Opini Redaksi Tamu
Raja Parlindungan Pane dan Kesuksesan HPN 2025 di Kalimantan Selatan

Published
2 months agoon

Jakarta, Koin24.co.id – HARI Pers Nasional (HPN) sudah selesai. HPN dirayakan pada puncaknya dengan sukses di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel),pada Minggu, 9 Februari 2025.
Banyak tokoh nasional dan daerah hadir, termasuk Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dan tokoh pers Dahlan Iskan, serta Gubernur Kalsel H. Muhidin dan para pejabat penting di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalsel.
HPN juga dihadiri wartawan dan keluarga, serta pengurus PWI dari 30 provinsi. Jumlah hadirin diperkirakan 3.000 orang.
Dalam ingatan saya, dalam kerumunan massa yang hadir, ada seorang pria setengah baya yang menenteng tas kecil warna hitam, badannya tegap seperti perwira militer. Ia terlihat sibuk mondar-mandir, pikirannya seperti terus berjalan.
Ketika duduk ia lebih banyak berbicara dengan menggunakan telepon selulernya. Baru diajak bicara langsung sebentar, telepon selulernya berdering dan ia harus mengangkatnya. Namun isi pembicaraanya tidak jauh-jauh dari HPN.
Dia adalah Raja Parlindungan Pane yang akrab dipanggil Raja. Raja adalah Ketua Panitia Pelaksana HPN 2025 Pusat.
Dalam kepanitiaan HPN Raja didampingi Sekretaris M Sarwani, Bendahara M.Nasir, dan Penanggung Jawab HPN Hendry Ch Bangun selaku Ketua Umum PWI Pusat, serta Sekretaris Jenderal PWI Pusat, M. Iqbal Irsyad. Di Kalsel dibantu panitia handal Zainal Helmie (Ketua PWI Kalsel) dan Toto Fachrudin (Koordinator Panitia Daerah Kalsel).
Raja adalah wartawan senior yang sarat pengalaman di dunia kewartawanan dan organisasi pers. Pernah ia menjadi pemimpin redaksi media ibu kota di Jakarta. Dalam kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Raja sekarang sebagai Wakil Sekretaris Jenderal.
Dia mengaku sebagai orang Batak yang sudah terkontaminasi kultur Jawa sejak ia kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik tahun 1980-an. Saat itu ia masih remaja. Mudah bergaul, mudah menyerap gaya kawannya, setiakawan, dan mudah berempati. Itulah dia.
Kultur Jawa secara perlahan membuat nada bicaranya sering rendah, dengan intonasi yang lembut, tidak melonjak-lonjak.
“Seorang kawan saya ada yang meniru logat Batak saya, persis orang Batak. Padahal saya sudah seperti orang Jawa” kata Raja sambil tertawa ketika menikmati sarapan di sebuah hotel di Banjarmasin.
Namun dalam empat bulan terakhir, Raja sering bicara dengan nada tinggi. Meledak-ledak penuh semangat.
Bahkan, menyuruh dengan nada tinggi. “Sini kau, jangan jauh-jauh. Duduk dekat saya. Dengarkan baik-baik ya, saya bicara” demikian kalimat yang sering diucapkan Raja belakangan ini. Tetapi tidak ada yang merasa sakit hati.
Peserta rapat HPN yang duduk di dekatnya, seperti saya dan Christiana Chelsia Chan,
kadang-kadang terbawa bicara dengan nada tinggi. Rupanya nada bicaranya itu menular.
“Maaf kawan-kawan, suara saya kadang-kadang keras dalam rapat, dengan nada tinggi. Tujuannya hanya untuk kesuksesan acara kita, HPN,” kata Raja Parlindungan Pane yang mengingat kata-kata yang disampaikan saat memimpin rapat HPN belakangan ini.
“Tapi apa hasilnya, kita saksikan sendiri. Alhamdulilah dan segala ucapan syukur dalam semua agama, kita sukses,” kata Raja yang disambut tepuk tangan dan rasa haru para peserta rapat evaluasi pelaksanaan HPN di Banjarmasin di Hotel Aria Barito,pada Minggu (9/2/2025).
Raja Pane yang didampingi Sekretaris Jendera PWI Pusat Muhammad Iqbal Irsyad dalam rapat malam itu terlihat matanya berkaca-kaca. Ia terharu.
Rapat evaluasi menilai pelaksanaan HPN Kalsel 2025 adalah kesuksesan besar yang patut disyukuri. “Ini adalah sukses seluruh panitia. Saya salut dengan semua komitmen panitia, baik di Jakarta maupun di Banjarmasin,” kata Raja di akhir rapat di hadapan panitia di Banjarmasin.
*(Catatan M. Nasir).*
You may like
Kopini Tamu
Fenomena Tampil Saleh dan Saleha di Ruang Sidang

Published
2 weeks agoon
April 10, 2025
Oleh: Tundra Meliala
Ketua Umum
Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat
Jakarta, Koin24.co.id – Awal pekan ini,seorang pria bertubuh tambun melangkah masuk ke ruang sidang Pengadilan Negeri dengan pakaian serba putih. Peci hitam menempel rapi di kepala. Tangannya memegang tasbih kecil yang sesekali ia putar-putar di sela jemari. Ia tersenyum samar, seolah bukan terdakwa kasus korupsi miliaran rupiah. Beberapa pengunjung sidang berbisik, “Wah, baru tobat, ya?”
Fenomena terdakwa yang tampil dengan simbol-simbol kesalehan bukanlah hal baru di Indonesia. Entah sejak kapan tepatnya tren ini mengakar. Yang jelas, sudah lebih dari satu dekade, ruang sidang di tanah air kerap menghadirkan pemandangan seperti majelis taklim dadakan. Terdakwa pria mengenakan baju koko dan peci, perempuan memakai gamis dan hijab lebar. Terkadang ditambah janggut dan celana cingkrang—atribut yang mengesankan perubahan hidup menuju jalan Tuhan.
Kita mungkin masih ingat peristiwa pasca Bom Bali, saat tiga bersaudara pelaku terorisme tampil di pengadilan dengan pakaian yang sama. Ali Imron dan dua kakaknya tak hanya mengguncang dunia lewat ledakan, tetapi juga lewat visual baru tentang “tersangka yang alim”. Sejak itu, seolah ada pola berulang yang terbentuk: tampil saleh di ruang sidang, entah untuk menggugah empati publik, meringankan vonis, atau sekadar pencitraan spiritual.
Namun, hal ini tak melulu soal religiusitas. Di sisi lain ruang sidang, muncul pula tipe terdakwa yang justru tampil menggoda. Beberapa perempuan muda yang tersandung kasus pidana ringan kerap hadir dengan busana mencolok—rok di atas lutut, kemeja terbuka dua kancing, make-up tebal. Sebagian pengacara menyebut ini sebagai “strategi visual”, berharap mendapat simpati—atau bahkan pengaruh—di ruang sidang yang seharusnya steril dari permainan persepsi.
Pertanyaannya, bagaimana seharusnya terdakwa berpakaian di ruang pengadilan? Apakah ada aturan baku soal busana yang mencerminkan kesopanan, netralitas, dan tidak menyisipkan pesan simbolik tertentu?
Dalam praktiknya, Mahkamah Agung memang tidak mengatur secara rinci soal kostum terdakwa, selain imbauan agar “berpakaian sopan dan rapi”. Tetapi sopan versi siapa? Rapi menurut siapa? Tanpa standar yang tegas, ruang sidang bisa menjadi panggung ekspresi bebas yang justru mengaburkan esensi hukum: menimbang fakta, bukan fesyen.
Perlu ada pembicaraan terbuka soal ini. Bukan untuk mengekang hak berpakaian, melainkan menjaga marwah peradilan. Busana terdakwa seharusnya tak menjadi alat komunikasi simbolik yang membentuk opini. Entah itu kesan bertobat atau godaan visual, keduanya sama-sama dapat menyimpang dari prinsip dasar: semua terdakwa adalah manusia yang setara di hadapan hukum.
Majelis hakim, jaksa, dan pengacara tentu punya kapasitas untuk memilah mana fakta, mana sandiwara. Namun publik, media, bahkan korban—bisa jadi terpengaruh oleh visual. Karena itu, regulasi sederhana, misalnya berupa panduan berpakaian netral dan profesional di pengadilan, bisa menjadi langkah kecil menjaga objektivitas.
Toh,kalau benar-benar ingin bertobat, ada tempat lebih sakral dari ruang sidang: ruang batin sendiri.***

Catatan Hendry Ch Bangun
Tangerang Selatan, Koin24.co.id – Menjawab pertanyaan ini tidak mudah. Karena spektrum pertanyaannya sangat luas. Belum lagi kalau menghitung, siapa yang bertanya, dan siapa yang ditanya.
Kalau seorang ayah atau ibu bertanya kepada anaknya, mungkin maksudnya, apakah ibadah puasa dilakukan dengan benar, tidak makan atau minum diam-diam sejak sahur sampai magrib?
Apabila yang bertanya itu seorang teman akrab mungkin maksudnya lebih pada apakah puasa kali ini dijalani lebih dari sekedar tidak makan, minum, tapi juga bagaimana suasana puasa di kantor, di pergaulan, dalam keluarga.
Bagaimana pula suasana kantong yang sering menjadi pembicaraan akibat harga dan biaya hidup yang naik, gaji yang tetap, dan semakin banyak yang makan tabungan yang semula dimaksudkan untuk keperluan masa depan.
Tapi secara umum pertanyaan itu juga bisa dijawab sesuai dengan apa yang kita alami, dari sudut pandang sendiri.
Tepat atau tidak, nanti justru bergantung pada follow-up dari pertanyaan itu, yang pasti akan berkembang kesana kemari.
Aktivitas mereka yang bekerja pasti tidak ada perubahan di hari biasa atau selama Ramadhan, kalaupun ada penyesuaian hanyalah sedikit.
Dalam hal transportasi, ada pergeseran jam sibuk. Jalan raya yang biasanya macet dan padat merayap sejak pukul 17.00 sampai 20.00 kini berubah menjadi 16.00 sampai 19.00. Banyak yang mengejar buka puasa bersama keluarga di rumah. Pengguna transportasi umum pun sama.
KRL, MRT, LRT, Transjakarta, hampir sama jam padatnya dengan jalan raya.
Kalau dulu sekali, masyarakat masih banyak yang menunggu adzan magrib sampai menonton siaran televisi, sekarang cenderung berkurang. Kemajuan teknologi informasi membuat publik dapat dengan mudah mengakses waktu berbuka puasa melalui telpon selulernya, selain tentu kalau memasang alarm di berbagai aplikasi. Menikmati hiburan religius, ceramah agama, pengajian lewat ponsel juga menjadi kecenderungan baru.
Saya pernah merasakan bertahun-tahun berbuka puasa di tengah kemacetan lalu lintas sepulang dari kantor.
Bertolak dari Olimo, Mangga Besar, pukul 17.00 adzan selalu terdengar ketika mobil masih berada di Jalan Sudirman, biasanya dekat Hotel Sahid atau menjelang Semanggi. Buka dengan air putih dan jajanan ringan yang sudah disiapkan dari kantor.
Waktu itu juga belum ada KRL, yang ada adalah kereta Odong-odong, istilah masyarakat, yang gerbongnya sering tidak dapat menampung penumpang. Dan di dalamnya ada pedagang aneka barang dan rombongan pengamen yang selalu mendesak ketika ingin lewat.
Naik kereta juga tidak praktis karena harus terlebih dulu ke Stasiun Tanah Abang menuju Sudimara. Kalau naik bus Mayasari Bhakti jurusan Kota-Ciputat, biasanya susah dapat bangku. Lagipula sering banyak pencopet dan membawa perasaan kurang aman.
Waktu itu jalur saya adalah Jalan Hayam Wuruk, Medan Merdeka Barat, Jalan Thamrin, Sudirman, Pakubowono, Gandaria, Iskandar Muda, Tanah Kusir, Jalan Veteran, Rempoa, Ciputat.
Belum ada jalan tol JORR yang membuat ada pilihan via Tomang atau via Ciledug. Waktu perjalanan kadang mencapai 2 jam 30 menit. Selama 13 tahun melakoni pekerjaan dari Kawasan Kota, awalnya terasa berat, lama-lama biasa juga. Ketika kemudian kembali berkantor di Palmerah, terasa sekali banyak kenikmatan karena jarak ke rumah menjadi lebih dekat.
Apalagi kemudian manajemen KRL bertambah maju, jumlah KRL makin banyak, bersih, aman, dan KRL menjadi alat transportasi utama dari rumah ke kantor.
Mengingat tahun-tahun penuh dinamika itu membuat saya bersyukur bahwa semua dapat dilewati dengan baik, malah seperti tidak ingat lagi berbagai tantangan dan kesulitan yang dialami.
Ya, umur masih muda, stok tenaga masih kuat, pikiran masih selalu positif dan penuh semangat, seperti tidak ada hambatan yang tidak bisa diatasi.
Semoga begitu pula sikap teman-teman yang masih muda, semangat menjalankan pekerjaan dan tugasnya dan yakin bahwa semua akan dapat dilalui dengan baik.
Apalagi dalam suasana Ramadhan, semua cobaan haruslah dianggap sebagai peristiwa pendewasaan, pematangan, untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Tiada kenaikan pangkat tanpa ujian. ***
Puasa sendiri sangat banyak aspeknya. Dari sisi fisikal, kita semua tahu dari berbagai artikel bahwa perut tidak terisi selama 14 jam akan mengistirahatkan beberapa fungsi di lambung setelah bekerja selama 11 bulan penuh.
Penelitian juga menunjukkan di jam ke-13 perut lapar, sel-sel baik akan memakan sel-sel buruk, bayangkan kalau berlangsung 30 hari maka ada berapa ribu sel buruk yang musnah dari tubuh kita.
Tinggal sel-sel baik itu kan mereparasi bagian tubuh yang sakit atau hampir sakit sehingga kembali sehat.
Dari sisi sosiologis, kita yang berpuasa juga bisa menghayati bagaimana penderitaan mereka yang tidak makan karena tidak mampu, menjadi lebih berempati, dan berujung dengan keinginan untuk bersedekah atau memberi bantuan.
Kita lebih memperhatikan lingkungan karena sangat tidak nyaman kita hidup nyaman serba cukup sementara tetangga untuk makan sederhana saja tidak bisa.
Selain bersifat charity, bisa jadi kita tergerak untuk memberikan pancing, berupa kesempatan kerja atau memberi ide pembentukan usaha rumahan.
Perut lapar tidak bisa menunggu, begitu kata pepatah. Kita sadar bahwa orang yang kelaparan bisa jadi melakukan tindakan negatif untuk mengisi perut, maka memberi pancing atau untuk sementara memberi ikan, setidaknya mengurangi potensi kea rah sana.
Satu hal yang sering didengung-dengungkan penceramah agama adalah pahala di bulan puasa menjadi berlipat di hari biasa. Nilai Rp 50.000 yang Anda sumbangkan ke panti asuhan di hari biasa menjadi minimal menjadi Rp 500.000 tetapi bisa juga menjadi Rp 35.000.000 di bulan Ramadhan.
Luar biasa kan? Salat pun begitu. Bahkan salat sunnah nanti dihitung sebagai salat wajib. Tentu ini berlaku bagi mereka yang berpuasa, sehingga orang yang tahu akan melakukan banyak ibadah yang disukai Allah SWT, selain ibadah wajib.
Ya itulah mengapa Ramadhan dikatakan bulan istimewa. Dia menjadi tempat manusia untuk mendapatkan bonus dari Sang Pencipta.
Pahala sehabis Ramadhan akan bertambah, minimal untuk mengimbangi kesalahan dan dosa yang dia lakukan di 11 bulan lainnya, karena semua yang baik dinilai berlipat-lipat dibanding hari biasa. Apalagi seorang yang beruntung mendapat anugerah malam Lailatul Qadar yang setara dengan 1000 bulan, maka tumpukan pahalanya sudah bergunung-gunung.
Maka orang yang berakal akan heran kepada orang yang lalai berpuasa dengan alasan apapun, kecuali kondisi kesehatannya benar-benar tidak memungkinkan.
Ada bulan bonus kok tidak dimanfaatkan. Bagi orang Islam, setiap tindakan dapat menjadi pahala. Senyum, dapat pahala. Menyingkirkan kotoran ke tempat sampah, dapat pahala. Mengucapkan salam terlebih dahulu, mendapat pahala. Memandang langit dan mengagumi keindahan ciptaanNya dapat pahala. Berdzikir dapat pahala. Bahagia melihat orang senang, dapat pahala.
Membuat orang senang, dapat pahala. Nah,ini semua juga berlipat ganda di bulan Ramadhan. Kok tidak dimanfaatkan fasilitas yang sudah disediakan Allah? ***
Maka banyak yang menyesal ketika bulan Ramadhan akan berakhir dan dia merasa belum secara total melakukan hal baik. Salat sunnah kurang banyak. Sedekah kurang banyak. Bersyukur kurang banyak.
Oleh karena itu doa yang dianjurkan di hari terakhir puasa adalah meminta agar diberi panjang umur dan kesempatan untuk bertemu Ramadhan lagi tahun depan. Kita tidak tahu apakah masih diberi waktu atau tidak.
Sayangnya kita manusia sering terlambat. Baru sadar menjelang deadline, seperti kebanyakan wartawan yang menulis kalau sudah kondisi kepepet atau dimarahi Boss. Baru ingat ingin berbuat banyak kebaikan ketika puasa sudah di penghujung, padahal tabungan pahala masih sedikit.
Apakah kalau diberi umur tahun depan kita menyusun strategi menjalani bulan Ramadhan dengan program kegiatan yang ketat? Belum tentu juga.
Manusia sumbernya lupa. Dalam kosa kata orang Betawi, ada istilah Tomat. Sekarang tobat tapi tak lama kembali kumat.
Apapun itu semoga puasa kita yang sudah memasuki hari akhir, mendapat pahala, rahmat, dan hidayah dari Allah SWT. Meskipun mungkin tidak dapat THR, atau bahkan gaji karena berhenti bekerja akibat perusahaan tidak mampu.
Meskipun kondisi negeri ini tidak baik-baik saja, kita berdoa agar selalu diberikan kesehatan lahir dan batin untuk menjalaninya dengan hati riang gembira. Yang terkena PHK kembali dapat memperoleh pekerjaan.
Yang usahanya redup dapat kembali bangkit. Yang perusahaannya dilanda masalah, dapat mencari jalan keluar. Dan masyarakat pers tidak putus asa, dapat bertahan dalam tekanan politik, dapat bertahan dalam tekanan ekonomi yang kurang kondusif, dan tetap kompak menghadapi musuh-musuh kemerdekaan pers. Semoga. Waalahu a’lam bhisawab.
Ciputat 29 Maret 2025

Oleh: Ahmad Irzal Fardiansyah
Dosen Hukum Pidana, Ketua Pusat Studi Kejaksaan Universitas Lampung
Jakarta, Koin24.co.id – Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saat ini terus mengalami kemajuan. Banyak hal-hal yang telah menyesuaikan kebutuhan sebagaimana telah diatur di dalam hukum materiil, KUHP Nasional, serta dinamika penegakan hukum kontemporer.
Khusus untuk kejaksaan dengan fungsi utamanya sebagai penuntut umum, pembaruan KUHAP telah menempatkannya sesuai dengan jati dirinya, yakni sebagai pemilik perkara (Dominus litis).
Hal ini tampak dari sudah dibuat aturan yang rinci tentang hubungan antara penuntut umum dengan penyidik, yakni dalam proses penyidikan. Penyidik dan Penuntut Umum dapat melakukan koordinasi, dan konsultasi untuk menyatukan persepsi terhadap penanganan dan penyelesaian perkara, yang sedang ditangani.
Adanya koordinasi dan konsultasi ini, tentu akan memberikan ruang komunikasi yang efektif antara penyidik dan penuntut umum, sehingga tidak berkepanjangan bolak-balik perkara, sebagaimana sering terjadi.
Kemudian dalam hal fungsi penyidikan yang selama ini juga melekat pada Kejaksaan, adalah penyidikan tindak pidana korupsi.
Di dalam pembaruan KUHAP, hal ini tidak disebutkan secara eksplisit. Namun bisa kita lihat didalam penjelasan RKUHAP terakhir, yang menyebutkan, “Penyidik Tertentu” adalah Penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyidik perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang memiliki kewenangan melakukan Penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
di bidang perikanan, kelautan, dan pelayaran pada wilayah zona ekonomi eksklusif, dan Jaksa dalam tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.
Jaksa disebutkan sebagai penyidik tertentu, yang mempunyai kewenangan penyidik untuk tindak pidana pelanggaran HAM berat, sehingga apabila disahkan menjadi UU, maka fungsi penyidikan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat diperankan oleh kejaksaan.
Pada titik ini, kita harus melihat secara proporsional. Sebagaimana yang menjadi batasan sesuai yang diatur di dalam RKUHAP, kejaksaan hanya bisa menjadi penyidik tertentu pada kasus HAM berat, bukan korupsi. Sebenarnya klausul ini menjadi ruang, meskipun tidak berkepastian hukum.
Menjadi ruang maksudnya, jaksa juga bisa menjadi penyidik. Bila kita memperluas makna dari “jaksa sebagai pemilik perkara,” tentu kewenangan penyidikan juga bisa saja dilakukan. Akan tetapi memang saat ini dibatasi oleh undang-undang. Artinya harus melihat pada kebutuhannya.
Saat ini untuk tindak pidana korupsi, penyidikan bisa dilakukan baik oleh kepolisian, kejaksaan, maupun KPK. Khusus untuk kejaksaan, secara universal dengan asas dominus litis tersebut, tidak lah menjadi hal yang rancu ketika kejaksaan juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan. Memang tentu ada keterbatasan, oleh karena itu tidak semua tindak pidana, kejaksaan harus melakukan penyidikan.
Apabila kita melihat pada kebutuhan, dengan intensitas kejadian yang sangat tinggi, sepertinya masih dibutuhkan kejaksaan juga turut langsung melakukan penyidikan khusus untuk tindak pidana korupsi.
Hal tersebut juga pada dasarnya memudahkan proses penegakan hukumnya, karena akan lebih efisien sesuai dengan prinsip penanganan perkara yang cepat.
Dari sisi sejarahnya, sejak zaman HIR jaksa juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, termasuk korupsi.
Dalam perkembangan diberbagai negara, juga memberikan kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Artinya, dari berbagai pertimbangan di atas, harusnya kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu, termasuk korupsi, masih diberikan kepada kejaksaan.
Bila mencermati apa yang sudah dirumuskan di dalam RKUHAP, maka perlu diberikan norma tersendiri mengenai kewenangan kejaksaan, untuk dapat menjadi penyidik dalam tindak pidana korupsi, karena terdapat batasan umum yang menyatakan bahwa penyidik adalah kepolisian.
Selain itu dapat pula dimasukkan di dalam penjelasan, mengenai penyidik tertentu, yang menyebutkan bahwa jaksa dapat menjadi penyidik tindak pidana korupsi.
Kemudian, hal lain mengenai penguatan institusi kejaksaan didalam RKUHAP, yakni diperlukan adanya kejelasan mengenai kewenangan penuntutan, yang di dalam RKUHAP ditambah dengan pejabat lain yang diberi kewenangan, untuk melakukan penuntutan, selain dari pejabat kejaksaan.
Di dalam penjelasan disebutkan, pejabat suatu lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan berdasarkan ketentuan undang-undang, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi yang berwenang melakukan Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Ketentuan ini tidak memberi kejelasan, karena pada ketentuan umum disebutkan secara definitif bahwa penuntut umum adalah jaksa. Oleh karena itu, agar sesuai dengan batasan di dalam ketentuan umum, yang dimaksud dengan pejabat lain tersebut harus ditegaskan adalah pejabat kejaksaan yang ditugaskan di KPK. Dengan demikian, tidak terjadi benturan norma.
Pembaruan KUHAP saat ini tentu dinantikan oleh semua pihak, dengan harapan semua fungsi-fungsi penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan menyelesaikan berbagai persoalan penegakan hukum yang selama ini terjadi.

50 Tahun TMII, Fadli Zon Beri Penghargaan Anjungan Daerah Terbaik

Jaga Kearifan Lokal, Lanud Husein Sastranegara Gelar Kontes Patok Domba dan Kambing

PWI: Tegakkan Keadilan! Dalam Kasus Gugatan Kepada Regulator Pers

Ketum PWI Pusat Hendry Ch Bangun Tinjau Rumah Subsidi untuk Wartawan

Fadli Zon Membuka Pameran MISYKAT: Ungkap Bukti Islam Telah Hadir di Nusantara Sejak Abad ke-7

Tim PWI Tinjau Cepat Lokasi Rumah Subsidi Wartawan, Ketua Umum Apresiasi Komitmen Pemerintah

Menteri Kebudayaan Fadli Zon Dorong Kerja Sama Budaya sebagai Bentuk Solidaritas Indonesia untuk Palestina

Tempati Kantor Baru, AMKI Gelar Syukuran dan Rapat Konsolidasi Perdana

PWI Dukung Program Rumah Bersubsidi untuk Wartawan,Tidak Ganggu Independensi Pers

Fadli Zon: Teater Imam Al-Bukhari dan Sukarno Jadi Simbol Eratnya Hubungan Budaya Indonesia–Uzbekistan

Ketum IKWI Pusat Berbagi Kepada Anak Yatim di Rumah Az-zahra Limo Depok

Hendry Ch Bangun: Pembekuan PWI Jabar Sah, KLB Tidak Korum dan Sedang Diselidiki Polisi

Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun Siap Lawan Informasi Menyesatkan di Sidang Dewan Pers

Plt Ketua PWI Pelalawan,Assep Putra Sulaiman Siap Tempuh Jalur Hukum atas Dugaan Pencemaran Nama Baik

Bendahara PWI Kepri Buktikan Pers Dukung Ketahanan Pangan Nasional

Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun Bekali OKK Wartawan Media Pandu Bangsa

Lanud Husein Sastranegara Gelar Bazar Murah TNI 2025 untuk Masyarakat Kota Bandung

Bagaimana Puasanya?

Evandra Florasta, Bukti Pembinaan di Level Klub Indonesia Membaik

Indonesia Naik ke Peringkat 123 FIFA,Erick Thohir: Terus Kerja Keras Menembus 100 Dunia

Sarapan Subuh, ketan bumbu dan gemblong ketan

Gara-gara Covid-19 rela berbuat seperti ini
“Martabak Alul” kaki 5 yang melayani dengan berbagai jenis pembayaran
Nasi kebuli murah meriah di Bambu Apus
DIRGAHAYU TNI “SINERGI UNTUK NEGERI”
Sambutan Kapolda Metro dalam rangka Baksos Sembako 25 ton menyambut HUT ke-65 Lantas Bhayangkara
Sepenggal sejarah merah putih di tanah Papua

Pramuka Saka Wira Kartika Kodim 0505/JT bantu giat cek poin perbatasan

Ucapan Selamat Idul Fitri dari Letnan Jenderal TNI AD, Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Simak video ini soal test cepat Covid-19




Terpopuler
-
News1 month ago
Berpartisipasi dalam Forum CSW ke-68 di PBB,KOWANI Wujudkan Ekonomi Digital Implementasi Asta Cita
-
News1 month ago
Penyidik Kejagung Periksa 2 Mantan Dirjen Migas Terkait Perkara Dugaan Korupsi Pertamina
-
News2 months ago
PWI Pusat Cabut Keanggotaan Raja Isyam, Doni dan Anthony, Dihapus dari Website Resmi
-
Entertainment1 month ago
Menteri Kebudayaan Fadli Zon: Film Indonesia Bangkit di Hong Kong FILMART 2025