tengah tekanan kekuasaan. Mereka mewarisi semangat Kartini, bukan dalam balutan kebaya dan sanggul semata, melainkan dalam keberanian berpikir, bersuara, dan beraksi.

Jurnalisme yang sehat membutuhkan keberagaman pandangan, dan suara perempuan di dalamnya adalah bagian tak terpisahkan. Kartini telah membuka jalan, dan tugas kita adalah melanjutkannya dengan pena, mikrofon, kamera, dan semua alat jurnalistik yang kita punya.

Penulis berpandangan, sosok Kartini tak hanya simbol emansipasi, tapi lebih dari itu, ia adalah simbol keberanian intelektual. Di tengah tantangan dunia media yang kerap dikaburkan oleh kepentingan, suara Kartini seolah mengingatkan bahwa menulis adalah aksi dan sikap perlawanan. Sebuah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan kebisuan. Di dunia jurnalistik, semangat Kartini tidak pernah mati, ia hidup di setiap karya yang ditulis dengan nurani.

Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan di Indonesia. Jadilah pelita yang tak pernah padam, gapai mimpi lebih tinggi dan berbuat lebih baik.

_*Penulis Umi Sjarifah adalah Pemimpin Redaksi Majalah Sudut Pandang, Sudutpandang.id, Bendahara Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) dan Wakil Bendahara PWI Pusat*_

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler