Connect with us

Kopini Tamu

Sebuah Catatan dari ‘Kongres’ PWI yang Belum bisa Disebut Kongres

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Esai : Abdul Munib

Jakarta, Koin24.co.id – Kegiatan yang memilih ketua PWI di Cikarang tanggal 29-30 Agustus 2025,yang menamakan diri Kongres Persatuan PWI,tidak memiliki landasan konstitusi di PD/PRT organisasi maupun legitimasi kemufakatan floor pemilik suara dari seluruh provinsi sebagai forum justifikasi tertinggi dalam organisasi.

Hal itu dipicu oleh kesembronoan pimpinan sidang Zulkifli Gani Oto, yang tidak melempar usulan dari tiga peserta dari PWI Jatim (Joko Tetuko), dari Sumatera Barat, dan peserta dari Papua (Abdul Munib) ke floor. Secara substansi ketiganya ingin membahas keabsahan dari eksistensi kongres kali ini. Di mana peluangnya tersisa hanya di ruang waktu kuorum yang momentumnya sangat terbatas. Kalau sudah bubar sulit kembali dikumpulkan. Butuh sebar proposal lagi. Merengek ke Komdigi lagi. Momentum kuorum yang begitu mahal untuk ukuran PWI hari ini, hilang dan berlalu begitu saja.

Kuorum seharusnya diajak mufakat (konsensus bersama) menetapkan forum Cikarang sebagai kongres PWI, apapun namanya kongres itu. Dan jika kongres ini untuk persatuan, maka Kongres Gajah Mada yang melahirkan ketua Zulmansyah Sekedang harus dinyatakan batal oleh Kongres Cikarang. Sebab kongres Gajah Mada tidak berpijak pada kausalitas (ketua mati, ketua mundur, ketua dipenjara) Jika kongres bisa dilaksanakan tanpa kausalitas (sebab-akibat), maka ini akan menjadi celah yang setiap saat akan mengganggu persatuan PWI. Ini persoalan amat mendasar, karena kita tak bisa meletakkan fondasi persatuan pada landasan yang rapuh. Apalagi hanya pada slogan tanpa dasar.

Menurut usulan Joko Tetuko, floor harus memasukkan empat ayat ke dalam PD/PRT organisasi PWI agar kongres kali ini memiliki legitimasi payung hukum berupa PD/PRT. Peserta asal PWI Sumatera Barat mengusulkan agar, floor yang sudah memiliki kuorum ini membuat sebuah konsensus yang isinya menyepakati keabsahan kongres ini. Sedangkan usulan dari Papua yang disampaikan penulis( Abdul Munib), memberi masukan kepada pimpinan sidang dan floor agar eksistensi kongres ini dikokohkan terlebih dahulu melalui mufakat semua yang diketok palu sebagai tanda secara ekstensial kongres ini wujud.

Fatalnya pimpinan sidang Zulkifli Gani Oto mengabaikan tiga usulan yang cukup mendasar tadi dan malah akan membahasnya tersendiri di luar kuorum floor peserta. Tentu saja momentum kuorum floor pemilik suara lewat begitu saja, dengan bubarnya acara setelah pemilihan ketua waktu itu. Sehingga kongres tidak memiliki eksistensi baik dari legitimasi konstitusi PD/PRT organisasi maupun legitimasi floor yang memiliki kekuatan hukum tertinggi saat itu.

Bagi orang lain melihat persoalan di atas mungkin sebagai hal kecil saja. Yang penting wakil menteri Komdigi sudah hadir, ketua Dewan Pers sudah hadir dan dari perwakilan Kemenkum sudah hadir. Pemilihan ketua sudah ada pemenangnya.

Sebagai sebuah organisasi wartawan yang telah berusia 79 tahun, tentu persoalan eksistensial sebuah kongres, yang merupakan ruang tertinggi untuk memutuskan seluruh ketentuan, bukan soal sepele. Sebuah perkawinan meski mas kawinnya satu ton emas atau 3 miliar rupiah(bantuan Komdigi),kalau tidak ada akad yang diucapkan, pernikahan itu gugur keabsahannya. Itulah analogi yang pas untuk menggambarkan kegiatan di Cikarang itu. Sangat disayangkan SC(Steering Committee) tidak memahami bahwa momentum kuorum ini sangat mahal untuk diabaikan begitu saja, tak digunakan menyepakati kongres jenis ketiga ini (selain kongres lima tahunan dan KLB).

Sesuatu yang dinamakan kongres itu ada karena tercantum dalam ketentuan konstitusi PD/PRT. Ada dua jenis kongres dalam PD/PRT PWI, satu jenis kongres lima tahun sekali, yang kedua KLB (Konferensi Luar Biasa) jika ketua mati,
ketua mundur atau ketua berhalangan tetap. Semua pihak yang terlibat dalam jenis kongres ketiga ini harus berbuat hal yang tidak keliru yang kelak akan dipertanyakan oleh generasi mendatang.

Kongres ini tidak bisa masuk dalam jenis kongres tahunan,Karena PWI baru kongres di Bandung 2023 lalu. Juga tidak bisa masuk dalam jenis KLB, karena ketua terpilih kongres lima tahunan 2023, Henri Ch Bangun tidak meninggal, tidak mengundurkan diri, dan tidak berhalangan tetap. Bahkan ikut menjadi kandidat calon di kongres yang sebenarnya hanya kongres-kongresan itu. Alias kongres bodong. Untuk jadi jenis kongres ketiga yang dimufakat floor pun kesempatannya hilang, karena pimpinan sidang Zulkifli Gani Oto memasukkan masalah ini ke pembahasan di luar momentum kuorum pemilik suara yang memiliki posisi tertinggi dan sumber ketentuan PD/PRT.

Terpilihnya Akhmad Munir dalam kumpul-kumpul seluruh ketua Provinsi plus Kota Solo di Cikarang pada 29-30 Agustus lalu lebih tepatnya sebatas simulasi pemilihan ketua. Dalam simulasi itu Akhmad Munir memenangkan 52 suara dan Hendri Chairudin Bangun kalah dengan 35 suara. Dari 87 suara yang diperebutkan. Momentum kumpulnya pemilik suara dengan biaya tinggi dari seluruh Indonesia ini gagal dimanfaatkan Steering Commitee(SC) untuk mengaklamasi (mufakat) bahwa kumpul-kumpul ini adalah sebuah kongres yang syah karena berdasarkan keputusan floor.

Rangkaian terjadinya kumpul-kumpul di Cikarang (KKDC) kemarin didahului oleh adanya isu Chasback dana Uji Kompetensi Wartawan dari BUMN yang kemudian tereskalasi menjadi Perkelahian Wartawan Indonesia (PWI) selama dua tahun terakhir.

Perkelahian Wartawan Indonesia berlangsung sangat menghabiskan energi. Sudahnya industri bikin berita ini hancur karena digital,organisasi profesi wartawan tertua ini malah buang energi eker-ekeran.

PD/PRT PWI ditabrak. Diinjak-injak dengan membuat KLB tanpa kausalitas. Main bikin saja. Padahal legitimasi penyelenggara, jumlah ketua provinsi pemilik suara dan jumlah suara tak pernah diumumkan. Diperparah Yasona Laoli main buat Akta saja. Berujung HPN dilaksanakan di dua tempat, Riau dan Banjarmasin. Presiden Prabowo tak datang. Dari sinilah urgensi kongres muncul. Tahun depan 2026, jalan karpet merah harus satu,karena presiden mau ke HPN. Kerikil yang menghalangi jalur karpet harus disingkirkan.

Komdigi pun akhirnya berhasil membeli PWI untuk lima tahun ke depan. Dengan ketua hasil simulasi yang dibiayai Komdigi, kantor Kebun Sirih dipersilakan Komarudin Hidayat untuk dibuka segelnya dan dipakai lagi. Padahal Dewan Pers sama-sama numpang di gedung itu. Dan pengusiran oleh Dewan Pers itu pelecehan harga diri PWI yang akan tercatat dalam perjalanan sejarah organisasi ini. Saya sendiri pilih mundur dari kepengurusan organisasi ini. Karena tak ada lagi kehormatan yang dapat dijadikan pijakan. Saya tak sejalan dengan arus besar kongres Cikarang. Tapi saya tak akan buat KLB yang seperti rombongan burung kasuari yang membentur-benturkan kepalanya di bantaran pohon sambil menginjak-injak kitab sucinya sendiri, PD/PRT. Kalau akal sehat sudah tidak dipakai, maka kumpulan ini tak ada bedanya dengan kumpulan ternak,Kal An’am. Selamat kepada Cak Munir yang telah memenangkan pemilihan simulasi pada kumpul-kumpul ketua PWI Provinsi di Cikarang kemarin.

*Esais adalah mantan pengurus PWI yang baru saja mengundurkan diri dari struktur di PWI. Dan memilih jalur PWI kultural.

Continue Reading

Kopini Tamu

12 JUTA PENUMPANG WHOOSH, APA ARTINYA?

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh : Dimas Supriyanto

Jakarta, Koin24.co.id – SUDAH 12 juta orang naik Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Dua belas juta! Bukan angka kecil, bukan angka propaganda, dan bukan pula angka pesanan biro humas istana. Bisa dicek dan dikonfirmasi datanya. Itu adalah kepercayaan publik yang nyata—orang-orang yang membeli tiket, duduk, dan melesat dalam 40 menit dari Halim ke Tegalluar tanpa rasa takut, tanpa teror politik, tanpa khotbah dari pengamat ekonomi layar kaca.

Tapi anehnya, di negeri yang paling sibuk mencari celah dari keberhasilan orang lain, 12 juta penumpang masih juga dianggap “belum bukti apa-apa”. Katanya proyek ini pemborosan, katanya beban utang, katanya cuma “alat politik Jokowi”. Boleh jadi yang bicara begitu justru belum tentu pernah naik Whoosh, bahkan mungkin belum pernah ke Halim.

Ironis, mereka tak sadar: kalau proyek ini memang sembarangan, 12 juta orang itu seharusnya sudah jadi berita duka, bukan berita capaian.

Namun faktanya, Whoosh berjalan aman, nol kecelakaan besar, dengan rekor harian lebih dari 25 ribu penumpang.

Tapi tetap saja—yang dicari bukan data, melainkan dosa.

Mari jujur: Whoosh bukan cuma proyek rel, tapi simbol keberanian Indonesia untuk melompat di tengah ketakutan kolektifnya sendiri. Sebelum ini, kita sibuk memuja-muja “kemajuan” negara tetangga: Singapura dengan MRT-nya, Thailand dengan pariwisatanya, Vietnam dengan industrinya. Kini giliran Indonesia punya kereta cepat, tiba-tiba sebagian orang jadi alergi.

Indonesia sudah melampaui Amerika Serikat dan India dalam pembangunan KA cepat. California yang menggagas sejak 2008 masih mangkrak. Sudah 170 miliar dollar dihabiskan untuk jalur San Fransisco – Los Angeles belum kunjung jadi.

India baru tahun depan menikmati 500 kilometer kereta cepatnya yang menghubungkan Mumbai – Ahmedabad – tapi belum jelas juga kepastiannya. Kendala biaya juga menghantui proyek dua raksasa kerjasama dengan Jepang itu.

Di forum regional, Whoosh jadi bahan perbandingan, bukan ejekan. Namun di dalam negeri, ia justru dijadikan bahan debat tentang siapa yang akan dapat panggung di 2029.

ASEAN kini memandang Indonesia berbeda dari sebelumnya – setelah kita punya Whoosh. Kita tak lagi sekadar negara besar dengan birokrasi lambat, tapi negara yang berani mengeksekusi.

Padahal kalau kereta cepat ini benar-benar gagal, mengapa Prabowo justru melanjutkan dan memperluas jalurnya hingga Surabaya? Bukankah ini bukti paling sederhana bahwa proyek ini berhasil?

Atau jangan-jangan, “pemborosan” itu hanya berlaku kalau inisiatif datang dari Jokowi, tapi berubah jadi “strategi pembangunan nasional” begitu nama presidennya berbeda?

Kalau begitu, yang bermasalah bukan proyeknya, tapi standar kejujuran politik kita.

SATU lagi, ya. Ketika Jokowi menyebut Whoosh sebagai “investasi sosial”, sontak sebagian komentator ekonomi seperti kehilangan keseimbangan. “Bagaimana bisa proyek B to B disebut investasi sosial?” kata mereka dengan nada sok tahu, seolah semua istilah pembangunan harus lewat kalkulator bunga pinjaman.

Padahal Jokowi tidak sedang bicara soal format pembiayaan, tapi makna pembangunan. “Investasi sosial” bukan berarti proyek amal. Ia berarti nilai sosial dari proyek ekonomi—manfaat yang dirasakan rakyat: konektivitas, waktu tempuh, peluang kerja, dan kepercayaan diri bangsa.

Tapi begitulah, di negeri yang segala sesuatu harus diukur dengan angka defisit dan kurs dolar, kata “sosial” selalu dianggap sinonim dari “merugi”. Seakan-akan yang disebut “investasi” hanyalah yang mencetak laba finansial, bukan laba peradaban.

Coba lihat realitasnya:
12 juta penumpang bukan angka subsidi. Memang ada promosi pada awalnya. Normal. Tapi mereka bayar tiket, dan mereka memilih naik.

Waktu tempuh 3 jam kini jadi 40 menit. Itu bukan teori ekonomi, itu efisiensi hidup. Ada keluhan teknis dan kenyamanan. Nyaris tidak ada. Puji pujian malah berlimpah!

Kota-kota baru mulai tumbuh di lintasan Padalarang dan Tegalluar. Itu bukan propaganda, tapi fakta lapangan.

Kalau itu bukan investasi sosial, lalu apa?

LUCU – di negeri ini kecepatan justru dianggap dosa. Saat proyek berjalan cepat, dibilang tergesa-gesa. Saat proyek tertunda, dibilang gagal. Saat sudah jadi, dibilang ambisius!

Tampaknya yang diinginkan sebagian orang hanyalah satu: proyek yang tidak pernah selesai agar mereka bisa terus berteriak “mana hasilnya?”. Gagal. Mangkrak. Adili.

Padahal risiko proyek ini sangat tinggi. Bayangkan, kecepatan 350 km/jam di negara tropis dengan kontur tanah rumit. Tapi sejauh ini, aman. Tidak ada berita kecelakaan fatal. Tidak ada kegagalan teknis besar. Namun tetap saja, sebagian orang lebih percaya rumor Twitter ketimbang laporan keselamatan resmi.

Kita ini bangsa yang luar biasa: bisa membangun infrastruktur tercepat di ASEAN, tapi juga bisa menciptakan teori konspirasi tercepat di dunia.

Ada korupsi di Whoosh? Ya ada! Memangnya proyek apa yang tidak dikorupsi di negeri ini? BBM Pertamina dikorupsi, Bansos dikorupsi, pembangunan menara internet dikorupsi, duit pensiunan tentara dikorupsi. Silakan saja usut korupsinya, tangkap pelakunya.

SEJAK zaman Bung Karno, proyek mercusuar selalu dicibir: Monas, Stadion Gelora Bung Karno, Taman Mini, semuanya pernah dianggap “pemborosan”. Tapi waktu membuktikan: yang dulu dicaci kini jadi ikon.

Whoosh pun akan begitu. Hari ini mungkin masih jadi bahan debat politik. Tapi sepuluh tahun lagi, ia akan jadi hal biasa—dan para pengkritiknya akan berpose di dalamnya sambil tersenyum di Instagram. Begitulah nasib proyek besar: selalu dimaki di awal, dipuji di akhir.

Mereka yang dulu berteriak “ini proyek Jokowi” akan melupakan jeritannya ketika nanti proyek ini meluncur sampai Surabaya, dan mereka ikut memotong pita peresmiannya.

Whoosh bukan sekadar kereta. Ia adalah simbol dari bangsa yang akhirnya berani melesat lebih cepat dari rasa curiganya sendiri.

Sebuah bangsa yang terlalu lama disekolahkan untuk berpikir lambat, kini belajar bahwa kecepatan juga bisa lahir dari kehati-hatian dan keberanian.

Dan kalau proyek seaman ini masih dicurigai, kalau keberhasilan semacam ini masih dianggap dosa, mungkin yang harus diperiksa bukan rel keretanya, tapi rel logika kita.

Karena pada akhirnya, Whoosh sudah melaju — melesat – meninggalkan mereka yang sibuk mencari cari alasan untuk terus ngomel dan merepet di stasiun kebencian. *

Continue Reading

Kopini Tamu

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Diskusi Forum Wartawan Kebangsaan

Catatan: Mohammad Nasir, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan

Jakarta, Koin24.co.id – Diskusi-diskusi kecil dengan tema besar mengalir begitu saja dalam diskusi mingguan Forum Wartawan Kebangsaan (FWK). Dikatakan bertema besar karena membahas kepentingan rakyat, bangsa Indonesia,dan ke-Indonesia-an.

Banyak masalah yang kini dihadapi bangsa ini. Bertumpuk-tumpuk persoalan bangsa yang harus diselesaikan para pihak yang diberi kewenangan untuk mengurus.

Persoalan datang silih berganti, belum selesai yang satu, datang persoalan baru, bergema di mana-mana, seperti negeri dalam kekacauan. Peserta diskusi mengkhawatirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia hancur.

Orang-orang pemerintahan yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah, justru kadang-kadang menjadi bagian dari masalah.
Kebijakan dan dalam pelaksanaan menimbulkan masalah.

Banyak persoalan di berbagai bidang: hukum, politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, industri, pertambangan, perubahan iklim, olahraga, dan lain-lainnya. Persoalan seringkali berubah menjadi gaduh.

Semua persoalan tersebut menjadi bahasan diskusi. Mencari duduk perkara, mencari solusi, memberi saran dan masukan.

Diskusi tidak pernah kekurangan tema penting yang harus dibahas. Bahkan terasa sulit mengagendakan dan memberi prioritas, karena dinamika isu berubah sangat cepat.

Dalam bulan September- Oktober 2025, contohnya, ketika ramai dibicarakan kasus dugaan korupsi yang mengguncang kementerian pendidikan terkait pengadaan komputer chrombook, ditimpa kasus lain.

Padahal kasus dugaan korupsi di kementerian pendidikan menjadi perhatian publik. Membawa serta mantan gus menterinya, dan dalam proses hukum.

Kejaksaan Agung menduga dugaan korupsi di kementerian pendidikan pada 2019- 2022 untuk program digitalisasi pendidikan menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 1,98 triliun (Kompas.com, 6 September 2025).

Ketika kasus tersebut belum selesai, ditimpa peristiwa kasus keracunan massal peserta didik akibat mengonsumsi makanan yang disediakan program makan bergizi gratis (MBG).

Berangkat dari kasus keracunan MBG, kemudian disorot masalah pengelolaan program bergizi gratis untuk anak sekolah yang masih amburadul, termasuk persoalan dapur, dan transparansi penggunaan anggaran.

Dunia pendidikan bertambah ruwet ketika 630 murid SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, mogok belajar. Mereka kabarnya tidak terima seorang temannya ditempeleng guru ketika kedapatan merokok di sekolah.

“Masalah yang mencuat di dunia pendidikan ini serius. Harus segera ditangani oleh pemerintah. Ini alarm yang harus ditanggapi serius. Pemerintah harus bangkit membenahi pendidikan dari berbagai sisi. Kalau dunia pendidikan sampai kehilangan kepercayaan masyarakat, akan berbahaya untuk kelangsungan bangsa ini,” kata Hendry Ch. Bangun, mantan wartawan Harian Kompas yang pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Pers.

Hendry turut hadir dan menjadi narasumber dalam diskusi FWK bertema carut-marutnya dunia pendidikan.

Tema lain yang pernah dibahas media sosial dan media pers berbagai platform adalah jabatan rangkap di kementerian dan komisaris-komisaris di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jabatan rangkap ini menjadi persoalan ketika Presiden Prabowo Subianto sedang melakukan penghematan penggunaan anggaran negara.

Kinerja menteri-menteri juga sempat menjadi tema hangat diskusi kecil yang dihadiri wartawan-wartawan senior.

Wartawan yang hadir antara lain Jimmy S. Harianto, Yesayas Octavianus, AR. Loebis, Hendry Ch. Bangun, Budi Nugraha, Untung Kurniadi, Sayid Iskandarsyah, M. Iqbal Irsyad, Tatang Suherman, Herwan Pebriansyah, Herry Sinamarata, Berman Nainggolan L.Radja, Dadang Rachmat, Simon Leo Siahaan, dan Edi Kuswanto.

Karena diskusi FWK dikelola oleh wartawan, diskusi ini tidak pernah kehilangan tema. Bahkan tema-tema penting berjubel untuk dibahas, sehingga diperlukan pengelolaan isu, mana yang harus didahulukan.

Peserta dalam keseharian di kantor redaksi masing-masing sudah terbiasa mengelola isu harian yang dijadikan berita. Jadi suasana diskusi ini semacam rapat perencanaan redaksi yang membahas isu-isu penting.

Isu-isu penting menyangkut kepentingan rakyat, dan kebangsaan dibahas, dicari persoalannya, kemudian diberikan saran untuk penyelesaian.

Diskusi seperti yang sudah berlangsung selama ini dipimpin oleh Koordinator Nasional FWK Raja Parlindungan Pane, mantan pemimpin redaksi di Jakarta.
Raja memimpin diskusi dengan gaya lugas dan cerdas dalam menangkap setiap gagasan yang muncul.

“Diskusi ini terbuka untuk semua wartawan. Semakin banyak anggota diskusi semakin banyak pemikiran yang masuk. Kami di sini melihat persoalan bukan hanya dari satu sisi, tetapi dari berbagai sisi dan sudut pandang. Karena kami membutuhkan pemikiran dari semua
Peserta,” kata Raja Pane.

Untuk sementara ini diskusi mengambil tempat berpindah-pindah, karena belum mempunyai kantor tetap. Kadang-kadang berlangsung di ruang rapat media VOI Jalan Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan kadang-kadang di ruang rapat Redaksi Suara Merdeka Biro Jakarta di Tebet.

Peserta yang hadir biasanya tidak banyak, sekitar 20 orang. Tetapi audiens sangat banyak di rumah masing-masing. Mereka mengikuti melalui media yang memberitakan hasil diskusi.

Beritanya direproduksi dan diamplifikasi. Gaungnya hampir di seluruh provinsi di Tanah Air, dan bahkan sampai luar negeri karena disebar-luaskan juga oleh media dalam berbagai bahasa dunia.

Dari diskusi-diskusi kecil itulah FWK membisikkan perjuangan kebangsaan kepada siapa saja yang mau mendengar.

Continue Reading

Kopini Tamu

Apakah Sumpah Pemuda 1928 Masih Relevan di Era Digital?

Berman Nainggolan Lumbanradja

Published

on

Oleh:Jimmy S. Harianto, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan, mantan Redaktur Opini, Redaktur Internasional, Redaktur Olahraga dan mantan wartawan Senior Kompas 1975-2012

Jakarta, Koin24.co.id – Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Bahasa Indonesia. Tiga kalimat sederhana yang diucapkan saat Sumpah Pemuda di Batavia 28 Oktober 1928 ini sudah lama menjadi fondasi bagi lahirnya bangsa yang besar. Ia bukan sekadar teks sejarah, melainkan semacam manifesto moral yang menegaskan bahwa pemuda adalah sumber kekuatan untuk mempersatukan Indonesia.

Kini, hampir satu abad kemudian, semangat itu diuji kembali . Bukan di medan pertempuran fisik, melainkan di dunia digital yang serba cepat, serba instan, serba ‘real time’ (serta merta) dan terbuka namun terkadang memecah belah.

Pertanyaannya, masihkah semangat Sumpah Pemuda yang diucapkan bapa-bapa Bangsa kita 97 tahun lalu itu masih hidup di tengah derasnya arus teknologi dan media sosial hari ini? Saat ini nasionalisme tidak lagi diukur dari seberapa keras kita berteriak ‘Merdeka!’, melainkan seberapa nyata kita menjaga nilai dan identitas Indonesia dalam setiap klik yang kita lakukan.

Mari kita tengok perubahan semangat kita, para pemuda Indonesia, setelah hampir seabad Sumpah Pemuda itu diucapkan. Di Media sosial, dalam berbagai platform, kita sekarang bukan lagi mengandalkan “ketajaman pena dan tebalnya huruf di kertas surat kabar”. Akan tetapi berbicara lantang menyodorkan data, teknologi dan jejaring digital. Namun kebersatuan kita saat ini bukan lagi semangat kemerdekaan, untuk memperjuangkan eksistensi bangsa, akan tetapi adalah “semangat kepentingan”. Di mana kepentingan bicara, kita bersatu. Kalau perlu melawan fakta dan data sebenarnya. Karena dengan dengungan berulang-ulang kebohongan, fakta dan data palsu bisa disulap menjadi kebenaran!

Kebersatuan di media sosial masa kini didasarkan pada kebersamaan kepentingan, untuk mencapai tujuan politik tertentu. Bisa karena didorong kepentingan partai, kepentingan kelompok, maupun ambisi jabatan baik bagi kelompok, tokoh pujaan, maupun diri kita sendiri. Semangat seperti yang dulu dikumandangkan oleh bapa-bapa bangsa hampir seratus tahun lalu, kini sudah nyaris luntur.

Ada baiknya kita memang mencoba menengok kembali apa yang dilakukan oleh bapa-bapa bangsa kita yang bercapai-capai, berpeluh keringat, dan bahkan berdarah-darah untuk berdiri mengucapkan sumpah: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia…

*Refleksi Seratus Tahun*

Sumpah Pemuda merupakan momen bersejarah lahirnya semangat persatuan bangsa Indonesia, saat para pemuda dari berbagai daerah dan organisasi berkumpul dalam Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta sekarang ini).
Isi Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak penting kebangkitan nasional dalam arti persatuan bangsa adalah:

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Peristiwa Sumpah Pemuda tidak lahir dari satu orang, melainkan dari semangat kolektif para pemuda Indonesia pada waktu itu. Ada beberapa tokoh pemuda yang perlu kita kenang untuk “manifesto moral” para pemuda, yang ditempa keprihatinan lantaran mengalami berbagai bentuk penjajahan kolonial, baik dari sejak era Hindia Belanda, sampai penjajahan Jepang dan bangsa asing lain yang bersekutu menguasai dunia pada era sebelum Indonesia Merdeka.

Sumpah Pemuda 1928 dimotori oleh Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda II. Selain memimpin jalannya kongres, yang dilukiskan sebagai tegas dan berwibawa, dalam pidato pembukaannya ia menyerukan agar pemuda Indonesia “bersatu dalam satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa.

Lalu Wage Rudof Supratman. Dialah pencipta lagu “Indonesia Raya”, yang pertama kali dimainkan (secara instrumental) pada penutupan Kongres Pemuda II. Lagu itu di kemudian hari sampai hari ini dijadikan simbol kebangkitan nasional, dan lagu WR Supratman menjadi Lagu Kebangsaan Indonesia.

Perumus ‘manifesto moral’ Sumpah Pemuda? Dialah Mohammad Yamin, perumus ide “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa,”. Dan di dalam Kongres Pemuda II tersebut, M Yamin digambarkan berpidato dengan sangat inspiratif, menanamkan cita-cita persatuan yang melampaui suku dan daerah.

Tokoh-tokoh lain dalam Sumpah Pemuda II yang ikut berperan dalam semangat persatuan kepemudaan saat itu, adalah juga: Amir Sjarifoeddin, Djoko Marsaid, Johanes Leimena dan Sarmidi Mangunsarkoro. Tentu masih ada lagi peran lain lagi dari pemuda-pemuda, bapa-bapa bangsa kita saat itu.

Lalu bagaimana menghidupkan kembali api semangat Sumpah Pemuda nyaris 100 tahun lalu itu? Bolehlah kita rumuskan sesuai era digital sekarang ini:

Gunakan teknologi untuk membangun, bukan untuk menjatuhkan sesama. Artinnya, jadikan setiap unggahan dan komentar sebagai bentuk cinta pada bangsa. Lalu bangunlah jejaring lintas daerah dan budaya, demi kolaborasi lintas wilayah dan komunitas yang dapat memperkuat rasa kebangsaan. Dan terakhir, jangan lupa kembangkan inovasi berbasis kearifan lokal. Buatlah produk dan ide kreatif yang mengangkat nilai-nilai Indonesia, yang bisa menjadi kebanggaan bersama.

Itu gagasannya. Tetapi bisakah kita di zaman serba ingin eksis sendiri seperti sekarang ini, kita menjadikan setiap ruang digital tempat kita bekerja, belajar, dan berinteraksi sebagai ruang perjuangan baru.

Mari kita coba jaga persatuan bukan hanya di dunia maya. Akan tetapi juga didunia nyata. Semoga bisa..*

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler