Jakarta, koin24.co.id – Pemerintah secara resmi telah mengevaluasi Rancangan Undang-Undangan (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sebelumnya diiniasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sejumlah kalangan menilai perbaikan dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dianggap belum cukup mengakomodir penolakan dan kontroversi RUU HIP. Menanggapi isu ini, Pengamat Politik, Karyono Wibowo mengatakan bahwa seharusnya masyarakat memahami bahwa RUU BPIP berbeda dengan RUU HIP yang sebelumnya ditolak oleh sejumlah elemen.
Dalam acara dialog yang diunggah salah satu akun pada media sosial Youtube yang dipandu Evi Kartika sebagai MC, turut hadir juga Deputi Komunikasi dan Informasi BIN, Wawan Purwanto. Dalam kesempatan itu, Wawan juga menekankan pentingnya peningkatan landasan atau payung hukum terhadap BPIP dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman kedepan. “Pemerintah merasa perlu memperkuat landasan hukum setingkat Undang-Undang untuk memperkuat BPIP”, ungkapnya.
“Melalui penguatan dasar hukum ini diharapkan posisi ideologi Pancasila semakin kuat di masa yang akan datang dan menjadi pegangan yang mendarah daging, tidak hanya menjadi pajangan di masa depan”, imbuhnya. Pada kesempatan yang sama, Karyono juga mengungkapkan bahwa Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam membentengi ideologi Pancasila. Namun hingga saat ini keberadaan BPIP masih berdasar hukum Peraturan Presiden (Perpres) sehingga perlu ditingkatkan menjadi Peraturan Perundangan.
“Peran strategis yang dimiliki BPIP perlu diback up dengan payung hukum yang kuat, sehingga pergantian rezim pimpinan dalam hal ini Presiden tidak akan mempengaruhi eksistensi ideologi Pancasila”, ucap Karyono. Pengamat dari Indonesian Public Institute ini juga mengungkapkan bahwasanya RUU BPIP berbeda dengan RUU HIP yang sebelumnya.
“Dalam RUU BPIP sudah mengakomodir tuntutan untuk penghapusan pasal 7 ayat 3 tentang Ciri Pokok Pancasila adalah Ekasila dan Trisila. RUU ini juga telah memasukkan tuntutan masuknya TAP MPRS larangan ideologi Komunis pada konsideran mengingat”, jelasnya. Apabila dirasa kurang namun kemudian disahkan, pihak yang keberatan tentu juga masih bias mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi.
Karyono juga mengingatkan dengan kondisi negara demokrasi, penerbitan suatu UU menjadi hal yang wajar apabila terdapat kubu yang pro dan kontra. Namun, kita juga perlu mencermati apa manfaat sekaligus peran UU ini dibuat bagi kepentingan bangsa dan negara.
Di sisi lain, Wawan juga mengingatkan pertarungan ideologi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Ideologi akan saling berbenturan, berpengaruh, menekan, untuk memberikan dampak dan mengamankan kepentingan tertentu. Apabila Indonesia tidak melakukan penguatan, maka rentan terombang-ambing dan terpengaruh ideologi lain. “Perlu penguatan dasar hukum dan partisipasi masyarakat dalam melestarikan dan menguatkan jati diri bangsa Indonesia sesuai nilai luhur Pancasila”, tutupnya. (***)