Jakarta, koin24.co.id – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjadi pembicara dalam Forum OECD ke-7 berjudul “Pembiayaan Hijau yang Memenuhi Isu Lingkungan di Negara Berkembang dengan Tantangan Covid-19” atau 7th OECD Forum on Green Finance and Investment “Green Recovery and Meeting Environment Objective in Developing Countries-Challenges from Covid-19 secara virtual di Jakarta, Jumat (10/10/2020).
“Bagaimana cara pembiayaannya terutama di masa ini dalam keadaan global sangat volatile dan sulit ini? Kita beruntung bahwa salah satu dari Green Bond kita diterbitkan di masa volatile ini, bisa mengumpulkan 715 juta Juni kemarin di titik terendah keadaan dunia dari pasar Green Global Bond,” ungkapnya.
Di waktu yang bersamaan, Indonesia juga bekerjasama dengan Bank Sentral (BI) untuk berbagi beban (burden sharing) dengan tetap menghormati independensi dan kebijakan moneternya dalam jangka panjang untuk mempertahankan kestabilan.
Pada sisi belanja, karena ancaman Covid-19 menyangkut keselamatan masyarakat, maka dijadikan prioritas pertama. Jadi, telah dialokasikan untuk merespons persebaran Covid-19 apakah dengan penyediaan rumah sakit, protective gear, tool kits, test kit dan lain-lain yang terkait Covid. Tapi Indonesia isu kesehatan tidak hanya tentang Covid, tapi juga Indonesia juga terus berupaya mengatasi stunting, TB (Tuberculosis) dan lain-lain.
Pada belanja sosial (bansos) sebagai belanja yang terbesar, karena 40% orang terbawah kehilangan pekerjaan jadi perlu diberi tambahan dukungan sosial. Itu adalah belanja yang harus segera diberikan.
Lalu, dengan agenda hijau terkait perubahan iklim yang biayanya berkejaran dengan penanganan Covid-19, Indonesia tidak membatalkan proyek infrastruktur hijau, tapi hanya menundanya saja karena dananya telah difokuskan ulang untuk belanja penanganan Covid-19.
“Green agenda of climate change apakah itu competing? Beberapa proyek infrastruktur telah ditunda karena kita mencoba memfokuskan ulang (refocus) belanja kita. Tapi bukan berarti kita batalkan (cancel). Kita menunda untuk memberikan ruang bernafas selama tahun fiskal ini terutama untuk belanja Covid dan dampaknya yang terbatas,” jelasnya.
Menkeu menjelaskan lebih jauh, untuk beberapa belanja yang bisa dipanjangkan maturitynya (jatuh temponya) di atas tahun 2020, maka mereka akan dilanjutkan di tahun 2021.
“Itu caranya kita mengelola trade-off fiskal terbatas sementara kita memprioritaskan penanganan Covid. Kita hanya menunda, bukan membatalkan. Karena menurut pengalaman kita saat krisis Asia tahun 1997-1998 atau krisis global 2008-2009, saat pemerintah membatalkan proyek, biaya jump start-nya (memulainya kembali) lebih besar. Jadi, kita minta ke K/L yang terkait penggunaan Green Financing, proyeknya agar bisa diperpanjang contohnya di awal bisa selesai dalam 12 bulan menjadi 24 bulan. Jadi itu akan tetap berjalan, tidak berhenti,” tegasnya.
Menkeu bahkan menjelaskan bahwa Indonesia punya tipe pembiayaan yang mengijinkan K/L punya proyek padat karya yang menciptakan lapangan kerja yang terkait agenda hijau. Contohnya menanam kembali hutan (reboisasi) sebagai salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
“Kita harapkan Indonesia bisa pulih. Jadi, kita mengarahkan beberapa pemulihan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja dan di waktu yang sama mengatasi isu lingkungan. Ini adalah semua area yang kita dorong terutama di kuarter terakhir tahun 2020 ini dalam mengatasi Covid dengan memaksimalkan fiskal yang terbatas sekaligus pembiayaannya. Kita menggunakan pembiayaan global dan pembiayaan dari Bank Sentral secara prudent. Lalu kita memberikan signal pada K/L dan Pemda bahwa mereka tetap bisa melanjutkan proyek atau aktivitas yang bisa memulihkan ekonomi mereka namun masih mengadopsi protokol kesehatan,” pungkasnya. (nr/ds/Sumber: Kemenkeu)
You must be logged in to post a comment Login