Jakarta, koin24.co.id – Cerita lama, update lagi setelah mengikuti virtual meeting Dewan Pers, Selasa kemarin.
Akhir tahun 1980-an Kelompok Wartawan Tebet (KWT) kerap membuat kegiatan sosial. Salah satunya sunatanmassal.
Ini adalah cerita masa lalu, puluhan tahun silam. Saat itu KWT memiliki kelebihan rezeki sekitar Rp 3 juta.
Ukuran saat itu dengan uang Rp 3 juta KWT bisa mengkhitan sekitar 20 anak. Biaya dan bingkisan untuk setiap anak sekitar Rp 150 ribu.
Pada masa itu, mulut mangap saja banyak yang mengamini. Ternyata sunatan itu banyak yang dukung dan mau ikut berpartisipasi.
Akhirnya dari rencana 20 orang malah terkumpul bisa untuk 200 anak. “Senang dan gembira tetapi kemudian bingung mencari pesertanya,” ujar Kamsul Hasan, Ketua KWT.
Salah seorang wartawan anggota KWT usulkan selain di Jakarta, sebagian dana dialirkan ke daerah. Anggota lainnya setuju dan daerah Gunung Bundar di Bogor menjadi pilihan.
“Peminatnya banyak dan sudah terdata. Persoalan untuk sementara selesai, ada jalan keluar, uang salurkan untuk titipan,” kenangnya.
Pada hari H, panitia dan tim medis datang ke lokasi beserta mobil unit khitan. Baru berjalan beberapa anak, sunatan massal itu terhenti.
Rupanya ada rumor yang beredar khitanan massal bila yang melakukan dokter bukan Muslim, shalatnya tidak diterima, bahkan tidak sah.
Tidak membahas kebenaran rumor itu, Kamsul malah bertanya dan mencari tahu tentang tradisi warga setempat bila khitan biasanya dengan siapa ?
“Akhirnya niat baik yang sempat tersendat itu berjalan lancar setelah saya datangi “bengkong” tukang sunat setempat untuk bekerja sama,” rincinya mengenang masa lalu.
“Kami salah. Kami tidak mempelajari kearifan lokal dan memikirkan nasib “bengkong” yang kehilangan mata pencaharian akibat sunatan massal lebih dari 100 anak,” ungkapnya lagi.
Cerita itu menjadi teringat kembali saat usai rapat dengan Dewan Pers soal UKW gratis untuk wartawan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia.
“Nah, kemarin saya mengikuti virtual meeting dengan Dewan Pers. Materinya terkait pelatihan pra UKW dan uji kompetensi wartawan. Ada niat baik tetapi untuk melakukan tidak mudah” tambah Kamsul Hasan yang kini Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat.
Ini juga gratis, seperti sunatan massal. Kegiatan akan dilakukan pada 34 provinsi dengan peserta 50 orang untuk pelatihan dan 54 orang UKW.
Jadi peserta UKW sebanyak 1.836 wartawan. Angka ini kecil bila dilihat dari jumlah wartawan yang belum sempat UKW atau belum kompeten.
Menurut data Dewan Pers jumlah wartawan di Indonesia sekitar 100 ribu orang. Sedangkan yang sudah UKW sekitar 15 persen atau 15.000 an orang.
Namun persoalannya menjadi rumit karena setiap lembaga uji harus membuat Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang isinya antara lain peserta per provinsi harus pas 54 orang.
Buat kota besar atau provinsi yang sudah maju tidak sulit. Namun daerah tertentu banyak calon tak memenuhi syarat, perusahaannya berbadan hukum pers Indonesia.
Apalagi bila disyaratkan selain berbadan hukum juga harus terverifikasi faktual, akan tambah sulit mencari peserta.
Persoalan lainnya tingkat kelulusan yang mencapai 98 persen atau maksimal hanya satu orang tidak kompeten. Target ini ditolak oleh rapat Tim UKW PWI !
Lembaga uji PWI hanya ingin menguji dan meluluskan peserta yang memenuhi syarat. Peraturan Dewan Pers sendiri mensyaratkan setiap mata uji minimal harus dapat nilai 70.
Lembaga uji lainnya juga masih pikir-pikir karena harus bertatap muka dengan 54 peserta dan sembilan penguji.
Itu artinya dalam satu ruang setidaknya ada 54 peserta dan sembilan penguji lalu sejumlah panitia.
AJI dan Tempo yang juga menjadi lembaga uji mempertimbangkan faktor Covid-19 dalam pengujian tatap muka dengan peserta banyak.
Sementara waktu pengujian mulai Februari sampai Juni 2020. Saat ini grafik Covid-19 sedang meningkat, sehingga berkumpul dalam jumlah besar perlu diwaspadai. (Red)
You must be logged in to post a comment Login