Connect with us

Kopini Tamu

Media Konvergensi: Sebuah Solusi untuk Perkembangan Media di Indonesia

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh : Dadang Rachmat, SH
Sekjen Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat

Pilar Demokrasi Hadapi Tantangan

Jakarta, Koin24.co.id – Media, yang merupakan salah satu pilar fundamental demokrasi, sedang menghadapi tantangan yang berat. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan banyak perusahaan media dari beragam platform—cetak, digital, hingga multimedia—tutup usaha.

Keterpurukan mereka bukan disebabkan oleh ketidakrelevanan, melainkan oleh kenyataan yang semakin tidak mendukung: turunnya pendapatan iklan, tekanan dari dunia digital, dan penerapan kebijakan efisiensi oleh pemerintah yang berdampak langsung pada pendapatan media.

Ironisnya, situasi ini muncul saat masyarakat justru semakin membutuhkan informasi yang tepat dan bebas dari kepentingan. Sebuah demokrasi yang sehat membutuhkan media yang aktif, bukan yang terpuruk. Namun saat ini, kita melihat pilar ini mulai goyah.

Penyebab Krisis Media

Salah satu penyebab krisis ini adalah kebijakan pemerintah untuk efisiensi anggaran, terutama terkait belanja iklan dan sosialisasi program.

Pemerintah pusat dan daerah mulai beralih ke saluran komunikasi mereka sendiri—media sosial resmi, saluran YouTube, serta situs web lembaga. Di satu sisi, ini memang menciptakan efisiensi. Namun di sisi lain, langkah tersebut memicu dampak negatif yang besar bagi ekosistem pers nasional.

Perusahaan media kehilangan salah satu sumber pendapatan yang penting. Banyak yang tidak lagi mampu menutupi biaya operasional dan terpaksa memotong gaji, merampingkan jumlah staf redaksi, bahkan memecat jurnalis mereka. Dan kondisi ini bukan hanya dialami oleh media-media kecil, tetapi juga media besar.

Siapa Peduli Saat Media Gulung Tikar?

Ketika media tutup dan jurnalis kehilangan pekerjaan mereka, siapa yang peduli? Apakah masyarakat merasa kehilangan? Apakah pemerintah menyadari bahwa sebuah suara independen telah lenyap?

Sayangnya, kesadaran tentang hal ini masih rendah. Padahal, setiap kali sebuah media tutup, kita kehilangan kesempatan untuk mengkritik, kehilangan kontrol sosial, dan kehilangan pandangan transparansi terhadap kekuasaan. Dalam jangka panjang, ini merupakan kerugian besar bagi demokrasi dan masyarakat itu sendiri.

Media Konvergensi sebagai Solusi

Di tengah situasi yang suram ini, media konvergensi muncul sebagai salah satu solusi yang strategis. Konvergensi media adalah proses penyatuan berbagai platform—cetak, radio, televisi, digital, dan bahkan media sosial—dalam satu ekosistem yang terpadu. Ini bukan hanya terkait teknologi, tetapi juga tentang efisiensi, kerjasama, dan peningkatan daya saing.

Media konvergensi adalah proses integrasi atau penggabungan berbagai bentuk media—seperti media cetak, radio, televisi, media daring (online), dan media sosial—dalam satu sistem atau platform terpadu, baik dari sisi konten, teknologi, maupun organisasi.

Dengan konvergensi, pemilik media tidak perlu lagi mengelola banyak unit yang saling tumpang tindih. Redaksi dapat digabungkan, distribusi dapat diintegrasikan, dan konten dapat diproduksi melintasi berbagai platform. Hal ini membuka kesempatan untuk efisiensi sekaligus memperluas akses audiens dan pasar.

Konvergensi juga memungkinkan kerjasama antar perusahaan media. Di tengah keterbatasan, solidaritas menjadi kunci. Dengan bergabung dalam asosiasi, berbagi teknologi, sumber daya, dan ruang iklan, media dapat bertahan dan bahkan berkembang.

Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) hadir sebagai respons terhadap tantangan ini. AMKI mengajak integrasi media dalam semangat kolaborasi dan inovasi, sehingga pemilik dan pelaku bisnis media bisa mempertahankan keberadaannya, menciptakan model bisnis baru, dan terus menjalankan perannya sebagai pengawal demokrasi.

*Penutup*
Perubahan tidak dapat dihindari. Namun, krisis dapat dihadapi dengan strategi yang tepat. Media konvergensi merupakan alternatif yang logis dan realistis di tengah tantangan yang menerpa industri media saat ini.

Sudah saatnya pemilik media, pemerintah, dan masyarakat memahami bahwa menyelamatkan media bukan hanya soal menyelamatkan bisnis, tetapi juga melindungi demokrasi.

Media konvergensi bukan pilihan,tapi keharusan. Bersama AMKI, mari bangkit dan berinovasi.

Continue Reading

Kopini Tamu

Peran Pemerintah Masih Dibutuhkan untuk Mengangkat Harkat dan Martabat Wartawan Indonesia

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh: Heru Riyadi, SH., MH.
Dewan Penasihat AMKI Pusat dan LKBH PWI Pusat, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Banten

Jakarta, Koin24.co.id – Di tengah derasnya arus informasi dan kompetisi media yang semakin ketat, wartawan tetap memainkan peran penting sebagai penjaga kebenaran, penyampai informasi, dan pilar utama demokrasi. Namun muncul pertanyaan mendasar: sudahkah pemerintah menempatkan wartawan pada posisi yang layak dan terhormat sesuai fungsinya?

Masih banyak realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa penghormatan terhadap profesi wartawan belum terwujud sepenuhnya. Contoh konkret dapat kita lihat dari kondisi wartawan-wartawan istana yang acap kali harus duduk di luar pagar kompleks Istana Negara,
menanti informasi resmi hanya lewat layar televisi. Suatu potret yang ironi, mengingat mereka berada di pusat pemerintahan negara, namun belum mendapat ruang yang manusiawi dalam menjalankan tugas jurnalistik.

Kondisi ini, secara simbolik, serupa dengan suasana ruang kedatangan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, di mana jemaah umrah atau penumpang lain kerap terlihat duduk bersila di lantai tanpa fasilitas memadai. Bukan sekadar soal infrastruktur, tapi ini adalah cerminan krisis nilai—sebuah kegagalan kolektif dalam menempatkan martabat manusia di atas sekadar fungsi.

Dalam konteks wartawan, ini bukan semata-mata soal fasilitas. Ini soal bagaimana sebuah bangsa memperlakukan mereka yang menjadi mata, telinga, dan suara publik. Negara-negara demokratis yang matang seperti Amerika Serikat dan Inggris, memberi tempat yang pantas bagi para jurnalis dalam setiap konferensi pers. Bukan sekadar demi estetika, tetapi sebagai wujud penghargaan terhadap profesi mereka sebagai penjaga akal sehat bangsa.

Agar harkat dan martabat wartawan Indonesia terangkat, beberapa pihak perlu memainkan perannya secara optimal.
Pemerintah: Membuat kebijakan yang menjamin kebebasan pers dan perlindungan terhadap wartawan, serta memastikan fasilitas dan akses yang layak bagi media dalam menjalankan tugasnya.

Masyarakat: Memberikan dukungan terhadap karya jurnalistik yang bermutu, serta menumbuhkan rasa hormat terhadap profesi wartawan sebagai bagian penting dari demokrasi.

Organisasi Profesi (seperti PWI): Meningkatkan kapasitas, profesionalisme, serta memperjuangkan hak-hak wartawan agar tidak terpinggirkan dalam dinamika sosial-politik.

Perusahaan Media: Menyediakan ruang untuk pengembangan karier, perlindungan hukum, dan pembinaan kualitas jurnalisme.

Wartawan :Terus belajar, mematuhi kode etik, serta menjunjung tinggi integritas dalam setiap peliputan.

Indonesia memiliki banyak tokoh wartawan yang telah mengharumkan nama bangsa,antara lain:

Adam Malik – Jurnalis Harian Merdeka, pendiri LKBN Antara, dan mantan Wakil Presiden RI.

Harmoko – Wartawan Mimbar Kita dan Merdeka, kemudian menjadi Menteri Penerangan RI.

Goenawan Mohamad – Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Tempo, yang dikenal lewat esai dan puisinya.
Leila S. Chudori – Wartawan Tempo, sekaligus novelis dan penulis skenario film.
Jejak mereka adalah bukti bahwa wartawan bukan sekadar pencatat peristiwa, tapi juga aktor penting dalam membentuk sejarah bangsa.

Perubahan harus dimulai dari kesadaran kolektif, dari hal-hal yang tampak kecil namun punya dampak besar. Mulai dari penataan ruang konferensi pers yang manusiawi, akses informasi yang setara, hingga perlakuan yang adil terhadap semua jurnalis tanpa pandang bulu. Istana, lembaga-lembaga negara, dan aparatur komunikasi pemerintahan harus lebih terbuka, akomodatif, dan menghormati profesi wartawan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu cara memperlakukan profesi-profesi yang menjaga nurani publik dengan bermartabat. Mengangkat harkat wartawan bukan hanya soal fasilitas, tapi soal penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan itu sendiri.

Mari kita mulai dari hal sederhana, rasa hormat. Karena dari situlah martabat bangsa akan bertumbuh di mata dunia, dan terlebih lagi, di mata kita sendiri.

Continue Reading

Kopini Tamu

Selamat Jalan Rekan Wina Armada

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Catatan Hendry Ch Bangun

Jakarta, Koin24.co.id – Terakhir saya bertemu Wina Armada pada 13 Juni lalu di Gedung Dewan Pers sehabis salat Jumat. Ceritanya saya sebagai Ketua Umum PWI Pusat bersama Zulmansyah Ketua PWI KLB dan Wina Armada sebagai Sekjen PWI KLB, berjumpa Ketua Dewan Pers Prof Komarudin Hidayat, Wakil Ketua Totok Suryanto, anggota Dahlan Dahi dan Yogi Hadi Ismanto.

Agenda utama, menandatangani naskah kesepakatan berisi Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) pelaksanaan Kongres Persatuan PWI.
Saat bertemu di lantai 7 ruang pertemuan, dia mendatangi saya. “Kapan nih,Ndri, kita ngopi-ngopi,” katanya. “Atur saja, saya sih ikut saja”, begitu balasan saya. Kami lalu bersalaman, berpelukan, dan cium pipi kiri dan kanan.

Saya dan Wina berteman sejak lama, katakanlah sama-sama terjun di pers kampus. Saya Angkatan 77 di FSUI, dia Angkatan 78 di FHUI, kampus UI Rawamangun. Dia waktu itu aktif di SKK Salemba, yang dipimpin Antoni Zeidra Abidin, saya sendiri di media internal SMFSUI Corat Coret dan Majalah tifa Sastra yang diterbitkan teman Fakultas Sastra.

Wina sudah menulis di media umum termasuk Horison, saya menulis sejak 1978 di Sinar Harapan, Suara Karya, Angkatan Bersenjata. Kami saling kenal dan saling menghargai.
Belakangan dia masuk ke Prioritas saya ke Kompas. Banyak sekali kiprah Wina, termasuk ketika dia menjadi satu yang aktif dalam proses terbentuknya Undang-Undang Pers no 40 tahun 1999 yang monumental itu. Dia terkenal sebagai ahli hukum pers dan saat menjadi Ketua Komisi Hukum di Dewan Pers Wina pelopor terbitnya Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan menyusul terbitnya Piagam Palembang pada Hari Pers Nasional tahun 2010.

Baru belakangan urusan Uji Kompetensi Wartawan ditangani Komisi Pendidikan.
Wina juga aktif di Persatuan Wartawan Indonesia. Karena ketertarikannya, dia aktif di Seksi Budaya dan Film, dan saya di Seksi Wartawan Olahraga, di lingkungan PWI Jakarta Raya. Dia menjadi Sekretaris Jenderal PWI Pusat di periode kedua Ketua Umum Tarman Azzam, yakni 2003-2008, menggantikan Bambang Sadono.

Saya menjadi Sekjen PWI Pusat tahun 2008-2013, 2013-2018 dengan Ketua Umum Margiono. Belakangan saya terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat periode 2023-2028, Wina Armada menjadi Sekretaris Dewan Penasehat. ***

Ketika terjadi badai di PWI Pusat, saya dan Wina berseberangan karena dia bergabung dengan Ilham Bintang, Sasongko Tedjo, Zulmansyah, dll yang agak mengherankan saya.

Sebab dia sebelumnya berusaha menjadi mediator perselisihan saya selaku Ketua Umum PWI dan Sasongko Tedjo selaku Ketua Dewan Kehormatan. Dia mengundang kami makan malam di sebuah restoran Jepang di Pondok Indah Mall 3, padahal sebenarnya saya kecapaian karena ada acara di Mojokerto, jadi dari Bandara Soekarno-Hatta, mengarungi kemacetaan hampir 2 jam, agar tidak mengecewakan Wina. Pertemuan sendiri tidak membuahkan hasil sesuai harapan.

Saya kembali heran ketika Wina malah menerima jabatan Sekjen, sesuatu yang sebenarnya sudah kurang cocok untuk orang se usia dia. Mungkin dia ada pertimbangan, jadi saya anggap itu hak pribadinya.
Pertemanan selama 40 tahun lebih membuat saya tidak bisa marah atau membenci Wina Armada seberapa besar pun perbedaan kami. Beda boleh. Persahabatan terus berjalan. Apalagi kami sama-sama bergerak di pers kampus di masa-masa perlawanan kampus atas pemerintahan otoriter Orde Baru.

Menjadi wartawan di media mainstream yang jelas filosofinya. Wartawan kan intelektual, biasa berbeda pandangan, dan biasa hidup dalam keberagaman pandangan. Hidup di dunia kan tidak sempurna, jadi normal saja ada perbedaan pendapat.
Ketika bertemu di acara berbuka puasa yang digagas PT Astra International di Hotel Fairmon, Senayan, 10 Maret 2025, dia malah mendatangi meja saya dan bersalaman dengan hangat. Dia bilang waktu itu, “Ndry, kapan-kapan kita ngopi,ya. Ngobrol saja. Jangan ngomongin PWI”. Saya menjawab, “Ok,siap. Aturlah waktunya”. Waktu bertemu di lobi, dia mengingatkan lagi dan saya mengacungkan jempol.
Seperti ketika kami bertemu di Gedung Dewan Pers tanggal 13 Juni itu, ngopi itu tidak pernah terjadi. Tapi saya masih merasakan hangat pelukan Wina Armada, dan cium pipi kiri cium pipi kanan serasa masih membekas.

Bukan hanya tersenyum dia pun tertawa lepas. Terus terang saya agak tertegun dengan sikap Wina yang begitu hangat, kok sampai segitunya. Baru belakangan saya dapat kabar Wina masuk rumah sakit di Kawasan Kebayoran karena adanya serangan jantung.

Dan hari ini Kamis(3/7)sekitar pukul 16.20 WIB dari grup Persahabatan UI dapat kabar dukacita.
Selamat jalan Wina. Kita sahabat selamanya.

Ciputat 17.30 WIB. (***)

Continue Reading

News

Pulau Ambalat dari Titik Konflik Menjadi Zone Sinergi

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh : Heru Riyadi, SH.,MH, Dosen FH. Universitas Pamulang.

Jakarta, Koin24.co.id – Konflik Pulau Ambalat adalah sengketa batas wilayah maritim antara Indonesia dan Malaysia di Laut Sulawesi. Sengketa ini berakar sejak akhir 1960-an ketika Indonesia dan Malaysia melakukan pemetaan landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) masing-masing.

Penyebab Konflik:

– Perjanjian 1969: Indonesia dan Malaysia menandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen, yang menetapkan garis batas landas kontinen di Laut Sulawesi. Namun, Malaysia kemudian menerbitkan peta baru pada 1979 yang memasukkan Blok Ambalat ke dalam wilayahnya.
– Klaim Sepihak: Malaysia mengklaim Blok Ambalat berdasarkan peta 1979, sementara Indonesia menolak klaim tersebut dan mengacu pada Perjanjian 1969.
– Sumber Daya Alam: Blok Ambalat diyakini kaya akan sumber daya minyak dan gas bumi, sehingga menjadi titik sengketa strategis bagi kedua negara.

Upaya Penyelesaian:

– Perundingan Bilateral: Indonesia dan Malaysia telah melakukan perundingan bilateral untuk menyelesaikan sengketa ini.
– Pengaturan Sementara: Kedua negara sepakat untuk menahan diri dari tindakan provokatif di area sengketa dan melakukan pengaturan sementara untuk mencegah eskalasi konflik.
– Kerja Sama Eksplorasi: Indonesia dan Malaysia telah sepakat untuk melakukan kerja sama eksplorasi bersama di Blok Ambalat untuk memanfaatkan sumber daya alam secara bersama-sama.

Dampak Konflik:

– Ketegangan Diplomatik: Sengketa Ambalat telah menyebabkan ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia.
– Kerugian Ekonomi: Sengketa ini juga telah menyebabkan kerugian ekonomi bagi masyarakat sekitar, terutama nelayan tradisional Indonesia yang merasa terancam oleh patroli Malaysia.
– Peningkatan Keamanan: Indonesia telah meningkatkan kehadiran militer di perbatasan untuk menjaga kedaulatannya.

Setelah bertahun-tahun menjadi sumber ketegangan, Indonesia dan Malaysia akhirnya menemukan jalan tengah dalam persoalan wilayah perairan Ambalat. Lewat skema Joint Development, kedua negara menyepakati pengelolaan bersama atas kawasan yang selama ini diperebutkan. Kesepakatan ini tak hanya menyentuh isu batas maritim, tapi juga membuka peluang kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Sebuah langkah maju yang layak diapresiasi!

Pendekatan ini menunjukkan bahwa konflik perbatasan tidak selalu harus berakhir dengan ketegangan atau adu klaim yang melelahkan. Alih-alih bersaing, Indonesia dan Malaysia memilih berkolaborasi demi kepentingan bersama. Selain potensi sumber daya energi di kawasan tersebut, kesepakatan ini juga memperkuat kepercayaan politik dan stabilitas regional. Dalam era global yang penuh dinamika, kerja sama semacam ini menjadi nilai tambah strategis bagi kedua negara.

Kesepakatan Joint Development Ambalat bisa menjadi preseden positif bagi penyelesaian konflik serupa di kawasan lain. Banyak wilayah di Asia Tenggara yang masih menyimpan potensi sengketa maritim. Jika pendekatan kolaboratif seperti ini berhasil, ASEAN bisa menjadi contoh kawasan dengan penyelesaian damai berbasis keadilan dan kepentingan bersama.

Apresiasi perlu diberikan kepada Presiden Prabowo dan para diplomat, negosiator, dan pemimpin politik yang telah mendorong terwujudnya kesepakatan ini. Ke depan, tantangan akan tetap ada dalam hal teknis pelaksanaan dan pembagian keuntungan. Namun dengan semangat kemitraan yang kuat, Ambalat bisa menjadi simbol baru: dari titik konflik, menjadi zona sinergi.
Indonesia Hebat, wajib kita jaga.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler