Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Salah Samek #6: Pengendalian penyebaran vs pengendalian kematian

Avatar

Published

on

Jakarta, koin24 – Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan antara pengendalian penyebaran dengan pengendalian kematian akibat Virus Corona. Sama sekali tidak.

Namun jikapun dipertentangkan dan hanya salah satu (walaupun hanya terlihat seolah-olah) yang akan digunakan sebagai landasan dalam mengambil kebijakan penanganan Virus Corona ke depan. Itupun harusnya memerlukan kajian komprehensif dengan menggunakan prinsip-prinsip Keterbukaan Informasi Publik.

Resikonya ada pada masyarakat maka kebijakan tersebut diamanahkan konstitusi untuk pelibatan pastisipasi publik, transparansi/akuntabilitas, dan aksesibilitas.

Pasal 28F dan UU 14/2008 serta aturan turunannya menyatakan demikian.

***

Data per hari Kamis, 14 Mei 2020, pukul 12:00 WIB berdasarkan pengumuman resmi yang disampaikan Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Pengendalian Covid-19:

Pasien Positif Corona berjumlah 16.006,- (enam belas ribu enam) orang dengan penambahan dari hari sebelumnya sebanyak 568 (lima ratus enam puluh delapan) orang.

Pasien Dalam Pengawasan (PDP) berjumlah 33.672 (tiga puluh tiga ribu enam ratus tujuh puluh dua) orang dengan penambahan dari hari sebelumnya sebanyak 630 (enam ratus tiga pulu) orang.

Orang Dalam Pemantauan (ODP) berjumlah 258.639 (dua ratus lima puluh delapan ribu enam ratus tiga puluh sembilan) orang dengan penambahan dari hari sebelumnya sebanyak 2.340 (dua ribu tiga ratus empat puluh) orang.

Pasien sembuh berjumlah 3.518 (tiga ribu lima ratus delapan belas) orang dengan penambahan dari hari sebelumnya sebanyak 231 (dua ratus tiga puluh satu) orang.

Pasien meninggal dunia berjumlah 1.043 (seribu empat puluh tiga) orang dengan penambahan dari hari sebelumnya sebanyak 15 (lima belas) orang. Tanpa dijelaskan bagaimana dengan orang meninggal yang dimakamkan dengan Protap Covid-19.

Semua data tersebar di 34 provinsi dan 373 Kabulaten/Kota di seluruh pelosok Indonesia. Dari kota besar sampai desa terpencil. Dari daerah yang kuat insfrastruktur kesehatannya sampai yang sangat minim.

Data tersebut dari hasil pemeriksaan terhadap 169.195 (seratus enam puluh sembilan ribu seratus sembilan puluh lima) spesimen di 68 (enam puluh delapan) laboratorium yang berasal dari 127.813 (seratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus tiga belas) orang.

Itu angka yang mampu dites. Tidak mampu penulis membayangkan angka-angkanya jika Indonesia mampu melakukan tes kepada semua orang potensial tertular, entah berapa hasilnya yang keluar.

Kesimpulan sementara penulis, walaupun jumlah yang meninggal menurun, jumlah sembuh naik, namun jumlah terinfeksi meningkat, bahkan jumlah sembuh digabung dengan jumlah meninggal harian hanya 41,55% dari jumlah penambahan harian Pasien Positif Corona.

Itu dari data resmi. Kalau data yang tidak terdata dimasukan, kesimpulannya bagaimana?

Ya penulis ndak tahu, kita berharap saja tidak ada data yang tidak terdata itu…..

Tapi kan masih ada istilah Orang Terinfeksi namun Tidak Jujur sehingga menularkan ke orang lain seperti yang disampaikan Pak Yuri, Jubir Gugus Tugas…. bukanlah itu artinya…. data tidak terdatanya itu….. logisnya : ada

***

Penulis tidak habis pikir bagaimana basis logikanya sehingga angka kematian di bawah 15% dari kelompok orang berumur 45 tahun ke bawah digunakan sebagai dasar untuk mengambil kebijakan boleh tidaknya kembali beraktifitas.

Itu kan logika resiko kematian terhadap kelompok umur tersebut.

Bagaimana dengan basis logika resiko ketertularan mereka dan bagaimana basis logika resiko mereka sebagai penular pasca tertular?

Berapa datanya, persentase dari kelompok umur di bawah 45 tahun itu yang potensial tertular sebagai Pasien Positif, PDP, ODP dan sebagai penular?

Pertanyaan lebih serius dan mengerikan adalah berapa persen Orang Tanpa Gejala (OTG) dari kelompok umur di bawah 45 tahun ini?

Bukankah kelompok umur inilah yang sangat potensial sebagai OTG?

Masih muda, daya tahan tubuh tinggi, aktifitas fisik memadai, makan masih selera tinggi, jarang berpenyakit rentan (darah tinggi, diabetes, jantung, dan lain lain).

Namun tidak ada jaminan Virus Corona tidak bisa masuk ke dalam tubuh mereka. Mereka sama mudahnya dimasukin Virus Corona dengan kelompok umur manapun.

Mereka mungkin tidak sampai menjadi pasien karena faktor muda dan daya tahan tubuh yang prima. Namun toh Gugus Tugas Covid-19 mendifinisikan OTG itu adalah penular paling berbahaya?

Tidak bergejala, terlihat sehat, namun pembawa Virus Corona. Walaupun tidak sampai jadi pasien, namun tetap sebagai penular aktif kepada sekelilingnya?

Apakah ada jaminan kalau di rumah kelompok umur 45 tahun ke bawah ini tidak ada orang yang rentan tertular dan berujung jadi pasien?

Kelompok umur 45 tahun ke bawah sehat-sehat saja. Namun bukankah orang sekitar yang rentan dan tertular dari mereka malah bisa babak belur?

Lihatlah foto-foto commuterline dan Bandara Soekarno-Hatta setelah pelonggaran transportasi umum kemarin yang penuh sesak. Situasi ideal orang menjadi OTG dan penular setelah sampai di lingkungan lain kan?

***

Dua hari lalu penulis dapat kiriman grafik penyebaran Infuenza Pandemic 1918 dari salah seorang Begawan Wartawan Indonesia, Bapak Parni Hadi, disertai keterangan yang nampaknya beliau juga hanya men-forward :

“Belajar dr sejarah SpanishFlue 1918 yg mati 50 juta. Hati2 *Second Wave* mengambil nyawa terbanyak karena manusia lepas dari lockdown langsung pesta2 & gathering saat immune tubuhnya rendah paska lockdown pertama sehingga lockdown berikutnya dilakukan tapi korban sudah tertalu banyak”

***

Sebagai seorang Muslim penulis mempercayai sepenuhnya kalau ajal dan umur itu sudah ditentukan semenjak dari dalam kandungan. Tapi toh tetap ada do’a minta panjang umur, dengan segala tafsirnya?

Sebagai orang beriman penulis juga mempercayai bahwa dapat tidaknya hidup secara sehat, sudah didelegasikan Allah SWT sebagai bagian dari hukum alam yang berbasis ikhtiar, berbasis usaha anak manusia, walaupun tetap ada konsep takdir.

***

Jangan sampai kita baru menyesal saat korban Virus Corona sudah bertumbangan pada saat fase “Secon Wave” karena adanya kekeliruan penanganan saat fase “First Wave”. Kekeliruan inilah yang mengakibatkan 50.000.000,- (lima puluh juta) orang meninggal tahun 1918-1919.

Apalagi ke depan, besar kemungkinan banyak masyarakat tidak mampu melakukan perlindungan kesehatan diri dan keluarga secara memadai karena tidak lagi mampu membayar jaminan BPJS Kesehatan akibat beratnya beban ekomoni sebagai dampak serangan Virus Corona….

…. dan akibat-akibat lainnya…. naiknya iuran BPJS Kesehatan misalnya….

Penulis:
Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Infornasi Pusat RI

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler