Jakarta, koin24.co.id – Kesehatan menjadi salah satu isu yang banyak mendapatkan perhatian dan dukungan dari pelaku filantropi. Dukungan filantropi ini sebenarnya bisa menjadi sumber daya alternatif untuk menopang pelayanan kesehatan dalam sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), khususnya melalui skema indirect cost. Sayangnya, besarnya dukungan filantropi untuk kesehatan ini belum didukung dengan kebijakan pemerintah dan insentif yang memadai, khususnya insentif perpajakan.
Hal tersebut yang mengemuka saat pemaparan hasil riset “Pemetaan Kegiatan Filantropi di Indonesia” pada acara Forum Nasional Filantropi Kesehatan yang digelar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM di Yogjakarta, Selasa siang (21/7). Riset ini merupakan kolaborasi Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM dengan Filantropi Indonesia.
Acara Forum Nasional ini tersebut menghadirkan dr. Jodi Visnu, MPH., (tim peneliti PKMK UGM) dan Hamid Abidin, M.Si., (Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia) sebagai pembicara. Sementara Pungkas Bahdjuri Ali, STP, MS, Ph.D., (Direktur Kesehatan dan Gizi Bappenas) dan dr.Untung Suseno, M.Kes., (Analis Kebijakan Ahli Utama Kementerian Kesehatan) tampil sebagai pembahas. Selain itu, acara yang berlangsung selama 2 hari ini juga diisi pemaparan mengenai filantropi kesehatan dari lembaga filantropi nasional dan internasional, pemerintah dan akademisi.
Dalam paparannya, dr. Jodi Visnu selaku peneliti menyatakan bahwa kesehatan merupakan salah satu isu atau program yang banyak didukung oleh pelaku filantropi. Tim peneliti mengidentifikasi 117 lembaga yang teridentifikasi sebagai pelaku filantropi kesehatan di Indonesia. Para pelaku filantropi kesehatan tersebut terdiri dari 41 korporasi, serta lembaga non-korporasi yang terbagi menjadi 15 lembaga yayasan korporasi, 5 lembaga berbasis keluarga, 16 lembaga berbasis keagamaan, dan 40 lembaga independen.
Dalam memberikan dukungan bagi sektor kesehatan, pelaku filantropi kesehatan itu berperan sebagai grantor (donatur atau penyumbang), intermediary (lembaga perantara), dan implementer (pelaksana program).
Menurut Jodi, pemerintah telah memiliki anggaran untuk kegiatan program promotif dan preventif di sektor kesehatan. Dalam program kuratif, pemerintah menanggung pembiayaan kebutuhan medis untuk kebutuhan dasar kesehatan yang disebut dengan direct cost. Hal ini secara detil diatur dalam peraturan pemerintah Indonesia yang telah bekerja sama dengan BPJS sejak tahun 2014.
Namun, pemerintah tidak menanggung biaya indirect cost dalam pelayanan kesehatan. Biaya tersebut adalah kebutuhan non-medis pasien, antara lain transportasi pasien rujukan lepas, biaya penunggu keluarga pasien, dan biaya rumah singgah pasien dalam antrean layanan di rumah sakit yang membutuhkan waktu beberapa hari. Bagi pasien yang tidak mampu, biaya ini dapat memberatkan dan berpotensi dalam menghalangi pasien untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Di sinilah filantropi bisa mendukung indirect cost sehingga bisa jadi penopang dan pendukung sistem JKN yang dikembangkan pemerintah” kata Jodi
Sementara, Hamid Abidin, Direktur Filantropi Indonesia, menyatakan bahwa kesehatan memang menjadi isu atau program yang banyak disupport oleh individu maupun lembaga filantropi, di samping program pendidikan, bencana, penyantunan dan pelayanan sosial. Hal itu juga tergambar dari besarnya jumlah sumbangan yang dialokasikan lembaga filantropi pendukung kesehatan, serta jumlah donasi yang berhasil digalang untuk program kesehatan. Juga tergambar dari dukungan masyarakat terhadap penanganan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia.
Hasil kajian Filantropi Indonesia menunjukkan sampai akhir Juni 2020 dukungan dana dari sektor filantropi untuk pandemi ini mencapai Rp905 milyar. “Pandemi Covid-19 akan memperkuat trend dukungan kepada sektor kesehatan sebagai orioritas utama filantropi untuk beberapa tahun mendatang,” kata Hamid.
Sayangnya, menurut Hamid, dukungan filantropi yang sangat besar terhadap sektor kesehatan ini tidak diimbangi dukungan kebijakan oleh pemerintah, salah satunya lewat insentif perpajakan. Hamid mengungkap bahwa sampai saat ini belum ada kebijakan insentif pajak untuk filantropi kesehatan. Kebijakan insentif pajak bagi sumbangan hanya berlaku bagi sumbangan keagamaan, bencana nasional, pendidikan, riset dan pengembangan, infrastruktur sosial dan olahraga. Karenanya, sampai saat ini sumbangan untuk kesehatan belum bisa dikecualikan sebagai objek pajak (tax exemption) dan belum bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak (tax deduction).
“Ini sungguh ironis mengingat kesehatan menjadi salah satu program prioritas nasional yang membutuhkan banyak dukungan atau sumbangan dari publik dan swasta,” kata Hamid. Selain insentif dalam bentuk tax incentives, Hamid berharap pemerintah juga bisa memberikan dukungan dalam bentuk kemudahan, dukungan data dan riset, serta apresiasi bagi pelaku filantropi kesehatan.
Menurutnya, pemerintah juga perlu mendukung donor education atau pendidikan kepada masyarakat agar menjadi penyumbang yang bijak dan terorganisir serta berorientasi jangka panjang. “Dengan donor education ini, pelaku filantropi tidak hanya mendukung program-program kesehatan yang sifatnya kuratif, tapi juga program-program yang sifatnya promotif dan preventif yang saat ini belum mendapatkan dukungan yang optimal,” katanya. (rls/***)
You must be logged in to post a comment Login