Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Tipuan rapid test

Avatar

Published

on

Oleh: Hendra J Kede

Jakarta, koin24.co.id – Sebelum naik pesawat rapid test. Sebelum naik kerta api rapid test. Sebelum ketemu pejabat penting rapid test. Sebelum masuk gedung perkantoran rapid test. Sebelum rapat dan acara yang melibatkan banyak orang rapid test

Pokoknya serba rapid test. Dan itu terjadi di mana-mana dan amat sering sekali.

Kalau hasil rapid test non reaktif boleh lanjut naik pesawat, boleh lanjut naik kereta api, boleh langsung ketemu pejabat, boleh ikut rapat, boleh ikut acara….. seketika itu juga.

Bahkan tidak sedikit yang rapid test sebelum dan sesudah sebuah even yang lebih dari sehari.

Dan berfikir bahwa siapapun yang hasil rapid testnya non reaktif persis sebelum acara berarti bebas Covid-19 dan siapapun yang hasilnya non reaktif pascaacara berlangsung berarti tidak tertular Covid-19 selama pelaksanaan acara.

Cara pandang seperti inilah yang penulis maksud dengan judul di atas. Cara pandang yang tanpa sengaja telah menipu diri sendiri tentang rapid test dan hubungannya dengan ketertularan virus corona. Walaupun tidak sadar sedang tertipu oleh dirinya sendiri.

Akibatnya tidak saja pada diri sendiri namun juga pada keluarga dan lingkungan. Entah lingkungan tinggal maupun lingkungan kerja. Peluang semua orang di sekitar menjadi meningkat tertular virus corona. Apalagi sekarang keluarga pun sudah jadi klaster penularan.

Kok bisa sudut pandang tentang rapid test seperti itu penulis bilang sebagai tipuan rapid test? Tertipu oleh cara pandangnya sendiri?

Penjelasannya sebenarnya sederhana saja. Bisa ditelusuri dari penjelasan tentang apa itu rapid test.

Pertanyaan pertama adalah apakah rapid test itu untuk mendeteksi ada atau tidaknya virus corona dalam tubuh seseorang?.

Bukan tho?.

Kalau untuk mendeteksi ada atau tidak adanya virus corona dalam tubuh seseorang namanya Swab, Test PCR.

Terus rapid test untuk apa?

Rapid test untuk mendeteksi apakah ada muncul antibody dalam diri seseorang. Antibody itu akan muncul untuk melawan dan menjinakkan sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dan itu berbahaya bagi kesehatan tubuh kalau tidak dijinakkan, seperti adanya virus masuk ke dalam tubuh seseorang.

Antibody itulah yang akan menjinakkan virus berbahaya yang masuk kedalam tubuh seseorang tersebut. Kalau antibodynya mampu menjinakkannya maka seseorang tidak jadi sakit. Kalau antibody tidak mampu menjinakan, bahkan malah dijinakan, jadilah seseorang itu sakit.

Kalau reaktif berarti ada antibody yang terbentuk. Kalau non reaktif berarti tidak atau belum ada antibody yang terbentuk.

Namun jangan salah pemahaman dulu, hasil non reaktif hasil rapid-test itu bukan berarti tidak ada virus corona dalam tubuh seseorang saat rapid test dilaksanakan. Bukan berarti seseorang bebas virus corona.

Kok bisa begitu? Jawabannya, karena antibody itu baru muncul dan baru bisa dideteksi oleh rapid test setelah 7 (tujuh) hari seseorang terpapar virus corona.

Berarti bisa saja seseorang terpapar virus corona dan menularkannya kepada siapapun, termasuk kepada anak, suami, dan istrinya, padahal hasil rapid-testnya non reaktif? ‘Bisa banget mas bro, mbak sis. Bisa buaaangeeettt’.

Kan bisa saja seseorang itu terinfeksi virus corona dalam 6 (enam) hari terakhir dan karenanya antibody belum terbentuk. Karena antibody belum terbentuk maka hasil rapid test non reaktif. Padahal dalam tubuhnya sudah berkembang biak virus corona selama 6 (enam) hari itu dan selama itu pula menularkannya kepada orang sekitar, termasuk keluarganya.

Kalaupun mau dipaksakan mengatakan seseorang bebas virus corona karena hasil rapid test non reaktif, ya bebas virus corona 7 (tujuh) hari yang lalu, bukan bebas virus corona saat rapid test dilaksanakan.

Bagaimana dengan orang yang hasil rapid testnya reaktif, apakah berarti seseorang itu positif terpapar virus Corona? Belum tentu juga.

Kan bisa saja antibody yang terdeteksi merupakan antibody untuk melawan dan menjinakan virus lain, bukan virus corona. Misal virus flu biasa. Maka untuk memastikannya diperlukan Swab, Test PCR, test yang dikhususkan untuk mendeteksi ada tidaknya virus corona dalam tubuh seseorang pada saat test dilaksanakan, real time.

Terus harus bagaimana?.

Mulai sekarang, siapapun, apalagi pengambil keputusan, seperti pengambil keputusan siapa yang boleh terbang dan tidak boleh terbang, dan pengambil keputusan lainnya, harus mengkoreksi cara pandang tentang hasil rapid test.

Mengubah cara pandang dari yang secara tidak sadar telah menipu diri sendiri, yaitu cara pandang bahwa hasil non reaktif rapid test berarti bebas virus corona real time dan karenanya pasti tidak menjadi sumber penyebar dan penular virus corona pada orang sekitarnya, terutama pada teman seperjalanan atau teman satu kegiatan, kepada cara pandang bahwa non reaktif itu berarti bebas virus corona 7 (tujuh) hari lalu.

Mengubah ke cara pandang bahwa seseorang yang hasil rapid testnya non reaktif bisa saja sudah tertular virus corona dalam 6 (enam) hari terakhir dan karenanya menjadi penular aktif kepada sekitarnya, termasuk keluarga inti, kepada teman seperjalanan dan teman satu kegiatan.

Selama sudut pandangnya masih yang lama bahwa seseorang yang hasil rapid testnya non reaktif maka seseorang itu bebas virus corona dan oleh sebab itu boleh. Misalnya, terbang dengan pesawat komersial, maka selama itu pula seseorang tertipu oleh rapid test. Tertipu oleh cara pandanya sendiri tentang rapid test.

Dan sudut pandang seperti itu amat sangat berbahaya sekali bagi dirinya dan bagi orang lain di sekitarnya. Teramat sangat berbahaya bagi usaha penanggulangan dan penyebaran virus corona di tanah air tercinta.

Selama sudut pandang seperti itu masih dijadikan landasan dalam mengambil keputusan maka selama itu pula penyebaran virus corona makin tidak terkendali dan berpotensi akan menimbulkan klaster-klaster baru di masa depan. Seperti klaster pesawat terbang, klaster kereta apai, dan lain sebagainya.

Saat ini Indonesia sudah 22 (dua puluh dua) tahun berada dalam Rezim Keterbukaan Informasi Publik, yaitu semenjak ditetapkan amandemen UUD NRI 1945 yang memunculkan pasal 28F dan kemudian disusul dengan lahirnya UU 14/2008 dan PP Nomor 61 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Terkait topik ini, Rezim Keterbukaan Informasi Publik ini mewajibkan kepada seluruh badan publik dan pejabatnya untuk memastikan informasi tentang rapid test ini sampai dan dipahami dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat. Hak Azazi dan Hak Konstitusional masyarakat untuk mendapatkan informasi dan pemahaman yang benar tentang rapid test ini.

Bagi pejabat yang mengambil keputusan yang salah tentang hal ini sehingga dengan keputusannya tersebut mengakibatkan masyarakat terpapar virus corona dapat diproses pidana sesuai UU 14 Tahun 2008 tersebut karena tidak memberikan informasi yang salah atau setidak-tidaknya lalai sehingga memberikan informasi yang disalah pahami masyarakat.

Bagi pejabat yang bertindak atas pemahaman yang salah tentang sebuah informasi, dalam hal ini informasi tentang rapid test, tentu lebih berat lagi hukuman pidanya karena menimbulkan kerugian pada orang lain, kerugian berupa terpapar virus corona.

Penulis mengimbau Badan Publik Negara dan Badan Publik Non Negara untuk memberikan informasi dan pemahaman yang benar tentang rapid test ini pada masyarakat. Penulis juga mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk meluruskan pemahamannya tentang rapid test ini. Sehingga dengan demikian penyebaran virus corona dapat dikendalikan dan masyarakat dapat secara maksimal menjalankan Pencegahan Oleh Diri Sendiri (PODIS).

Dan dengan demikian, pada akhirnya, kita sebagai negara bangsa bisa kembali fokus berusaha sekuat tenaga dan bahu membahu, bergotong royong, mewujudkan Indonesia Empat Besar Kekuatan Ekonomi Dunia pada tahun 2045 sebagaimana sudah digariskan Presiden Joko Widodo.

Semoga virus corona segera berlalu dari bumi pertiwi, Allahumma amiin.

Terima kasih.

Penulis:
Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Infomasi Pusat RI

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler