Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Menghukum dosen yang berpendapat

Avatar

Published

on

Sumber: antaranews.com

Jakarta, koin24 – Hari ini “saudaraku” Saiful Mahdi Ph.D dosen Universitas Syah Kuala Banda Aceh telah diputus bersalah oleh Majelis Hakim PN Banda Aceh. Dikatakan bahwa Saudara Saiful Mahdi, doktor alumni Cornell University Amerika Serikat dan S1 lulusan ITS Surabaya itu dinyatakan terbukti melakukan pencemaran nama baik dengan vonis 3 bulan penjara dan denda 10 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan.

Kalau kita cermati kasus ini, putusan Hakim persis sama dengan tuntutan jaksa yg “hanya berani” menuntut 3 bulan penjara, atau denda 10 juta, itu bisa dimaknai menunjukkan keragu-raguan pihak jaksa dalam menuntut. Karena kalau berdasar norma hukum yang dikenakan yaitu melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE sanksi hukumannya bisa sampai 4 tahun dan atau denda 750 juta. Artinya rumusan normanya cukup tinggi, jauh di atas tuntutan. Tapi kenyataannya tuntutan jaksa tak sampai 10% dari ancaman pidana dalam pasal. Kenapa jaksa menuntut ringan, besar kemungkinan setelah memperoleh bukti bukti dan keterangan ahli di persidangan, jaksa merasa “tidak yakin” dengan kebenaran penerapan hukum yang didakwakan. Tapi walaupun tidak terlalu yakin, jaksa juga tidak mungkin menihilkan atau membatalkan tuntutan. Karena persidangan sudah berjalan jauh, hingga berkali kali persidangan dan jadi perhatian publik. Tidak mungkin dakwaan dicabut dan tuntutan ditiadakan. Yang dilakukan adalah meminimalisir tuntutan, agar tim jaksa yang sudah membawa ke persidangan tidak kehilangan muka. Tapi terdakwa juga tidak dituntut terlalu jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum. Jadi penuntut umum mengambil jalan tengah, yaitu melakukan tuntutan minimalis, seringan mungkin.

Hal ini logis mengingat apa yg telah dilakukan saudara Dr. Saiful Mahdi memang bukan perbuatan pidana, bukan perbuatan mendistribusikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yg bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Coba kita simak kembali saat Saiful Mahdi kecewa melihat proses penerimaan dosen sebagai ASN di Fakultas Teknik yg diterima menurut dia justru bukan pendaftar yg terbaik. Maka diapun menyampaikan uneg unegnya, protes mengirimkan pesan ke WA group para dosen Syah Kuala, yg isinya sebagai berikut :

“Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?” “Gong Xi Fat Cai!!!” “Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen.” “Hanya para medioker atau yang terjerat ‘hutang’ yang takut meritokrasi.”

Saya tahu pendapat Saiful Mahdi bisa saja salah. Tapi Informasi elektronik yang dikirim Mahdi ke WhatsApp Grup (WAG) itu jelas tidak berunsur defamasi (pencemaran nama baik). Mahdi hanya mencurahkan unek-uneknya melalui tulisan yang memiliki tujuan dan perhatian terhadap dunia akademis, ke dalam grup tertutup yang anggotanya semua para dosen atau akademisi.

Menjadi aneh, tatkala kampus sebagai contoh komunitas terdidik yang menjunjung demokrasi menjadi begitu sensitif terhadap kritik dari civitas akademikanya sendiri. Padahal kritik, hingga debat di dunia akademik itu hal yang biasa. Berbeda pendapat secara tajam itu biasa. Ketika ada pendapat yang menyinggung atau menyakitkan itu hal yang lumrah. Kalau ada pendapat yg keliru, tinggal diluruskan, beri penjelasan. Cukup diselesaikan dengan adu pendapat dan informasi. Bukan dibawa ke pengadilan pidana.

Apa yang dilakukan Mahdi, sebenarnya merupakan suatu bagian dari kebebasan berpendapat, yang dijamin oleh pasal 28F UUD 1945. Isi pesan tersebut bukan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.

Menurut norma aslinya di KUHP, suatu informasi dikatakan bermuatan Penghinaan dan atau pencemaran nama baik, jika memenuhi unsur adanya perbuatan menuduhkan sesuatu hal pada seseorang atau pribadi hakiki (naturlijk persoon), bukan pada organisasi, ataupun kelompok orang. Dalam frasa yang ditulis Mahdi tidak ada nama atau identitas yang jelas yang menunjuk diri pribadi seseorang. Frasa “jajaran pimpinan” yang ditulis Mahdi itu tidak mengarah pada seseorang, atau pribadi dengan identitas yang jelas.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE itu bunyinya “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dalam penjelasan pasal tersebut, rumusan Penghinaan dan pencemaran nama baik itu pengertiannya mengacu pada delik pencemaran nama baik (pasal 310 KUHP) dan delik fitnah (pasal 311 KUHP).

Jadi unsurnya harus ada perbuatan yang disengaja menuduhkan suatu hal pada seseorang, dengan terang agar diketahui umum. Kalimat Saiful Mahdi itu jelas bukan menuduh, melainkan pendapat, atau pandangan pribadi dia terhadap suatu persoalan di Fakultas Teknik. Kalau menuduh, itu ada kalimat menunjuk pada seseorang yang dianggap melakukan perbuatan tercela. Dalam kalimat di atas tidak ada seseorang (pribadi) yg dituduh atau ditunjuk, apalagi difitnah. Kalau fitnah, pelaku sudah tahu, seseorang itu tidak melakukan perbuatan buruk, tapi pelaku tetap menuduhkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui. Kasus Dr. Saiful Mahdi tidak masuk dalam unsur KUHP pasal 310 maupun 311, juga tidak pula masuk melanggar UU ITE pasal 27 ayat (3).

Hukum itu tidak boleh meraba-raba, rumusan dan dasarnya harus jelas. Dalam perkara pidana tidak boleh pembuktian hanya berdasarkan perasaan. Misal berdasar perasaan, ini kayaknya saya yang diserang sama pak Saiful, enggak bisa seperti itu, nama identitas korban yang dituduh atau dicemarkan nama baiknya harus jelas. In criminimalibus probantiones bedent esse lucce clariores. Dalam perkara pidana, bukti bukti harus jelas atau lebih terang dari cahaya.

Apalagi kalau dilihat dari unsur lain yaitu “agar terang diketahui oleh umum” (310 KUHP). Dalam rumusan UU ITE, hal yg serupa terkait dengan perbuatan mendistribusikan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik oleh umum/publik. Mengirim ke grup dosen itu bukan umum dalam artian orang banyak yang terbuka. Kalau berniat, atau dengan sengaja agar diketahui umum, Saiful Mahdi harus dibuktikan ngirim pesan WA nya berkali kali, ke beberapa WA grup. Atau mengirim ke Medsos yg terbuka, yang bisa diakses orang banyak. Faktanya kan tidak demikian, tapi Mahdi hanya kirim satu pesan WA ke grup dosen yg tertutup. Justru kalau kemudian informasi elektronik itu nyebar kemana mana karena, diakui ada pihak yang ikut mengirimkan kembali ke pihak lain, atau mendistribusikannya. Dalam UU ITE yg menyebarkan itu justru yang terkena pasal mendistribusikan.

Belum lagi kalau mengikuti tradisi akademisi, seorang doktor, dosen yang aktif di kampus, pernah jadi ketua jurusan, dan senat universitas, apakah tidak punya hak menyampaikan keprihatinannya atau kritiknya di grup dosen di kampusnya sendiri? Kalau itu dibolehkan atau berhak, makin jauh saja dari perbuatan pidana ITE. Ini penting sebab masyarakat biasa saja oleh UUD dibolehkan dan berhak berpendapat atau mengkritik, apalagi seorang akademisi di kampusnya. Unsur berhak, tidak berhak, atau unsur melanggar norma itu adalah unsur utama penentu masuk tidaknya sebuah perbuatan transaksi elektronik ke dalam perbuatan pidana. Mengkritik atau berpendapat, itu bukan perbuatan melawan hukum. Tapi hak warga negara.

Sebenarnya duduk masalahnya jelas, saya sebagai saksi ahli yang terlibat dan tahu bagaimana UU ITE itu dirumuskan, dan direvisi, sudah menjelaskan di muka persidangan. Saya sudah jelaskan tentang rumusan dan unsur unsur pasal yang dituduhkan. Dan kesimpulannya juga jelas perbuatan saudara Saiful Mahdi tidak memenuhi unsur pelanggaran pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3).

Sayangnya majelis hakim mengabaikan penjelasan kami, dan tidak pula memperhitungkan mengapa jaksa menuntut sangat jauh dari norma sanksi yg ada di UU. Hakim memutus Saiful Mahdi bersalah dengan hukuman 3 bulan penjara atau denda 10 juta subsider kurungan sebulan. Hukuman yg dijatuhkan hakim sama persis dengan Tuntutan jaksa.

Sebenarnya dengan menerima keputusan itu lalu membayar denda 10 juta, kasus sudah selesai. Case closed. Tapi tentu pihak saudara Saiful Mahdi tidak bisa menerima begitu saja. Kalau menerima, berarti membenarkan bahwa mengkritik itu perbuatan salah dan pidana. Artinya pengadilan terhadap pendapat atau kritik ini akan jadi preseden buruk bagi dunia hukum Indonesia. Seakan orang mengkritik kebijakan kampus itu tidak boleh, mengkritik itu perbuatan kriminal yg bisa dipidana. Kalau putusan ini diterima, akan membenarkan bahwa pasal 28 UUD 45 bisa dikalahkan oleh UU ITE, padahal tidak demikian. Ini hanya persoalan interpretasi yg salah terhadap penerapan UU.

Walau sebenarnya dengan putusan itu cukup ringan, saya secara pribadi mendukung pihak Pak Saiful Mahdi untuk banding terhadap keputusan ini. Tujuannya bukan untuk kepentingan pribadi siapapun, toh dengan keputusan itu pak Saiful juga tidak ditahan, tapi ini untuk menegakkan kebenaran dan nama baik Indonesia. Jangan biarkan demokrasi Indonesia tercoreng dengan keputusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang mengadili kritik seorang akademisi terhadap situasi kampusnya. Mudah-mudahan para hakim di Pengadilan Tinggi lebih bisa melihat dengan jeli penerapan hukum pasal 27 ayat (3) UU ITE secara benar sesuai maksud ketika UU itu dibuat. Amin.

Untuk tulisan ini, saya berharap bisa viral atau minimal menyebar luas, agar bisa menjadi koreksi dan pemikiran. Bahwa sekarang ada persoalan di kalangan akademisi yang makin sensitif dan haus menghukum koleganya sendiri yang dianggap “tidak menyenangkan”. Serta ada persoalan di penegak hukum dan pengadil kita, yang enggan mendalami dan memahami aturan secara detail, khususnya dalam hal ini di Banda Aceh.

Semoga tulisan ini bisa menjadi penanda, pengingat dan koreksi terhadap persoalan yang tidak membanggakan ini. Amin YRA.

Penulis:
Prof. Dr. Henri Subiakto, SH, MA
Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler