Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Penguatan optimisme dari Ramadan dan Idul Fitri

Avatar

Published

on

Catatan Idul Fitri
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI
 
Jakarta, koin24 – Ibadah puasa Ramadan dan Idul Fitri 1441 H dilaksanakan serta dirayakan di tengah pandemi Covid-19. Kemenangan Umat menjalani ibadah di masa-masa sulit sekarang menghadirkan hikmah berupa penguatan optimisme bagi upaya bersama memutus rantai penularan Covid-19, dan keberanian untuk secara bertahap memulihkan kehidupan.
 
Rasa cemas dan takut tertular Covid-19 tidak menyurutkan semangat dan kehendak umat menjalani ibadah puasa Ramadan. Dalam suasana tidak nyaman karena kesadaran untuk karantina mandiri di rumah saja, puasa mewajibkan umat menahan lapar dan haus, serta diwajibkan membangun kehendak saling mengerti guna  menyingkirkan emosi, amarah, iri dengki dan nafsu tak sehat lainnya. Kesederhanaan merayakan Idul Fitri 1441 H yang memuncaki ibadah Ramadan itu menandai kemenangan umat menjalani masa-masa sulit sekarang ini.
 
Pasca Ramadan dan Idul Fitri, tantangan yang sama masih menghadang karena pandemi Covid-19 belum berakhir. Bisa saja data-data tentang perkembangan wabah ini di dalam negeri sedikit lebih dramatis. Sesuai perkiraan sebelumnya, mobilitas masyarakat karena alasan menyongsong hari raya akan memengaruhi penambahan jumlah pasien Covid-19. Penambahan itu kemungkinan terjadi karena arus mudik dan arus balik, serbuan warga ke pusat belanja dengan tidak menaati protokol kesehatan, hingga arus masuk pekerja migran.
 
Kalaupun perkiraan itu menjadi kenyataan, masyarakat hendaknya tidak pesimis. Demi kepentingan masa depan yang jauh lebih besar dan strategis, pada akhirnya semua orang harus mau dan berani memulihkan kehidupan secara bertahap dengan tetap menjalankan prinsip kehati-hatian sebagaimana ditetapkan dalam protokol kesehatan selama pandemi Covid-19. Dalam upaya memulihkan kehidupan itu, semua orang, mau tak mau, harus siap ‘berdamai’ dengan virus corona. Berdamai tidak berarti merangkul virus itu dan membiarkannya menginfeksi setiap orang.   Berdamai berarti manusia harus bersiasat agar siap hidup berdampingan dengan virus ini. Salah satu siasatnya adalah dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Bukankah para ahli memperkirakan bahwa virus Corona tidak akan sirna dalam jangka dekat. Karena itu, semua orang harus bersiasat untuk bisa terus survive, sebagaimana umat bersiasat di masa sulit agar tetap mampu melaksanakan ibadah puasa Ramadan.
 
Karena durasi pandemi Covid-19 masih sulit dihitung, pilihan bagi semua orang memang tidak banyak, kecuali terus dan tetap survive, atau melihat dan merasakan kehancuran. Kalau terus melakukan karantina mandiri di rumah saja atau lockdown wilayah, sama artinya manusia membiarkan virus Corona menghancurkan semua aspek peradaban. Sebagai mahluk yang dikaruniai akal budi, manusia tentu saja tidak boleh kalah oleh wabah Corona. Akal budi itulah yang digunakan untuk mengalahkan Virus Corona. Sambil menunggu para ahli farmasi menghadirkan vaksin penangkal virus ini, manusia harus berani bersiasat untuk bertahan sekaligus mencegah kehancuran. Itulah alasannya mengapa optimisme harus tetap ditumbuhkan dan dipertahankan. Apalagi, sejarah sudah membuktikan bahwa manusia selalu berhasil menghadapi masa-masa sulit akibat pandemi global. Kehidupan pasca pandemi global Flu Spanyol pada 1918 setidaknya bisa dijadikan bukti.
 
Sejarah mencatat bahwa flu Spanyol menginfeksi tak kurang dari 500 juta orang di seluruh dunia. Korban meninggal akibat pandemi ini mencapai 50 juta jiwa, termasuk di Indonesia. Flu Spanyol mulai mewabah pada Maret 1918 di tengah perang dunia pertama. Mewabah dalam tiga gelombang hingga Desember 1920. Catatan tentang kasus pertama terdeteksi pada seorang juru masak Angkatan Darat Amerika Serikat (AS) di Camp Funston di negara bagian Kansas. Virus ini kemudian menular dengan cepat di lingkungan Angkatan Darat AS yang saat itu beranggotakan sekitar 54.000 prajurit.
 
Flu Spanyol mewabah di Eropa saat AS mengerahkan pasukannya ke Inggris, Prancis, Spanyol dan Italia. Gelombang kedua wabah flu spanyol tak terhindarkan ketika prajurit dan armada militer melakukan manuver pada beberapa kota di Eropa, AS hingga Afrika Barat.  Gelombang ketiga wabah terjadi pada Januari 1919 di Australia.  Sejarah kemudian mencatat bahwa pergerakan militer di seluruh dunia pada saat itu menjadi sumber dan kekuatan utama penularan wabah ini. Tidak adanya karantina atau lockdown wilayah juga mempercepat penularan virus ini. Faktor keterbatasan  ilmu kedokteran saat itu juga dicatat sebagai penyebab lain sehingga begitu banyak jiwa yang tak tertolong.  Dunia pertama kali mengenal antibiotik pada 1928 dan vaksin penangkal flu baru beredar untuk umum pada dekade 40-an.
 
Setelah pandemi global Flu Spanyol dinyatakan berakhir selepas 1920, dinamika kehidupan manusia secara bertahap mulai pulih. Peradaban terus berkembang hingga dunia memasuki era industri 4.0 sekarang.  Satu abad setelah berakhirnya pandemi Flu Spanyol itu, dunia kembali disergap virus Corona atau Covid-19. Walau pun penularannya terbilang sangat mudah, namun manusia coba memutus rantai penularan Covid-19 dengan pendekatan karantina wilayah atau lockdown. Indonesia menerapkan pembatasan sosial hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
 
Hingga 23 Mei 2020, Universitas John Hopkins di AS mencatat, lebih dari 5,2 juta orang terinfeksi Covid-19 di seluruh dunia, dan tak kurang dari 337.000 pasien meninggal. Di AS, jumlah yang terinfeksi mencapai 1,6 juta orang, dengan total kematian sekitar 100.000 pasien.  Sementara di Indonesia per 26 Mei 2020, jumlah yang terinfeksi 23.165 orang, dengan jumlah meninggal 1.418 pasien. Semua orang berduka menyimak angka-angka kematian itu.
 
Namun, di saat yang sama muncul semangat untuk terus merawat kehidupan dan mencegah kehancuran. Terus menerus berdiam diri dan bersembunyi di rumah pada akhirnya akan membuat banyak orang menderita ragam penyakit. Pondasi bangunan ekonomi pun akan hancur. Kemungkinan terburuk seperti inilah yang harus dihindari oleh semua orang.
 
Sebagaimana berakhirnya pandemi global flu spanyol pada Desember 1920, pandemi Covid-19 pun akan mencapai titik akhirnya. Masalahnya sekarang adalah sulitnya menghitung durasi pandemi Covid-19 ini. Sambil menunggu, manusia yang berakalbudi harus memelihara optimisme sambil bersiasat agar tetap bisa survive. Jangan ragu untuk mempersiapkan pelonggaran PSBB dengan kepatuhan mutlak pada protokol kesehatan.
                            
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441H
Mohon Maaf Lahir Batin.

Penulis:
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler