Opini Redaksi Tamu

Tak ajukan Raperpu, menteri direshuffle?

Published

on

Oleh: Hendra J Kede

Jakarta, koin24.co.id – Reshuffle kabinet, jika benar akan dilakukan Presiden Jokowi, tidak saja mudah tapi nampaknya paling mudah dilaksanakan.

Tentu saja maksud dari pernyataan penulis di atas bukan dari sisi kewenangan Presiden. Konstitusi sudah memberi kewenangan penuh Presiden terkait wewenang itu.

Maksud penulis adalah dari sisi indikator yang akan digunakan Presiden untuk memutuskan seorang menteri layak atau tidak untuk diganti.

Karena Presiden Jokowi nampaknya cukup memakai satu indikator saja. Satu indikator yang lebih dari cukup sebagai alasan kuat mencopot menteri.

Indikatornya: Ada tidaknya sang Menteri mengusulkan Rancangan Perpu.

Kok bisa? Apa hubungan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang dengan reshuffle kabinet?

Menurut hemat penulis, bukan saja bisa, malah ada tidaknya Raperpu yang diajukan menteri tersebut, dalam pandangan Presiden, merupakan jantung bekerja tidaknya menteri selama hampir satu tahun belakangan ini.

Kok bisa?

Logikanya sederhana saja

Covid-19 ditetapkan WHO sebagai pandemi global.

Vaksin efektif untuk menjinakkan virus corona belum ditemukan.

Seluruh sendi kehidupan tidak ada yang luput dari dampak negatif Covid-19

Keadaan bisa kembali stabil hanya kalau penyebaran Covid-19 dapat dikendalikan dan yang terinveksi dapat diberikan vaksin yang efektif.

Pengendalian penyebaran Covid-19 yang paling efektif saat ini sangat tergantung pada tingkat kedisiplinan warga negara menjalankan protokol kesehatan Covid-19.

Dan sangat tergantung pada tingkat kemampuan warga negara secara maksimal menjalankan PODIS (Pencegahan Oleh Diri Sendiri) yang berbasis pada kelengkapan informasi segala aspek yang berkaitan dengan Covid-19 dan penyebarannya, butuh penerapan penuh prinsip-prinsip keterbukaan informasi, khususnya klaster Informasi Serta Merta.

Itu baru prasyarat untuk bisa memulai menstabilkan keadaan.

Sementara itu kehidupan tetap berjalan, artinya roda kehidupan dengan segala faktor pendukungnya tetap harus bergerak, sektor ekonomi dan pertanian misalnya. Ini tentu tanggung jawab pemerintah, khususnya menteri, untuk memastikannya aman, efektif, dan efisien selama masa pandemi masih berlangsung.

Untuk menggerakkan seluruh roda kehidupan tersebut agar seiring sejalan dengan penanganan penyebaran dan penanganan Covid-19, Presiden Jokowi sudah menetapkan landasan strateginya, bahkan landasan strategi yang menurut hemat penulis luar biasa berani dan luar biasa jitu.

Yaitu: seluruh anggota kabinet harus dan harus bekerja secara extraordinary

Apa itu bekerja extraordinary?

Menurut pemahaman penulis : merencanakan dan mengorganisir kerja di luar kerangka hukum positif yang sedang berlaku saat sebelum pandemi Covid-19 menyerang?

Kenapa begitu?

Karena seluruh norma hukum positif yang berlaku saat ini, tidak satupun yang dirumuskan dan diundangkan dengan kesadaran bahwa norma hukum positif tersebut dapat digunakan untuk menghadapi situasi pandemi Covid-19, bahkan sekedar terlintas di pikiran regulator juga tidak nampaknya.

Tapi itu wajar saja, pandemi terakhir yang menghantam hampir seluruh sendi sektor kehidupan dunia terjadi jauh sebelum Indonesia Merdeka, flu Spanyol tahun 1918.

Namun Presiden Jokowi juga tidak mengarahkan menteri untuk bekerja dengan melanggar hukum positif.

Terus bagaimana?

Di sinilah, menurut hemat penulis, titik kritis yang memerlukan pengubahan mendasar cara berfikir: Merencanakan dan mengorganisir perjalanan roda pemerintahan di kementerian di luar kerangka hukum positif yang sedang berlaku sebelum corona menyerang, namun tetap bekerja tanpa melanggar hukum positif.

Artinya…

Buatlah perencanaan sebebas mungkin tanpa terbelenggu oleh norma hukum positif yang sedang berlaku, yang penting rencana tersebut efektif untuk menanggulangi penyebaran virus corona dan menanganan segala dampaknya di semua sektor kehidupan.

Buatlah perencanaan sebebas mungkin sehingga segala sektor roda kehidupan sebagai negara bangsa tetap berjalan dengan baik.

Setelah itu…

Baru diidentifikasi, mana di antara rencana efektif tersebut yang bersesuaian dengan norma hukum positif yang sedang berlaku dan mana yang tidak bersesuaian.

Dengan pemahaman, baik agenda rencana kerja yang bersesuaian maupun yang tidak bersesuaian, keduanya tetap harus dijalankan. Toh keduanya sudah dipertumbangkan sebagai rencana kerja yang efektif dan efisien.

Bagi agenda rencana kerja yang tidak bersesuaian dengan hukum positif yang sedang berlaku maka bukan agenda rencana kerjanya yang diubah atau menyesuaikan, namun norma hukum positifnyalah yang diproses untuk diamandemen menyesuaikan dengan agenda rencana kerja yang sudah disusun.

Mengubahnya sesuai dengan level hirarki perundang-undangan di mana norma hukum positif itu berada. Kalau dalam Undang Undang maka bisa diubah dengan perubahan UU oleh Presiden bersama DPR atau oleh Presiden melalui Perpu. Kalau extraordinary ya lewat Perpu.

Kembali ke judul tulisan ini, pertanyaan penutupnya adalah apakah bisa disimpulkan menteri sudah bekerja secara extraordinary namun belum pernah mengajukan Rancangan Perpu kepada Presiden?

Feeling penulis, ada tidak adanya Reperpu yang diajukan menteri menjadi indikator yang sangat diperhatikan Presiden dalam memutuskan reshufle pertama masa kedua periode pemerintahan beliau.

Raperpu itulah ruh extraordinary. Raperpu itulah bukti menteri bekerja dengan aura krisis. Raperpu itulah bukti menteri tidak bekerja sekedar menjalankan rutinitas. Raperpu itulah bukti paling nyata kalau nenteri menjalankan perintah Presiden untuk bekerja secara extraordinary.

Dan tentu saja tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendorong para menteri mulai lembur tiap hari untuk menyusun Raperpu. (***)

Hendra J Kede
Ketua Bidang Hukum dan Legislasi PB KBPII / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI

Click to comment

Terpopuler

Exit mobile version