Kopini Tamu
Wartawan Cerewet
Published
1 month agoon
Oleh: M. Nasir
⁃ Anggota Forum Wartawan Kebangsaan, dan Mantan Wartawan Harian Kompas.
Jakarta, Koin24.co.id – Dimana pun wartawan berkarya, baik di platform cetak, online, radio, televisi, maupun media baru seperti podcast, jangan takut dibilang cerewet.
Untuk menjadi wartawan perlu cerewet bertanya, supaya mendapatkan informasi rinci dan akurat.
Cerewet tidak akan membawa wartawan terjerat hukum, asalkan tidak melanggar kode etik jurnaistik dan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.Karena itu wartawan wajib membaca kode etik dan undang-undang pers.
Kalau wartawan banyak diam di depan narasumber, tidak akan menyerap banyak informasi. Wartawan yang tidak aktif bertanya identik dengan wartawan malas, kurang menunjukkan gregetnya sebagai wartawan.
Di luar wawancara, boleh saja wartawan banyak diam, atau bicara
ngalor-ngidul, puja-puji sana- sini seperti yang dilakukan banyak wartawan senior. Tetapi kalau sedang melakukan wawancara harus kritis, bahkan cerewet.
“Wartawan itu cerewet, pengecam, penasihat, pengawas, penguasa dan guru bangsa. Empat surat kabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet” demikian kata Napoleon Bonaparte yang tersohor dan dikutip di mana-mana.
Napoleon (1769- 1821), sang kaisar dan komandan militer Perancis menggambarkan wartawan sebagai sosok yang cerewet.
Kecerewetan itu pantulan dari pikiran kritis. Pikiran kritis digunakan untuk menggali informasi yang benar.
Kebenaran yang diharapkan sesuai nalar sehatnya, bukan kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa atau orang lain yang punya kepentingan.
Kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa itu seperti yang dipraktikkan dalam kehidupan bermedia di zaman otoritarian awal abad 15 ketika Johannes Gutenberg baru memperkenalkan mesin cetak untuk media di Eropa.
Setelah otoritarian yang menjadikan media sebagai corong penguasa tumbang, karena tidak sesuai demokrasi, maka hiduplah masa libertarian.
Bukan Manusia Pasif
Dalam libertarian, manusia tidak lagi dipandang pasif dalam menerima kebenaran. Kebenaran tidak hanya datang dari satu arah, yakni penguasa. Tetapi manusia sebagai sosok rasional berhak mencari kebenaran. Bisa membedakan mana benar dan mana yang tidak.
“Peran media adalah membantu pencarian kebenaran, menolong individu mencari kebenaran. Oleh karena itu, dalam sistem libertarian media bukanlah bagian dari pemerintah, melainkan independen, otonom, dan bebas untuk mengekspresikan gagasan meskipun gagasan tersebut menyakitkan, tanpa merasa takut adanya campur tangan pemerintah,” (Dedy Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat, dan Mohammad Shoelhi (Editor), Komunikasi Internasional, PT Remaja Rosdakarya, 1993).
Sekarang penguasa tidak bisa memaksakan kebenaran versinya sendiri. Kita tahu apa yang terjadi belakangan ini, banyak contoh.
Salah satu contoh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ketika itu menyampaikan pernyataan bahwa presiden boleh berkampanye dan berpihak di Pemilihan Umum (Pemilu).
Pernyataan itu disampaikan oleh Jokowi hari Rabu, 24/1/2023 ketika ditanya wartawan seputar kampanye.
Begitu pernyataan Jokowi tersebar di media massa dan media sosial, langsung mendapat reaksi media yang bernada mengkritisi. Pernyataan presiden dianggap kurang tepat dan tidak netral.
Media pers pun membantu mencari kebenaran secara kritis dengan mewancarai cendekiawan dan orang-orang yang paham soal undang-undang Pemilu untuk memberi pencerahan pada masyarakat yang sedang bingung dengan pernyataan presiden.
Para pihak yang bereaksi terhadap pernyataan Jokowi ketika itu bukan hanya pers, tetapi juga individu-individu dalam media sosial pun memberi penilaian.
Banyak netizen yang menafsirkan Jokowi akan bertindak semau-maunya dalam Pemilu 2024, karena putranya, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto.
Jokowi pun kemudian menegaskan, pernyataannya bahwa presiden dan wakil presiden berhak berkampanye sebatas menjelaskan ketentuan yang ada di undang-undang Pemilu. Presiden meminta hal itu tidak diinterpretasikan atau ditarik ke mana-mana (Harian Kompas, 27/1/2024).
Demikianlah kebebasan berpendapat sekarang, kebebasan pers di era 4.0, libertarian yang juga ditandai dengan sistem penyebaran berita menggunakan internet dan bahkan memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Namun demikian, libertarian di Indonesia dilapisi dengan tanggung jawab sosial yang ditandai dengan kode etik jurnalistik dan Undang-Undang tentang pers No 40 Tahun 1999.
Wartawan harus merdeka, independen, tanpa sensor seperti yang disebut dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sebagai bentuk rasa tanggung jawab sosial, wartawan Indonesia wajib mentaati kode etik jurnalistik (KEJ) dan pedoman-pedoman pemberitaan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Terakhir pedoman-pedoman itu disempurnakan dan disahkan pada 16 November 2023 oleh Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu.
Pedoman-pedoman pemberitaan itu adalah Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, Pedoman Pemberitaan Media Siber, Pedoman Pemberitaan Keberagaman, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk radio dan televisi, Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas, Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan, Pedoman hak Jawab, Penerapan hak Tolak dan tanggung jawab hukum dalam perkara jurnalistik.
Secara otomatis kebebasan pun kemudian diatur dengan pedoman-pedoman tersebut demi kebaikan bersama dan tanggung jawab sosial.
Namun demikian, KEJ memperkuat kerja profesional wartawan. Dalam KEJ, wartawan tidak boleh berbohong, dan menerima suap dari sumber berita dalam bentuk apa pun yang dapat mempengaruhi independensi.
Pers dituntut mampu mem-verifikasi kebenaran informasi dengan menggunakan daya nalar kritisnya, sebelum menjadikan informasi sebagai berita media massa.
Tidak Beropini
Bahkan dalam KEJ, wartawan tidak boleh beropini, mencampurkan fakta dan opini pribadi. Hal ini juga menuntut wartawan bekerja lebih cermat dan berpikir kritis dalam melihat fakta.
Untuk menghindari opini, jangan menggunakan kata sifat kecuali dengan menunjukkan fakta-faktanya secara memadai. Lebih baik mengganti kata sifat dengan kata kerja dan kata benda yang jelas.
Misalnya kata sifat “kaya”, diganti dengan menyebutkan fakta-fakta harta kekayaan yang dimiliki. Kata “cantik”, diganti dengan menyebut ciri fisik yang dipahami masyarakat, misalnya “hidung mancung, rambutnya berombak”, dan lain-lain.
Sejumlah kata sifat yang juga perlu dihindari antara lain, hebat, baik, luar biasa, indah, ramah, mudah, sulit, kotor, segar, buruk, murah, mahal, besar, kecil, jahat, kejam, dan seterusnya.
Dengan menguraikan kata sifat dengan fakta berupa kata benda dan kata kerja, wartawan tidak mudah terjebak dalam permainan kata orang-orang politik.
Misalnya, ada narasumber yang mengatakan program pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG) sekarang sudah baik. Kata “baik” harus dijelaskan baik seperti apa? Ini harus diuraikan supaya wartawan tidak ikut beropini.
Begitu pula kalau narasumber mengatakan dengan kata sifat, “Layanan MBG sekarang amburadul”. Kata “amburadul” harus dijelaskan. Di sini wartawan harus cerewet mempertanyakan kata sifat “amburadul” yang disampaikan oleh narasumber.
“Tadi bapak mengatakan MBG amburadul dan tidak tepat sasaran. Tolong jelaskan amburadulnya seperti apa. Mohon dijelaskan,pak”, demikian contoh pertanyaan yang terus mengejar.
“Ketika kamu menggunakan kata sifat, kamu akan berisiko menyelipkan opinimu ke dalam cerita,” kata Carole Rich dalam bukunya Writing and Reporting News, A Coaching Methode, Wadsworth Chengage Learning, 2010.
Wartawan dalam kode etik jurnalistik tidak boleh menulis opininya sendiri. Wartawan hanya melaporkan kejadian, dengan keadaan apa adanya dengan sudut pandang yang menarik. (*)
You may like
Oleh : Dimas Supriyanto
Jakarta, Koin24.co.id – SUDAH 12 juta orang naik Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Dua belas juta! Bukan angka kecil, bukan angka propaganda, dan bukan pula angka pesanan biro humas istana. Bisa dicek dan dikonfirmasi datanya. Itu adalah kepercayaan publik yang nyata—orang-orang yang membeli tiket, duduk, dan melesat dalam 40 menit dari Halim ke Tegalluar tanpa rasa takut, tanpa teror politik, tanpa khotbah dari pengamat ekonomi layar kaca.
Tapi anehnya, di negeri yang paling sibuk mencari celah dari keberhasilan orang lain, 12 juta penumpang masih juga dianggap “belum bukti apa-apa”. Katanya proyek ini pemborosan, katanya beban utang, katanya cuma “alat politik Jokowi”. Boleh jadi yang bicara begitu justru belum tentu pernah naik Whoosh, bahkan mungkin belum pernah ke Halim.
Ironis, mereka tak sadar: kalau proyek ini memang sembarangan, 12 juta orang itu seharusnya sudah jadi berita duka, bukan berita capaian.
Namun faktanya, Whoosh berjalan aman, nol kecelakaan besar, dengan rekor harian lebih dari 25 ribu penumpang.
Tapi tetap saja—yang dicari bukan data, melainkan dosa.
Mari jujur: Whoosh bukan cuma proyek rel, tapi simbol keberanian Indonesia untuk melompat di tengah ketakutan kolektifnya sendiri. Sebelum ini, kita sibuk memuja-muja “kemajuan” negara tetangga: Singapura dengan MRT-nya, Thailand dengan pariwisatanya, Vietnam dengan industrinya. Kini giliran Indonesia punya kereta cepat, tiba-tiba sebagian orang jadi alergi.
Indonesia sudah melampaui Amerika Serikat dan India dalam pembangunan KA cepat. California yang menggagas sejak 2008 masih mangkrak. Sudah 170 miliar dollar dihabiskan untuk jalur San Fransisco – Los Angeles belum kunjung jadi.
India baru tahun depan menikmati 500 kilometer kereta cepatnya yang menghubungkan Mumbai – Ahmedabad – tapi belum jelas juga kepastiannya. Kendala biaya juga menghantui proyek dua raksasa kerjasama dengan Jepang itu.
Di forum regional, Whoosh jadi bahan perbandingan, bukan ejekan. Namun di dalam negeri, ia justru dijadikan bahan debat tentang siapa yang akan dapat panggung di 2029.
ASEAN kini memandang Indonesia berbeda dari sebelumnya – setelah kita punya Whoosh. Kita tak lagi sekadar negara besar dengan birokrasi lambat, tapi negara yang berani mengeksekusi.
Padahal kalau kereta cepat ini benar-benar gagal, mengapa Prabowo justru melanjutkan dan memperluas jalurnya hingga Surabaya? Bukankah ini bukti paling sederhana bahwa proyek ini berhasil?
Atau jangan-jangan, “pemborosan” itu hanya berlaku kalau inisiatif datang dari Jokowi, tapi berubah jadi “strategi pembangunan nasional” begitu nama presidennya berbeda?
Kalau begitu, yang bermasalah bukan proyeknya, tapi standar kejujuran politik kita.
SATU lagi, ya. Ketika Jokowi menyebut Whoosh sebagai “investasi sosial”, sontak sebagian komentator ekonomi seperti kehilangan keseimbangan. “Bagaimana bisa proyek B to B disebut investasi sosial?” kata mereka dengan nada sok tahu, seolah semua istilah pembangunan harus lewat kalkulator bunga pinjaman.
Padahal Jokowi tidak sedang bicara soal format pembiayaan, tapi makna pembangunan. “Investasi sosial” bukan berarti proyek amal. Ia berarti nilai sosial dari proyek ekonomi—manfaat yang dirasakan rakyat: konektivitas, waktu tempuh, peluang kerja, dan kepercayaan diri bangsa.
Tapi begitulah, di negeri yang segala sesuatu harus diukur dengan angka defisit dan kurs dolar, kata “sosial” selalu dianggap sinonim dari “merugi”. Seakan-akan yang disebut “investasi” hanyalah yang mencetak laba finansial, bukan laba peradaban.
Coba lihat realitasnya:
12 juta penumpang bukan angka subsidi. Memang ada promosi pada awalnya. Normal. Tapi mereka bayar tiket, dan mereka memilih naik.
Waktu tempuh 3 jam kini jadi 40 menit. Itu bukan teori ekonomi, itu efisiensi hidup. Ada keluhan teknis dan kenyamanan. Nyaris tidak ada. Puji pujian malah berlimpah!
Kota-kota baru mulai tumbuh di lintasan Padalarang dan Tegalluar. Itu bukan propaganda, tapi fakta lapangan.
Kalau itu bukan investasi sosial, lalu apa?
LUCU – di negeri ini kecepatan justru dianggap dosa. Saat proyek berjalan cepat, dibilang tergesa-gesa. Saat proyek tertunda, dibilang gagal. Saat sudah jadi, dibilang ambisius!
Tampaknya yang diinginkan sebagian orang hanyalah satu: proyek yang tidak pernah selesai agar mereka bisa terus berteriak “mana hasilnya?”. Gagal. Mangkrak. Adili.
Padahal risiko proyek ini sangat tinggi. Bayangkan, kecepatan 350 km/jam di negara tropis dengan kontur tanah rumit. Tapi sejauh ini, aman. Tidak ada berita kecelakaan fatal. Tidak ada kegagalan teknis besar. Namun tetap saja, sebagian orang lebih percaya rumor Twitter ketimbang laporan keselamatan resmi.
Kita ini bangsa yang luar biasa: bisa membangun infrastruktur tercepat di ASEAN, tapi juga bisa menciptakan teori konspirasi tercepat di dunia.
Ada korupsi di Whoosh? Ya ada! Memangnya proyek apa yang tidak dikorupsi di negeri ini? BBM Pertamina dikorupsi, Bansos dikorupsi, pembangunan menara internet dikorupsi, duit pensiunan tentara dikorupsi. Silakan saja usut korupsinya, tangkap pelakunya.
SEJAK zaman Bung Karno, proyek mercusuar selalu dicibir: Monas, Stadion Gelora Bung Karno, Taman Mini, semuanya pernah dianggap “pemborosan”. Tapi waktu membuktikan: yang dulu dicaci kini jadi ikon.
Whoosh pun akan begitu. Hari ini mungkin masih jadi bahan debat politik. Tapi sepuluh tahun lagi, ia akan jadi hal biasa—dan para pengkritiknya akan berpose di dalamnya sambil tersenyum di Instagram. Begitulah nasib proyek besar: selalu dimaki di awal, dipuji di akhir.
Mereka yang dulu berteriak “ini proyek Jokowi” akan melupakan jeritannya ketika nanti proyek ini meluncur sampai Surabaya, dan mereka ikut memotong pita peresmiannya.
Whoosh bukan sekadar kereta. Ia adalah simbol dari bangsa yang akhirnya berani melesat lebih cepat dari rasa curiganya sendiri.
Sebuah bangsa yang terlalu lama disekolahkan untuk berpikir lambat, kini belajar bahwa kecepatan juga bisa lahir dari kehati-hatian dan keberanian.
Dan kalau proyek seaman ini masih dicurigai, kalau keberhasilan semacam ini masih dianggap dosa, mungkin yang harus diperiksa bukan rel keretanya, tapi rel logika kita.
Karena pada akhirnya, Whoosh sudah melaju — melesat – meninggalkan mereka yang sibuk mencari cari alasan untuk terus ngomel dan merepet di stasiun kebencian. *
Kopini Tamu
FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil
Published
1 week agoon
October 30, 2025
Catatan: Mohammad Nasir, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan
Jakarta, Koin24.co.id – Diskusi-diskusi kecil dengan tema besar mengalir begitu saja dalam diskusi mingguan Forum Wartawan Kebangsaan (FWK). Dikatakan bertema besar karena membahas kepentingan rakyat, bangsa Indonesia,dan ke-Indonesia-an.
Banyak masalah yang kini dihadapi bangsa ini. Bertumpuk-tumpuk persoalan bangsa yang harus diselesaikan para pihak yang diberi kewenangan untuk mengurus.
Persoalan datang silih berganti, belum selesai yang satu, datang persoalan baru, bergema di mana-mana, seperti negeri dalam kekacauan. Peserta diskusi mengkhawatirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia hancur.
Orang-orang pemerintahan yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah, justru kadang-kadang menjadi bagian dari masalah.
Kebijakan dan dalam pelaksanaan menimbulkan masalah.
Banyak persoalan di berbagai bidang: hukum, politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, industri, pertambangan, perubahan iklim, olahraga, dan lain-lainnya. Persoalan seringkali berubah menjadi gaduh.
Semua persoalan tersebut menjadi bahasan diskusi. Mencari duduk perkara, mencari solusi, memberi saran dan masukan.
Diskusi tidak pernah kekurangan tema penting yang harus dibahas. Bahkan terasa sulit mengagendakan dan memberi prioritas, karena dinamika isu berubah sangat cepat.
Dalam bulan September- Oktober 2025, contohnya, ketika ramai dibicarakan kasus dugaan korupsi yang mengguncang kementerian pendidikan terkait pengadaan komputer chrombook, ditimpa kasus lain.
Padahal kasus dugaan korupsi di kementerian pendidikan menjadi perhatian publik. Membawa serta mantan gus menterinya, dan dalam proses hukum.
Kejaksaan Agung menduga dugaan korupsi di kementerian pendidikan pada 2019- 2022 untuk program digitalisasi pendidikan menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 1,98 triliun (Kompas.com, 6 September 2025).
Ketika kasus tersebut belum selesai, ditimpa peristiwa kasus keracunan massal peserta didik akibat mengonsumsi makanan yang disediakan program makan bergizi gratis (MBG).
Berangkat dari kasus keracunan MBG, kemudian disorot masalah pengelolaan program bergizi gratis untuk anak sekolah yang masih amburadul, termasuk persoalan dapur, dan transparansi penggunaan anggaran.
Dunia pendidikan bertambah ruwet ketika 630 murid SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, mogok belajar. Mereka kabarnya tidak terima seorang temannya ditempeleng guru ketika kedapatan merokok di sekolah.
“Masalah yang mencuat di dunia pendidikan ini serius. Harus segera ditangani oleh pemerintah. Ini alarm yang harus ditanggapi serius. Pemerintah harus bangkit membenahi pendidikan dari berbagai sisi. Kalau dunia pendidikan sampai kehilangan kepercayaan masyarakat, akan berbahaya untuk kelangsungan bangsa ini,” kata Hendry Ch. Bangun, mantan wartawan Harian Kompas yang pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Pers.
Hendry turut hadir dan menjadi narasumber dalam diskusi FWK bertema carut-marutnya dunia pendidikan.
Tema lain yang pernah dibahas media sosial dan media pers berbagai platform adalah jabatan rangkap di kementerian dan komisaris-komisaris di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jabatan rangkap ini menjadi persoalan ketika Presiden Prabowo Subianto sedang melakukan penghematan penggunaan anggaran negara.
Kinerja menteri-menteri juga sempat menjadi tema hangat diskusi kecil yang dihadiri wartawan-wartawan senior.
Wartawan yang hadir antara lain Jimmy S. Harianto, Yesayas Octavianus, AR. Loebis, Hendry Ch. Bangun, Budi Nugraha, Untung Kurniadi, Sayid Iskandarsyah, M. Iqbal Irsyad, Tatang Suherman, Herwan Pebriansyah, Herry Sinamarata, Berman Nainggolan L.Radja, Dadang Rachmat, Simon Leo Siahaan, dan Edi Kuswanto.
Karena diskusi FWK dikelola oleh wartawan, diskusi ini tidak pernah kehilangan tema. Bahkan tema-tema penting berjubel untuk dibahas, sehingga diperlukan pengelolaan isu, mana yang harus didahulukan.
Peserta dalam keseharian di kantor redaksi masing-masing sudah terbiasa mengelola isu harian yang dijadikan berita. Jadi suasana diskusi ini semacam rapat perencanaan redaksi yang membahas isu-isu penting.
Isu-isu penting menyangkut kepentingan rakyat, dan kebangsaan dibahas, dicari persoalannya, kemudian diberikan saran untuk penyelesaian.
Diskusi seperti yang sudah berlangsung selama ini dipimpin oleh Koordinator Nasional FWK Raja Parlindungan Pane, mantan pemimpin redaksi di Jakarta.
Raja memimpin diskusi dengan gaya lugas dan cerdas dalam menangkap setiap gagasan yang muncul.
“Diskusi ini terbuka untuk semua wartawan. Semakin banyak anggota diskusi semakin banyak pemikiran yang masuk. Kami di sini melihat persoalan bukan hanya dari satu sisi, tetapi dari berbagai sisi dan sudut pandang. Karena kami membutuhkan pemikiran dari semua
Peserta,” kata Raja Pane.
Untuk sementara ini diskusi mengambil tempat berpindah-pindah, karena belum mempunyai kantor tetap. Kadang-kadang berlangsung di ruang rapat media VOI Jalan Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan kadang-kadang di ruang rapat Redaksi Suara Merdeka Biro Jakarta di Tebet.
Peserta yang hadir biasanya tidak banyak, sekitar 20 orang. Tetapi audiens sangat banyak di rumah masing-masing. Mereka mengikuti melalui media yang memberitakan hasil diskusi.
Beritanya direproduksi dan diamplifikasi. Gaungnya hampir di seluruh provinsi di Tanah Air, dan bahkan sampai luar negeri karena disebar-luaskan juga oleh media dalam berbagai bahasa dunia.
Dari diskusi-diskusi kecil itulah FWK membisikkan perjuangan kebangsaan kepada siapa saja yang mau mendengar.
Kopini Tamu
Apakah Sumpah Pemuda 1928 Masih Relevan di Era Digital?
Published
2 weeks agoon
October 28, 2025
Oleh:Jimmy S. Harianto, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan, mantan Redaktur Opini, Redaktur Internasional, Redaktur Olahraga dan mantan wartawan Senior Kompas 1975-2012
Jakarta, Koin24.co.id – Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Bahasa Indonesia. Tiga kalimat sederhana yang diucapkan saat Sumpah Pemuda di Batavia 28 Oktober 1928 ini sudah lama menjadi fondasi bagi lahirnya bangsa yang besar. Ia bukan sekadar teks sejarah, melainkan semacam manifesto moral yang menegaskan bahwa pemuda adalah sumber kekuatan untuk mempersatukan Indonesia.
Kini, hampir satu abad kemudian, semangat itu diuji kembali . Bukan di medan pertempuran fisik, melainkan di dunia digital yang serba cepat, serba instan, serba ‘real time’ (serta merta) dan terbuka namun terkadang memecah belah.
Pertanyaannya, masihkah semangat Sumpah Pemuda yang diucapkan bapa-bapa Bangsa kita 97 tahun lalu itu masih hidup di tengah derasnya arus teknologi dan media sosial hari ini? Saat ini nasionalisme tidak lagi diukur dari seberapa keras kita berteriak ‘Merdeka!’, melainkan seberapa nyata kita menjaga nilai dan identitas Indonesia dalam setiap klik yang kita lakukan.
Mari kita tengok perubahan semangat kita, para pemuda Indonesia, setelah hampir seabad Sumpah Pemuda itu diucapkan. Di Media sosial, dalam berbagai platform, kita sekarang bukan lagi mengandalkan “ketajaman pena dan tebalnya huruf di kertas surat kabar”. Akan tetapi berbicara lantang menyodorkan data, teknologi dan jejaring digital. Namun kebersatuan kita saat ini bukan lagi semangat kemerdekaan, untuk memperjuangkan eksistensi bangsa, akan tetapi adalah “semangat kepentingan”. Di mana kepentingan bicara, kita bersatu. Kalau perlu melawan fakta dan data sebenarnya. Karena dengan dengungan berulang-ulang kebohongan, fakta dan data palsu bisa disulap menjadi kebenaran!
Kebersatuan di media sosial masa kini didasarkan pada kebersamaan kepentingan, untuk mencapai tujuan politik tertentu. Bisa karena didorong kepentingan partai, kepentingan kelompok, maupun ambisi jabatan baik bagi kelompok, tokoh pujaan, maupun diri kita sendiri. Semangat seperti yang dulu dikumandangkan oleh bapa-bapa bangsa hampir seratus tahun lalu, kini sudah nyaris luntur.
Ada baiknya kita memang mencoba menengok kembali apa yang dilakukan oleh bapa-bapa bangsa kita yang bercapai-capai, berpeluh keringat, dan bahkan berdarah-darah untuk berdiri mengucapkan sumpah: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia…
*Refleksi Seratus Tahun*
Sumpah Pemuda merupakan momen bersejarah lahirnya semangat persatuan bangsa Indonesia, saat para pemuda dari berbagai daerah dan organisasi berkumpul dalam Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta sekarang ini).
Isi Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak penting kebangkitan nasional dalam arti persatuan bangsa adalah:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Peristiwa Sumpah Pemuda tidak lahir dari satu orang, melainkan dari semangat kolektif para pemuda Indonesia pada waktu itu. Ada beberapa tokoh pemuda yang perlu kita kenang untuk “manifesto moral” para pemuda, yang ditempa keprihatinan lantaran mengalami berbagai bentuk penjajahan kolonial, baik dari sejak era Hindia Belanda, sampai penjajahan Jepang dan bangsa asing lain yang bersekutu menguasai dunia pada era sebelum Indonesia Merdeka.
Sumpah Pemuda 1928 dimotori oleh Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda II. Selain memimpin jalannya kongres, yang dilukiskan sebagai tegas dan berwibawa, dalam pidato pembukaannya ia menyerukan agar pemuda Indonesia “bersatu dalam satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa.
Lalu Wage Rudof Supratman. Dialah pencipta lagu “Indonesia Raya”, yang pertama kali dimainkan (secara instrumental) pada penutupan Kongres Pemuda II. Lagu itu di kemudian hari sampai hari ini dijadikan simbol kebangkitan nasional, dan lagu WR Supratman menjadi Lagu Kebangsaan Indonesia.
Perumus ‘manifesto moral’ Sumpah Pemuda? Dialah Mohammad Yamin, perumus ide “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa,”. Dan di dalam Kongres Pemuda II tersebut, M Yamin digambarkan berpidato dengan sangat inspiratif, menanamkan cita-cita persatuan yang melampaui suku dan daerah.
Tokoh-tokoh lain dalam Sumpah Pemuda II yang ikut berperan dalam semangat persatuan kepemudaan saat itu, adalah juga: Amir Sjarifoeddin, Djoko Marsaid, Johanes Leimena dan Sarmidi Mangunsarkoro. Tentu masih ada lagi peran lain lagi dari pemuda-pemuda, bapa-bapa bangsa kita saat itu.
Lalu bagaimana menghidupkan kembali api semangat Sumpah Pemuda nyaris 100 tahun lalu itu? Bolehlah kita rumuskan sesuai era digital sekarang ini:
Gunakan teknologi untuk membangun, bukan untuk menjatuhkan sesama. Artinnya, jadikan setiap unggahan dan komentar sebagai bentuk cinta pada bangsa. Lalu bangunlah jejaring lintas daerah dan budaya, demi kolaborasi lintas wilayah dan komunitas yang dapat memperkuat rasa kebangsaan. Dan terakhir, jangan lupa kembangkan inovasi berbasis kearifan lokal. Buatlah produk dan ide kreatif yang mengangkat nilai-nilai Indonesia, yang bisa menjadi kebanggaan bersama.
Itu gagasannya. Tetapi bisakah kita di zaman serba ingin eksis sendiri seperti sekarang ini, kita menjadikan setiap ruang digital tempat kita bekerja, belajar, dan berinteraksi sebagai ruang perjuangan baru.
Mari kita coba jaga persatuan bukan hanya di dunia maya. Akan tetapi juga didunia nyata. Semoga bisa..*
Pemuda Katolik Titip Harapan untuk Keuskupan TNI-Polri
Polri Berikan Trauma Healing, Pulihkan Trauma Keluarga Korban SMAN 72 Jakarta
Ketum PP MPI Marsda TNI Purwoko Aji Prabowo,Melantik dan Mengukuhkan Pengprov MPI Nusa Tenggara Timur Periode 2025-2028
Korsabhara Baharkam Polri Melaksanakan Pelatihan PPGD,Cetak “Polisi Penolong” Guna Selamatkan Jiwa
Jasaraharja Putera Wujudkan Komitmen ESG Melalui Program Recycle Old Uniform
KI DKI Jakarta Evaluasi Hasil E-Monev 2025,Targetkan Badan Publik Kian Informatif
Delegasi Keuskupan TNI-Polri Dorong Rekonsiliasi dan Pelayanan Humanis Nasional
1.158 Lulusan Sekolah Inspektur Polisi Siap Bergerak di Lapangan Wujudkan Perubahan Nyata dan Pulihkan Kepercayaan Publik
Dari Kontroversi Aqua, Terbitlah Maklumat Salemba 2025
Forum Wartawan Kebangsaan Desak Revisi UU Pers: Perlindungan Wartawan Dinilai Lemah
Tanur Muthmainnah Tour Sukses Gelar Tanur Warriors Umroh Academy Akbar
Pengamat: “AFC Sarang Mafia, Wasit Jadi Boneka Timur Tengah!”
Diskusi Forum Wartawan Kebangsaan: Saatnya Pemerintah Prabowo Membenahi Dunia Pendidikan
Satgas Mafia Tanah ATR/BPN Turun ke Riau,Tuntaskan Kasus Tanah SHM 682
Soroti Kebijakan Menonaktifkan Kepala SMA Negri I Cimarga, DPD RI Ade Yuliasih Minta Dindikbud Pemprov Banten Upayakan Mediasi
Kota Depok Sabet Juara Umum di Kejurprov Inkai Jabar
PWI Pokja Jaksel Tanamkan Wawasan Kebangsaan dan Bahaya Narkoba di SMPN 267Jakarta
KI DKI Jakarta Tinjau Implementasi Zona Informatif di Kantah Kota Administrasi Jakarta Barat
Korsabhara Baharkam Polri Gelar Supervisi di Polda Maluku,Fokus Asistensi Dalmas,Tipiring, dan Pamobvit
Indramayu Panen Melon Premium, Bisa Petik Sendiri, Ini Lokasinya
Sarapan Subuh, ketan bumbu dan gemblong ketan
Gara-gara Covid-19 rela berbuat seperti ini
“Martabak Alul” kaki 5 yang melayani dengan berbagai jenis pembayaran
Nasi kebuli murah meriah di Bambu Apus
DIRGAHAYU TNI “SINERGI UNTUK NEGERI”
Sambutan Kapolda Metro dalam rangka Baksos Sembako 25 ton menyambut HUT ke-65 Lantas Bhayangkara
Sepenggal sejarah merah putih di tanah Papua
Pramuka Saka Wira Kartika Kodim 0505/JT bantu giat cek poin perbatasan
Ucapan Selamat Idul Fitri dari Letnan Jenderal TNI AD, Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Simak video ini soal test cepat Covid-19
Terpopuler
-
News2 months agoForum Wartawan Kebangsaan Kritik MBG
-
News1 week agoTanur Muthmainnah Tour Sukses Gelar Tanur Warriors Umroh Academy Akbar
-
News1 month agoForki Depok Raih Juara Umum di Sirkuit III Jabar 2025
-
News2 months agoKomandan Lanud Husein Sastranegara Dampingi Wakil Menteri LH Tinjau Dapur Sehat Anak Bangsa

