Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Kiprah jurnalis Muslim di era digital

Avatar

Published

on

Oleh Aat Surya Safaat*

Jakarta, koin24.co.id – Saat ini kita sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Era ini ditandai dengan masuknya teknologi digital dan internet di berbagai bidang kehidupan, baik di sektor ekonomi, bisnis, perbankan, dan infrastruktur, maupun informasi dan komunikasi.

Kemajuan teknologi informasi juga telah mendorong dunia jurnalistik masuk ke era konvergensi media, suatu era di mana perusahaan-perusahaan media besar membagi materi beritanya ke media cetak, media elektronik, dan media online yang dimiliki masing-masing dengan platform digital.

Konsekuensinya, saat ini informasi apapun seperti “melimpah”, tidak sulit dicari, dan murah. Informasi tidak lagi menjadi milik orang-orang kota, terpelajar, dan pemilik modal. Informasi telah menjadi milik semua orang tanpa batas wilayah dan status sosial.

Semua layanan informasi cepat saji itu membuktikan bahwa perkembangan teknologi informasi berlangsung sangat pesat, di mana hampir setiap bidang kehidupan saat ini banyak dipengaruhi oleh media massa dan media sosial seperti facebook, instagram, dan twitter. Begitu bangun tidur pagi-pagi, “sarapan” pertama adalah membaca pesan di media sosial, membaca koran online, atau menonton televisi.

Berangkat ke tempat kerja, di mobil mendengarkan berita-berita dan talkshow radio. Saat tiba di kantor, kegiatan pertama yang dilakukan adalah menyalakan komputer dan membuka situs-situs berita. Sambil bekerja, kadang ada WA atau SMS yang menginformasikan dari mulai jalan macet, unjuk rasa, sampai pesawat jatuh atau peristiwa-peristiwa penting lainnya.

Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan ”one wire world”, di mana orang hanya memerlukan satu alat berupa telpon selular untuk melakukan apa saja, dari sekedar bicara, mendengar radio, menonton TV, mengirim e-mail, bahkan sampai mentransfer uang.

Karenanya, dunia jurnalisme, termasuk di Indonesia pun mau tidak mau mengalami pergeseran secara mendasar serta menghasilkan apa yang disebut cyber journalism, online journalism, dan convergent journalism.

Islamophobia

Di tengah kemajuan teknologi informasi dengan sisi positif dan negatifnya, ternyata ada satu masalah krusial yang masih terkait media, yakni apa yang disebut “Islamophobia”. Islamophobia adalah ketakutan berlebihan yang tidak memiliki dasar berpikir kuat dan logis, bahkan dapat dikatakan mengada-ada tentang Islam.

Media massa Barat sering menggambarkan Islam sebagai agama yang penuh kekerasan, kebencian, egois, tidak toleran, dan membatasi pemeluknya dengan aturan-aturan yang ketat sehingga tidak memungkinkan adanya kebebasan.

Media massa di sana, dari koran, radio, televisi hingga media online secara kompak sering mempropagandakan anti-Islam melalui artikel dan karikatur-karikatur yang mendiskreditkan Islam. Denmark adalah negara yang dikenal kerap mempublikasikan karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW.

Di Belanda bahkan sempat ada partai politik yang secara resmi menyatakan anti-Islam. Partai politik tersebut dipimpin oleh seorang aktivis, Geert Wilders. Haluan politik Geert adalah kanan nasionalis yang liberal.

Geert dikenal sebagai seorang politikus anti-Islam dan anti-imigran. Pada 2008, ia bersama rekannya, Arnoud van Doorn membuat film pendek berjudul “Fitna” yang menyulut kontroversi.

Film itu berisi tentang pandangan yang miring mengenai Islam dan Al-Qur’an. Film yang menggemparkan dan menyulut kemarahan Dunia Islam itu dirilis di internet pada 27 Maret 2008.

Geert juga pernah menyuarakan usulan agar Pemerintah Belanda melarang peredaran Al-Qur’an di Belanda. Pria kelahiran 6 September 1963 itu mengaku tidak punya masalah dengan para pemeluk Islam, tetapi ia sangat membenci ideologi mereka (ajaran Islam).

Tetapi satu hal yang mengejutkan terjadi, rekan Geert, yakni Arnoud Van Doorn ternyata kemudian masuk Islam (menjadi mualaf), bahkan menunaikan ibadah Haji pada 2013 sebagaimana diberitakan Saudi Gazette pada 23 April 2013.

Ia diberitakan memantapkan langkahnya sebagai seorang muslim dengan mengunjungi makam Nabi Muhammad SAW di Madinah. Di sana ia melaksanakan shalat dan memohon maaf karena menjadi bagian dari film “Fitna” yang menghujat Islam dan Rasulullah.

Arnoud mengaku, kemarahan umat Islam yang mengutuk film Fitna yang dibuatnya bersama Geert Wilders “memaksanya” untuk mempelajari Islam yang kemudian menuntunnya pada hidayah, yakni Islam “Rakhmatan lila’lamin” (yang memberi rakhmat untuk sekalian alam).

Terkait Islamophobia di Eropa, terakhir ditunjukkan oleh pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Oktober 2020 yang menggambarkan Islam sebagai agama yang sedang mengalami krisis serta menuding Islam sebagai gerakan radikal dan teroris yang menjadi ancaman terhadap Perancis sejak 2012.

Presiden Prancis juga menyatakan tidak akan mencegah atau melarang penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Pernyataan Macron itu merupakan ungkapan intoleransi dan kebencian yang memalukan bagi kepala negara seperti Prancis, padahal jelas bukan ranah kepentingannya untuk mereformasi agama, apalagi Islam dimana Macron juga bukan seorang pemeluk Islam.

Sebagai pemimpin Prancis, Macron semestinya berbicara tentang Islam dengan rasa hormat, dan bukannya menghasut sebagian besar warganya dalam pidato yang tidak bertanggung jawab terhadap Islam dan agama lain, sekedar untuk memuaskan sekelompok fanatik di Prancis agar bersimpati kepadanya.

Penghinaan kepada Nabi Muhammad dalam karikatur itu sendiri bukanlah kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Sikap seperti itu dapat memicu gesekan yang meluas dan konflik horizontal di Prancis sebagai negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa.

Pembenaran tindakan penghinaan dengan kedok kebebasan pers dan kebebasan berekspresi merupakan kekeliruan pandangan tentang perbedaan antara hak asasi manusia dalam mendapatkan kebebasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan atas nama mendukung kebebasan.

Pernyataan Macron yang kontroversial itu menunjukkan sikap Islamophobia serta mempraktekkan kebencian dan diskriminasi terhadap umat Islam dan simbol-simbol yang disakralkannya, di mana hal itu juga merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Peran jurnalis Muslim

Kini ummat Islam, khususnya para jurnalis Muslim harus benar-benar menyadari bahwa mereka pun dapat memanfaatkan media massa di era digital ini untuk menghadapi propaganda anti-Islam.

Dalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagai jurnalis, mereka idealnya harus senantiasa berupaya meneladani sifat-sifat kenabian, yakni shiddiq (jujur), amanah (terpercaya), tablegh (menyampaikan kebenaran), dan fathonah (cerdas).

Para jurnalis Muslim tidak harus bekerja di lembaga pers yang jelas-jelas merupakan media Islam. Mereka dapat bekerja di lembaga pers manapun dengan tetap memegang teguh idealisme dan membawa nilai-nilai Islam dalam setiap karya jurnalistiknya, baik secara langsung (tersurat) maupun tidak langsung (tersirat).

Selain itu gerakan dakwah meng-counter Islamophobia dapat dilakukan melalui penulisan buku oleh para cendekiawan Muslim yang mengulas tentang potensi ajaran Islam untuk menyelesaikan problema manusia, sekaligus menjawab isu-isu miring tentang Islam.

Meski sebagian agenda dalam meng-counter propaganda anti Islam sudah dilakukan, upaya itu masih dirasakan belum cukup terkait sangat gencarnya propaganda luas Barat yang menyuarakan anti-Islam atau kebencian terhadap Islam.

Dalam hubungan ini, kendala utama media Islam adalah belum adanya koordinasi yang baik antar-media, sementara media-media massa di Barat bergerak secara kompak menyudutkan Islam.

Sebagai contoh, tidak lama setelah sebuah koran di Denmark mempublikasikan karikatur penistaan terhadap Rasulullah Muhammad SAW, koran-koran Barat lainnya melakukan hal yang sama.

Kendala lain yang dihadapi media-media Islam adalah kurang adanya sensitivitas dalam mendakwahkan Islam, padahal konsumen mereka adalah umat Islam sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang dianutnya.

Tetapi, bagaimanapun, media massa Islam dan para jurnalis Muslim di berbagai negara, termasuk di Indonesia sejatinya mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam menghadapi propaganda anti-Islam yang digembar-gemborkan media massa Barat.

Lebih dari itu, pada era digital ini, bukan hanya jurnalis Muslim, kalangan Islam berpendidikan tinggi pun dapat mempengaruhi opini dunia dengan menyiarkan nilai-nilai dan ajaran Islam secara terus menerus atau berkesinambungan.

Langkah strategis itu bisa dilakukan secara bersama-sama dengan memanfaatkan secara optimal semua saluran media massa dan media sosial di era digital ini. Dengan begitu Insya Allah ummat Islam akan sanggup menghadapi “ghazwul fikri” (perang pemikiran) dengan Dunia Barat.

Dalam hubungan ini, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kini menjadi Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada beberapa kesempatan mengemukakan, gerakan dakwah, termasuk melalui media massa harus dilakukan secara profesional dengan terus mengedepankan apa yang disebut “Islam Wasathiyah” (Islam moderat).

Islam Wasathiyah adalah keislaman jalan tengah (tawassuth), berkeseimbangan (tawazun), lurus dan tegas (i’tidal), toleransi (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura), berjiwa reformasi (islah), mendahulukan yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikar), dan berkeadaban (tadhabbur).

Maka, media Islam dan wartawan Muslim saat ini dituntut supaya pandai berinovasi dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi untuk menunjukkan bahwa mereka adalah wartawan profesional yang mampu mengikuti perkembangan zaman serta senantiasa mewarnai kiprah kesehariannya dengan nilai-nilai Islam Wasathiyah. (***)

*Penulis Aat Surya Safaat adalah Wartawan Senior/Wakil Sekretaris Komisi Infokom Majelis Ulama Indonesia (MUI)/Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI)/Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York Amerika (1993-1998).

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler