Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Studi sosial keterbukaan informasi Covid-19 sebagai uji kepentingan publik

Avatar

Published

on

Jakarta, koin24 -Hasil sebuah penelitian diumumkan, Jum’at, 27 Maret 2020, oleh Tim Panel Sosial Untuk Kebencanaan.

Tim terdiri dari lembaga-lembaga yang tidak diragukan kapasitas dan kapabilitasnya dalam dunia penelitian, tidak saja berkelas nasional bahkan berkelas internasional.

Tidak diragukan keilmuan dan pemahaman Tim tersebut dalam metodologi penelitian. Tidak diragukan keilmuan, pemahaman, dan kemampuannya dalam merumuskan instrumen penelitian. Tidak diragukan keilmuan dan pemahamannya dalam mengambil kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Dan jauh di atas itu semua, tidak diragukan kejujuran dan etika keilmuan lembaga-lembaga tersebut dalam bidang penelitian.

Satu lagi, tidak diragukan keberpihakan lembaga-lembaga tersebut pada upaya penanggulangan penyebaran Virus Corona demi melindungi seluruh tumpah darah rakyat Indonesia.

Mari perhatikan Tim Panel Sosial Untuk Kebencanaan yang melakukan penelitian melalui survey tersebut : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia, dan Politeknik Statistika (STIS).

Bila dilihat dari sisi UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008) lembaga anggota tim tersebut merupakan Badan Publik Negara kecuali Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia sebagai Badan Publik Non Negara.

UI, ITB, dan UGM bahkan merupakan Badan Publik yang menurut hasil Monitoring dan Evaluasi (Monev) Keterbukaan Informasi yang diselenggarakan oleh Komisi Informasi Pusat Tahun 2019 merupakan Badan Publik klaster Informatif (tertinggi). Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan penelitian melalui survey online ini dilaksanakan oleh Badan Publik yang sangat berkompeten dalam bidang dan telah melaksanakan prinsip-prinsip Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana diamanatkan Pasal 28F UUD NRI 1945 dan UU 14/2008 dan peraturan pelaksanaanya.

Apalagi penelitian dengan jelas menggunakan terminologi : Keterbukaan Informasi Covid-19

Jumlah responden yang ikut berpartisipasi juga sangat besar, 15.101 (Lima belas ribu seratus satu) responden, walaupun setelah dilakukan verifikasi oleh peneliti jumlah sampel yang digunakan untuk membuat kesimpulan dan rekomendasi adalah 12.061 (Dua belas ribu enam puluh satu) sampel. Bandingkan dengan survey saat Pemilu Legislatif dan Pilpres yang jumlah sampelnya hanya kisaran 1.200,- (Seribu dua ratus) sampai 3.000,- (Tiga ribu) namun dapat memotret realitas sesungguhnya.

Sebanyak 78% responden terdapat di pulau Jawa sebanding dengan prosentase jumlah Pasien Positif Corona. Namun demikian sebaran sampel berasal dari seluruh pulau besar di Indonesia, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Sampel terbesar : bekerja di luar rumah (65%), jenis kelamin perempuan (65%), usia produktif 21-50 tahun (85%), pendidikan Diploma, Sarjana, Pascasarjana (86%).

Hasil utama Penelitian

Pertama. Sebanyak 61, 2% responden SETUJU nama pasien positif terinveksi Corona dibuka untuk publik;

Kedua. Sebanyak 65,8% responden SETUJU publikasi alamat pasien Corona dengan menyebutkan RT/RW di mana pasien tinggal;

Ketiga. Sebanyak 97,2% responden berpendapat PERLU untuk mempublikasikan riwayat perjalanan pasien Corona dengan 56,1% memilih opsi 14 (empat belas) terakhir riwayat perjalanan.

Rekomendasi Penelitian

Pertama. Alamat pasien COVID-19 perlu dibuka hingga tingkat RT/RW. Namun, perlu ada langkah-langkah edukasi yang diberikan kepada masyarakat: 1) Apa urgensi dari membuka alamat pasien COVID-19; 2) Apa tindakan yang sesuai/tidak sesuai secara hukum dan sosial dengan diketahuinya alamat pasien COVID-19;

Kedua. Sebelum dilakukan pembukaan informasi tentang nama pasien COVID-19 perlunya menentukan prasyarat/kondisi yang harus dipenuhi agar informasi tersebut tepat guna untuk tujuan mengendalikan laju penularan COVID-19.

Ketiga. Perlunya keterbukaan informasi mengenai riwayat perjalanan pasien, khususnya untuk Pulau Jawa agar meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat.
Suatu proses untuk menilai bagaimana kepentingan publik terhadap suatu informasi.

Keterbatasan : Survei dilakukan secara online, sehingga muncul kecenderungan mayoritas responden adalah orang kota dan berpendidikan tinggi.

Uji Kepentingan Publik

Rezim keterbukaan informasi pasca Amandemen UUD NRI 1945 yang melahirkan Pasal 28F dan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik beserta peraturan turunannya mengenal instrumen Uji Kepentingan Publik, di samping Uji Konsekuensi.

Uji Konsekuensi didifinisikan sebagai serangkaian proses yang dilaksanakan oleh dan tidak terbatas Badan Publik Negara untuk menguji apakah sebuah informasi memenuhi kriteria untuk Dikecualikan (baca : Ditutup) karena bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

Di sini jelas bahwa mengecualikan (baca : Menutup) informasi semata-mata adalah untuk melindungi kepentingan umum yang lebih besar dari pada membukanya. Sehingga untuk itu dapat dan atau perlu dilakukan Uji Kepentingan Publik atas sebuah informasi.

Uji Kepentingan Publik merupakan serangkaian proses untuk menguji dan mengambil kesimpulan, termasuk dan tidak terbatas terhadap informasi yang sudah Dikecualikan (baca : Ditutup) sekalipun karena adanya perkembangan dinamika yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang berkaitan langsung dengan kepentingan dan keselamatan publik.

Semisal dan tidak terbatas pada perkembangan adanya Pandemi Corona yang laju penyebaran dan tingkat kebahayaannya bagi masyarakat sudah pada level Pandemi, di atas Endemi dan Wabah.

Uji Kepentingan Publik berbeda dengan Uji Konsekuensi yang hanya merupakan kewenangan Badan Publik yang menguasai informasi yang dapat melaksanakannya. Uji Kepentingan Publik dapat dilaksanakan oleh siapapun dan lembaga manapun, termasuk Komisi Informasi. Sifatnya dapat berupa keputusan maupun rekomendasi.

Terkait dengan Pandemi Corona maka Uji Kepentingan Publik dapat dimulai dengan dan tidak terbatas pada menjawab beberapa pertanyaan pokok sebagai berikut :

Pertama. Bagaimana perlindungan kepentingan dan keselamatan publik jika dikaitkan dengan nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona?;

Kedua. Apakah publik memiliki kepentingan langsung untuk melindungi diri, keluarga, dan lingkungannya terkait dengan informasi nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona? ;

Ketiga. Apakah publik memiliki kepentingan langsung atas informasi nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona namun bukan merupakan kepentingan yang signifikan?;

Keempat. Apakah publik sangat berkepentingan dengan informasi nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona namun kepentingan tersebut tidak dalam posisi membahayakan publik?;

Kelima. Apakah publik sangat berkepentingan dengan informasi nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona karena publik terancam kepentingan dan keselamatanya jika informasi tersebut tidak diberikan kepada publik?;

Keenam. Apakah nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona sangat mendesak dibutuhkan publik untuk melindungi kepentingan dan keselamatan publik sebagai Informasi Serta Merta?;

Ketujuh dan terakhir. Apakah membuka nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona sangat berhubungan langsung dengan usahan untuk menahan laju penyebaran Virus Corona yang sudah pada level Pandemi demi melindungi kepentingan dan
keselamatan masyarakat luas?.

Atas 7 (tujuh) pertanyaan di atas Penulis berpendapat bahwa Uji Kepentingan Publik dalam situasi Pandemi Corona ini perlu dilaksanakan sesegera mungkin terutama dan tidak terbatas atas informasi nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona. Pendapat Penulis didasari pada pemahaman bahwa laju penularan Virus Corona sudah sedemikian masifnya dan sulit dikendalikan. Pencegahan Oleh Diri Sendiri (PODIS) merupakan lengkah utama dan sangat stategis dalam menahan laju penyebaran Virus Corona. PODIS hanya dan hanya bisa dilaksanakan oleh masyarakat luas jika dan hanya jika masyarakat luas diberitahu informasi sumber-sumber utama penyebaran Virus Corona. Nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona adalah merupakan sumber informasi utaman tersebut.

Hasil Tim Panel Sosial Untuk Kebencanaan

Apakah Tim Panel Sosial Untuk Kebencanaan memiliki kapasitas untuk melakukan Uji Kepentingan Publik?

Apakah Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Panel Sosial Untuk Kebencanaan yang memfokuskan untuk memotret pandangan masyarakat terkait nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien terpapar Virus Corona masuk kategori Uji Kepentingan Publik dan dapat dimaknai untuk menggambarkan Kepentingan Publik sehingga dapat digunakan?

Penulis berpendapat Tim Sosial Untuk Kebencanaan yang terdiri dari beberapa Badan Publik Negara dan satu Badan Piblik Non Negara, bahkan salah satunya adalah Badan Nasional Penanggulangan Benacana (BNPB) yang diberi kewenangan oleh Presiden untuk memimpin Gugus Tugas Pengendalian Virus Corona, tidak saja memiliki hak dan kapasitas untuk melakukan Uji Kepentingan Publik bahkan sangat berkepentingan dan memiliki kewenangan langsung untuk melakukan Uji Kepentingan Publik.

Penulis berpendapat hasil penelitian tersebut secara metodologi keilmuan, kewenangan, dan kepentingan dapat dimaknai dan disimpulkan sebagai Kepentingan Publik yaitu terkait informasi nama, alamat, dan riwayat perjalanan pasien Corona, sampai ada penelitian lain yang dapat dipertanggungjawabkan yang menyimpulkan sebaliknya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Panel Sosial Untuk Kebencanaan merupakan dan dapat dimaknai sebagai Hasil Uji Kepentingan Publik atas informasi nama, alamat sampai RT/RW dan riwayat perjalanan pasien Corona sehingga dapat digunakan dan dijadikan dasar serta landasan membuat kebijakan publik.

Sehingga dengan demikian maka kesimpulan yang berbasis pada hukum positif yang berpendapat bahwa nama, alamat sampai RT/RW, dan riwayat perjalanan pasien Corona merupakan Informasi Yang Dikecualikan (baca : ditutup) dapat dikesampingkan oleh pengambil keputusan dengan menggunakan hasil penelitian ini sebagai hasil Uji Kepentingan Publik untuk membangun kerangka basis argumentasi adanya kepentingan dan keselamatan publik yang lebih besar yang harus dilindungi.

Apalah lagi jika belum ada Surat Keputusan Penetapan oleh Badan Publik yang menetapkan nama, alamat sampai RT/RW, dan riwayat perjalanan pasien Corona sebagai Informasi Yang Dikecualikan, maka hasil penelitian ini yang dapat dipandang sebagai Hasil Uji Kepentingan Publik, dapat digunakan sebagai dasar oleh Badan Publik untuk tidak Mengecualikan Informasi terkait nama, alamat sampai RT/RW, dan riwayat perjalanan pasien Corona.

Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang berwenang membuka dan seberapa lama berlakunya hasil Uji Kepentingan Publik ini?

Penulis berpendapat bahwa melihat rekomendasi penelitian dan adanya kemungkinan potensi dampak negatif dari membuka nama, alamat sampai RT/RW, dan riwayat perjalanan pasien Corona maka yang memiliki kewenangan membuka haruslah sangat ketat dan perlu dipastikan bahwa membukanya setelah melakukan pertimbangan komperhensif, dan hanya berlaku untuk masa selama Pandemi Corona berlaku dan belum dicabut oleh pihak berwenang.

Membuka ketiga informasi tersebut tidaklah dapat dilakukan dengan cara pukul rata namun haruslah ‘case by case’, dengan melakukan kajian kasus per kasus, dan membuka kepada publik berdasarkan hasil kajian kasus per kasus teraebut.

Pada skala nasional membuka nama, alamat sampai RT/RW, dan riwayat perjalanan pasien Corona sebaiknya hanya bisa dilakukan oleh Presiden dan atau pejabat yang ditunjuk Presiden;

Pada skala Provinsi sebaiknya hanya bisa dilakukan oleh Gubernur dan atau pejabat yang ditunjuk Gubernur;

Pada tingkat Kabupaten/Kota sebaiknya hanya bisa dilakukan oleh Bupati/Wali Kota dan atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati/Wali Kota.

Sebaiknya hanya tiga pejabat tersebut dan tidak lebih yang dapat membuka dan mengumumkan kepada publik terkait nama, alamat sampai RT/RW, dan riwayat perjalan pasien Corona. Bahkan dokter yang menangani pasien dan tenaga medis sekalipun, kecuali sebatas untuk kepentingan medis dan untuk menjaga keselamatan dokter dan tenaga medis, sebaiknya tidak diberi kewenangan untuk membuka dan mengumumkannya.

Hal ini semata dengan mempertimbangkan dan mengikuti rezim Keterbukaan Informasi bahwa Komisi Informasi berada pada tingkat nasional dan bertanggungjawab kepada Presiden, tingkat provinsi dan bertanggungjawab kepada Gubermur, dan jika diperlukan dapat dibentuk pada tingkat Kabupaten/Kota dan bertanggung jawab kepada Bupati/Wali Kota.

Dan tentu saja tidak boleh diabaikan sama sekali dan harus dipatuhi secara ketat bahwa Gubernur perlu berkonsultasi dengan Presiden dan atau pejabat yang ditunjuk oleh Presiden sebagai Gugus Tugas Pengendalian Corona tingkat nasional, dan Bupati/Wali Kota perlu berkonsultasi dengan Gubernur dan atau pejabat yang ditunjuk oleh Gubermur sebagai Gugus Tugas Pengendalian Corona tingkat Provinsi.

Mari kita semua berdo’a pada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, semoga laju penyebaran Pandemi Corona segera bisa dikendalikan dan bisa hilang sesegera mungkin dari bumi ibu pertiwi yang sangat kita cintai ini, dan seluruh rakyat Indonesia terbebas dari Virus Corona, sehingga kita sebagai negara bangsa kita dapat fokus membangun mewujudkan negara bangsa Indonesia pemimpin dunia, negara bangsa yang baldatun toyibatun wa robbun ghofur, negara bangsa yang gemah ripah loh jinawi, sebagai warisan terbaik bagi anak cucu kita, Allahumma amiin.

Penulis:
Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler