Connect with us

Opini Redaksi Tamu

“Pena di Atas Langit”: interesting, inspiring, and motivating (Resensi buku)

Avatar

Published

on

Wartawan senior penulis resensi buku "Pena di Atas Langit", Aat Surya Safaat (Foto: Istimewa)

Oleh Aat Surya Safaat*

Jakarta, koin24.co.id – Membaca buku Pena di Atas Langit karya Tofan Mahdi, saya teringat pengalaman pribadi, menulis berita di pesawat dalam perjalanan pulang pada malam hari dari Ottawa Kanada menuju New York Amerika di tahun 1995.

Pada masa-masa itu saya tengah mendapatkan amanah sebagai Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York. Saya bertugas di kota metropolitan yang dijuluki The Big Apple itu selama lima tahun, yakni sejak 1993 hingga 1998.

Memang tidak ada larangan menyalakan laptop saat pesawat sudah mengudara secara stabil di atas ketinggian tertentu, asalkan tidak menggunakan internet. Kebetulan ketika itu belum ada alat komunikasi handphone (HP). Pelarangan menyalakan laptop dan perangkat elektronik lainnya di kabin pesawat hanya berlaku saat take off atau landing.

Ketika itu, setelah para penumpang menyantap hidangan makan malam dan lampu di kabin dimatikan, saya mengambil dan menyalakan laptop, lalu menulis berita yang tersisa dari liputan siang dan sore harinya di Ottawa.

Beritanya menarik, yaitu kehadiran Jose Manuel Ramos Horta pada seminar internasional tentang Timor Timur (sekarang Timor Leste). Ramos Horta adalah juru bicara bagi perlawanan Timor Timur di pengasingan.

Saya menulis berita dalam senyap, dengan menyalakan lampu di atas tempat duduk saya saat sebagian besar penumpang tengah tertidur atau mengantuk karena lampu pesawat di-off-kan dalam penerbangan langsung Ottawa-New York dengan durasi sekitar satu setengah jam itu.

Persis saat pesawat bersiap untuk landing, penulisan berita sudah rampung. Lalu, setelah turun dari pesawat di Bandara Internasional John F Kennedy New York, saya bergegas mencari taksi dan terus meluncur ke apartemen saya di kawasan Queens New York. Setibanya di apartemen, berita langsung saya kirim ke Jakarta.

Esok harinya berita tentang Ramos Horta yang menyudutkan Pemerintah itu dikutip banyak media di Jakarta, baik media cetak maupun media elektronik. Dalam berita tersebut saya juga mengangkat pernyataan diplomat muda Dino Patti Djalal yang menyanggah apa yang disampaikan Ramos Horta pada seminar di Ottawa itu, sehingga beritanya berimbang.

Belakangan, Ramos Horta kemudian menjadi Presiden Timor Leste kedua sejak negara itu terpisah dari Indonesia melalui referendum pada 1999. Ia menjabat sebagai Presiden untuk masa jabatan 2007-2012.

Kemudian, sejak 2017 Ramos Horta menjadi Menteri Negara dan Penasehat untuk Keamanan Nasional Kabinet Pemerintah Konstitusional Ketujuh. Sebelumnya ia berkedudukan sebagai Perdana Menteri (2006 – 2007) dan Menteri Luar Negeri Timor Leste sejak 2002 hingga mengundurkan diri pada 2006.

Dengan menceritakan pengalaman sebagaimana saya sebutkan di atas, point saya adalah bahwa menulis berita, artikel, atau bahkan catatan ringan di dalam pesawat yang sedang mengangkasa itu sangat mengasyikkan.

Kenapa? Tidak lain karena kita bisa menulis dalam senyap serta dengan keterbatasan waktu, sehingga bisa dan memang harus bisa berkonsentrasi penuh, terlebih ada perasaan bersyukur yang luar biasa karena tidak banyak orang yang mempunyai kesempatan amat berharga seperti itu.

Saya yakin apa yang saya rasakan itu sama dengan yang dirasakan sahabat saya Tofan Mahdi yang menuliskan sebagian besar catatan ringannya di dalam pesawat sebagaimana bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul Pena di Atas Langit itu.

Tofan menuliskan catatan ringannya dengan bahasa jurnalistik yang apik, menarik, dan kadang menggelitik. Sesuatu yang berat atau sulit bisa dibuatnya menjadi ringan dan gampang dicerna.

Sebagian besar catatan itu ditulisnya saat berada dalam perjalanan udara di atas ketinggian 30 ribu kaki. Menurut Tofan, sambil menikmati awan seringkali muncul inspirasi untuk dituliskan. Sebagian dari tulisan dalam buku itu sudah dibagikannya pada platform Facebook dan beberapa catatan pernah dimuat di beberapa media cetak dan media online.

Tulisan dalam buku tersebut juga boleh disebut gado-gado, tidak tematik, dan tidak berurutan, tapi tetap enak dibaca, sehingga pembaca tidak terpaku harus membaca dari bab pertama sampai terakhir secara berurutan. Bebas saja membacanya, bisa dari depan dulu, dari tengah, atau langsung dari belakang.

Terkait tulis-menulis itu sendiri, misalnya dalam menulis artikel, buku, bahkan tulisan ilmiah populer, ada satu pakem bahwa tulisan dimaksud harus dimulai dengan sesuatu yang attractive (menarik) dan diakhiri dengan sesuatu yang impressive (berkesan). Tofan nampaknya paham betul pakem tersebut.

Ia memulai tulisannya dengan cerita menarik tentang Malaysia dengn judul KL Tower dan Kelebihan Malaysia. Malaysia, menurut dia tak seindah dan seluas Indonesia, tetapi wisatawan asing lebih banyak datang ke negara tersebut.

Tidak lain karena negeri jiran itu lebih pandai memasarkan. Selain itu infrastruktur di dalam negerinya relatif bagus, kenyamanan di bandaranya sangat diperhatikan, dan transportasi publiknya handal, aman, dan nyaman.

Lebih dari itu, menurut Tofan, keramah-tamahan bagi warga Malaysia menjadi perhatian utama, sebab bisnis pariwisata sejatinya adalah bisnis hospitality (keramah-tamahan). Tulisan di bagian awal tentang Malaysia itu menjadi makin menarik karena diselingi dengan percakapan ringan dengan sopir taksi di Kuala Lumpur.

Sementara itu pada bagian akhir tulisannya, pria yang beristrikan Hj Rufi Yenuartik dan memiliki tiga anak, yakni Arzaky Rizky Muhammad, Rafeyfa Asyla Putri, dan Zuricha Aisha Putri (almarhumah) itu bercerita tentang kedekatan dia dengan ibundanya, Hj Siti Chabsah.

Dalam istilah Tofan, ibundanya adalah orang biasa banget yang lahir di Dusun Penulupan Desa Parasredjo Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Hj Siti Chabsah hanya bersekolah sampai kelas 2 SD.Tentu saja, membaca Al-Quran-nya lebih fasih daripada membaca tulisan Bahasa Indonesia.

Tofan yang lahir di Pasuruan Jawa Timur pada 21 Oktober 1974 itu menjadi anak yatim sejak usia lima tahun, sehingga praktis ibunya harus pontang-panting membiayai sekolah Tofan dan adik kandungnya yang seibu, Nurul Wardani yang kini menjalani karir sebagai ASN (aparatur sipil negara) di Pemerintah Kota Pasuruan.

Hj Siti Chabsah sampai “nebeng” di rumah beberapa saudaranya di Pasuruan secara berpindah-pindah sambil membantu urusan rumah mereka, atau bahasa kasarnya menjadi pembantu rumah tangga di rumah saudara guna mendapatkan upah untuk membiayai sekolah kedua anaknya.

Meski di tengah kesulitan hidup dan penderitaan, Hj Siti Chabsah tetap berusaha memperhatikan pendidikan Tofan dan adiknya, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama serta mengasuh kedua anaknya itu dengan penuh kasih sayang.

Jika mengenang ibundanya yang wafat pada 7 Maret 2018 itu, satu hal yang sangat membekas dan berkesan di benak Tofan, yaitu kesabaran dan keikhlasan serta kegigihan ibunya yang luar biasa dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan.

Secara keseluruhan, catatan-catatan ringan pada buku yang berjudul Pena di Atas Langit itu punya daya tarik tersendiri, terutama karena pemilihan angle yang pas dan bahasanya yang mengalir, sehingga tak heran diapresiasi oleh Dahlan Iskan yang diakui Tofan sebagai teladan serta guru jurnalistiknya itu.

Tidak lama setelah meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Jember pada 1997, Tofan memang bekerja di Jawa Pos, harian nasional yang terbit di Jawa Timur dibawah pimpinan Tokoh Pers Dahlan Iskan.

Apresiasi yang sama juga diberikan oleh pakar media Dr Agus Sudibyo (anggota Dewan Pers periode 2019-2022) dan veteran jurnalis yang juga penulis handal, Mas Djoko Pitono Hadiputro serta beberapa sahabat dan relasi bisnisnya, termasuk tentu saja pimpinannya di PT Astra Agro Lestari Tbk.

Saat ini Tofan menduduki jabatan sebagai Vice President of Communications PT Astra Agro Lestari (perusahaan kelapa sawit Grup Astra) dan Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia).

Adapun catatan yang perlu diberikan terhadap buku Pena di Atas Langit ini nampaknya hanya satu, yakni terkait judul buku. Judul yang mungkin lebih tepat untuk buku tersebut adalah Pena di Atas Awan karena Tofan menulis sebagian besar catatan ringannya saat ia berada di dalam pesawat yang mengudara di atas awan, dan bukan di atas langit.

Masukan ini barangkali bisa dipertimbangkan untuk penerbitan mendatang. Buku setebal 196 halaman itu sudah dicetak dua kali oleh Penerbit Tankali. Cetakan pertama pada 1 Juni 2019 (hampir 1000 eksemplar) dan cetakan kedua pada 2 Juli 2019 (dengan jumlah sebanyak 2500 eksemplar).

Sebagian dari buku cetakan kedua sudah beredar di Gramedia dan sebagian lainnya dijual secara online. Namun masih saja ada sahabat-sahabat Tofan yang komplain karena belum kebagian buku tersebut.

Last but not least, kalau boleh disimpulkan, kumpulan catatan ringan yang ditulis oleh praktisi komunikasi asal Kota Pasuruan Jawa Timur itu, bagi saya dan bagi para pembaca pada umumnya, jelas merupakan bacaan yang interesting, inspiring, and motivating. Selamat dan sukses buat Mas Tofan Mahdi

*Penulis Aat Surya Safaat adalah wartawan senior dan konsultan komunikasi. Pernah menjadi Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York periode 1993-1998 dan Pemimpin Redaksi (Direktur Pemberitaan) ANTARA pada 2016.

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler