Hukum & Kriminal

Penyegaran Ahli Dewan Pers

Published

on

Foto ilustrasi bersama Agi Sugiyanto saat diskusi bisnis era digital, kejahatan dan ancamannya

Pagi ini pada WAG Dewan Pers ada pengumuman seperti ini.

Selamat Pagi Bapak / Ibu Ahli Pers Dewan Pers.

Memanfaatkan momentum Hari Pers Nasional, Dewan Pers akan mengadakan Penyegaran Ahli Pers pada 7 Februari 2020 di Banjarmasin, pukul 12.30 – 17.00.

Mengingat tempat yang terbatas, kami membatasi maksimal 20 peserta.

Dewan Pers tidak menyediakan tiket and akomodasi apapun (hanya menyediakan makan siang and 1x coffee break pada saat acara berlangsung).

Apabila Bapak / Ibu berkenan untuk hadir, mohon menghubungi Azza Zaqiah 081332037726.

Pertanyaan adalah materi apa yang akan disegarkan. Apakah materi UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) akan masuk kurikulum penyegaran.

Sebagaimana kita pahami pada 9 Februari 2019 di HPN Surabaya, Dewan Pers menetapkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) yang bersumber dari UU SPPA.

Selama ini pelatihan ahli pers belum pernah membahas kedudukan hukum UU SPPA yang lebih tinggi dari UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Apakah ini akan dibahas ?

Pemahaman ahli pers selama ini berpusat pada UU Pers dan KEJ saja. Padahal Dewan Pers sendiri secara tidak langsung sudah mengaku KEJ jadul, ketinggalan zaman.

Lahirnya Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) pada tahun 2011 jelas memberikan interupsi terhadap Pasal 1 dan Pasal 3 KEJ melalui Butir 2 PPMS.

Keberimbangan berita dan uji informasi (konfirmasi dan klarifikasi) yang wajib pada era cetak menjadi upaya atau usaha melakukan itu pada era media digital.

Selain Pasal 1 dan Pasal 3, Pasal 5 KEJ malah definisinya dikoreksi oleh Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). KEJ yang bersumber pada KUHP dikoreksi dengan UU SPPA.

Pasal 5 KEJ, mendefinisikan anak adalah mereka yang belum berusia 16 tahun dan belum menikah. Ini syarat kumulatif yang harus dipenuhi bila ingin disebut anak.

Sementara PPRA, definisikan anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun dan tidak membatalkan status anak meski sudah menikah bahkan punya anak pada usia anak.

Koreksi lain selain dari segi usia juga status anak. Pasal 5 KEJ hanya anak pelaku, sementara PPRA merahasiakan identitas baik anak pelaku, sebagai korban maupun saksi tindak pidana.

Delik Membuka Identitas Anak

Sejumlah wartawan bertanya kepada saya apa delik hukum membuka identitas anak ? Apakah hanya pelanggaran PPRA atau dapat dipidana.

Membuka identitas anak yang berhadapan dengan hukum pasca UU SPPA adalah perbuatan pidana namun deliknya aduan.

Itu artinya bila selama ini masih banyak media melanggar Pasal 19 namun belum dikenakan sanksi Pasal 97 UU SPPA karena belum diadukan oleh korbannya.

Legal standing dari pasal ini adalah anak yang dibuka identitasnya atau orang tua maupun walinya. Jadi legal standing bukan setiap orang tetapi orang yang menjadi korban.

Sedangkan PPRA yang dikeluarkan Dewan Pers legal standing pada setiap orang. Hal ini mengacu pada Pasal 17 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, mengenai peran serta masyarakat.

Namun berbeda dengan UU SPPA, PPRA sanksinya berbentuk teguran atau peringatan kepada media oleh Dewan Pers atas laporan masyarakat karena produk jurnalistik melanggar.

Namun seiring perkembangan zaman dan sosialiasi Hak Anak yang terus diberikan kepada masyarakat baik oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak maupun Pemda, kesadaran menggunakan UU SPPA akan tumbuh.

Media, harus waspada menghadapi persoalan hukum terkait identitas anak berhadapan dengan hukum, dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Apalagi Pasal 19 Jo Pasal 97 UU SPPA bisa mengancam reporter, redaksi dan penanggung jawab secara bersama berdasarkan Pasal 55 KUHP.

 

1 Comment

Terpopuler

Exit mobile version