Kuliner

APIMA dan cerita Haji Dede

Published

on

Jakarta, koin24 – Kami menikmati makan malam yang mengesankan itu dengan nyaman. Hidangan yang tersaji di atas meja panjang hampir seluruhnya serba ikan. Udang dan cumi tersuguhkan dalam beragam varian. Ada juga beberapa jenis ikan yang baru kuketahui namanya. Tumis kangkung menjadi penyempurna.

“Bawa pulang saja kalau nanti tidak habis,” kata Haji Dede Arifin, tuan rumah. Silih berganti ikan, cumi dan udang hasil bakaran disajikan ke atas meja. Kami, dari jajaran pengurus PWI Provinsi DKI Jakarta, memintanya untuk disudahi. Sulit menghabiskannya pasti.

Ikan, cumi dan udang yang kami santap itu tangkapan dari para nelayan di lepas pantai Muara Angke. Semua hasil laut itu ditumpahkan dari kapal-kapal nelayan sejak sore, ke pelelangan. Aktivitas di pelelangan tak pernah sepi sepanjang malam. Juga dari mereka yang datang hanya untuk sekadar makan, yang tempatnya hanya sepelemparan batu dari pelelangan.

Seperti belasan “bule” di seberang tempat makan kami. Menyenangkan melihat mereka bersuka-cita. Botol-botol bir berserak di atas meja. Sebagian asyik menghirup sisha, menghembuskan asapnya bergulung-gulung ke udara.

Seluruh tempat makan di sini sebenarnya tak menyediakan minuman beralkohol. Juga sisha. Tapi, kata Haji Dede, tak ada larangan resmi dan tertulis. Lagi pula, selama ini cuma “bule” yang suka begitu. Membawa minuman seperti bir itu dari luar.

“Kalau orang kita baru minum sedikit sudah reseh. Cenderung mau bikin ribut,” celoteh Haji Dede.

Rasa aman dan nyaman itu menjadi jaminan dari pusat-pusat kuliner hasil laut di Muara Angke, Muara Karang dan Muara Baru. Ketiganya ada di wilayah Jakarta Utara. Tidak terpaut jauh jaraknya. Masing-masing ada pelelangan ikannya pula. Juga kelompok nelayannya. Kesamaannya, sebagian besar nelayan itu berasal dari Serang dan beberapa wilayah pesisir Banten, seperti Panimbang, Pandeglang, dan Bayah.

Haji Dede sendiri mengorganisir para nelayan di Muara Angke melalui Asosiasi Pedagang Ikan Muara Angke. APIMA. Himpunan dari para pedagang ikan di Muara Angke ini secara resmi baru terbentuk 2013 silam. Tak semua anggota APIMA melaut, menjadi nelayan. Termasuk Haji Dede, yang mengaku bukan “berdarah pelaut”.

APIMA, cerita Haji Dede, lebih berperan sebagai mediator atau fasilitator antara nelayan dengan pembeli. APIMA juga bisa mewadahi kepentingan nelayan dengan syahbandar, yang memiliki kewenangan atau otoritas atas pelabuhan. Juga dengan penguasa legalitas yang lebih tinggi, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Di Muara Angke, cerita Haji Dede yang “peranakan” Palembang dan Jakarta, jika di total ada sekitar 1000-an nelayan. Tapi, mayoritas sudah tak rutin melaut. Bukan pula karena terkendala kapal, rusak misalnya. Namun, lantaran terhambat teknis perizinan.

Legalitas untuk melaut tak semata-mata menjadi kewenangan dari syahbandar, instansi resmi dari KKP. Belakangan perlu juga rekomendasi dari pihak lain, semisal Polair.

Proses perizinan menjadi tidak sederhana jika sudah menyangkut spesifikasi teknis. Misalnya, dilihat dari aspek berat dan panjang kapal.

Apakah proses perizinan bisa lebih disederhanakan? Mungkinkah bisa satu pintu?

Berbagai permasalahan terkait proses perizinan dan mata rantai “pra produksi” itu sebenarnya tidak menjadi urusan legalitas formal APIMA. Peranan utama dan kunci dari APIMA lebih terkonsentrasi pada bagaimana para nelayan senang karena hasil melautnya habis. Akan tetapi, karena sehari-hari memang berinteraksi dengan mereka, Haji Dede dan para pengurus APIMA menjadi sangat paham dengan tuntutan kesejahteraan kehidupan para nelayan. Ada sinergi yang kemudian terjalin dan berkembang. Mengkoordinasikan iuran dan tabungan dari para nelayan, sebagai contoh.

Kata Haji Dede, jelang lebaran tahun lalu saja, dana tabungan yang dikeluarkan jumlahnya mencapai “M-an”. Belum lagi untuk pengeluaran tetap seperti pinjaman, yang jumlahnya variatif. Di luar itu, APIMA juga berinovasi mengadakan berbagai kegiatan yang sifatnya sosial dengan melibatkan keluarga nelayan.

Pemberian santunan kepada anak yatim piatu, juga rutin dilakukan. Donasi diminta dari 80-an anggota APIMA–yang 13 di antaranya pengurus inti.

Waktu terus bergerak, semakin larut. Haji Dede Arifin berjanji akan melanjutkan ceritanya pada kesempatan lain. (tb adhi)

Click to comment

Terpopuler

Exit mobile version