Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Berebut mengaransemen “kebenaran”

Avatar

Published

on

Oleh: Amir Machmud NS

Semarang, Jawa Tengah, koin24.co.id – Menjadi milik siapakah sesungguhnya kebenaran?

Ungkapan tutorial Journalism 101 dari Sally Claire yang hari-hari ini beredar di sejumlah platform media sosial menarik kita simak, “If someone says it’s dry and another person says it’s dry, it’s not your job to quote them both. Your job is to look out of the fucking window and find out which is true”.

“Kebenaran” (dalam tanda kutip) sering diperebutkan oleh perseorangan atau yang merepresentasikan lembaga untuk membangun kepercayaan di ruang publik. Istilah lazim yang kita kenal: menguasai opini publik.

Kebenaran sejati bukan sekadar “kebenaran”. “Kebenaran” merupakan produk penggiringan sudut pandang yang telah terbingkai (framing), kemasan dari pilihan diksi untuk membentuk narasi tertentu, atau produk aransemen kronologi sebuah kejadian. Kita mengenalnya sebagai versi, atau pernyataan yang dijejalkan menurut cara pandang siapa dan untuk apa.

Contoh penjejalan keyakinan lewat penyampaian “kebenaran” itu, misalnya terasa dari pemberitaan insiden tewasnya enam anggota Laskar Pembela Islam (LPI) pengawal Rizieq Shihab, skandal Djoko Tjandra yang melibatkan sejumlah aparat hukum, buron kasus korupsi Harun Masiku, pelaporan sejumlah kasus penistaan para tokoh dan yang bukan tokoh melalui transaksi elektronik, juga “perang persepsi” tentang pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan dan kerumunan massa pada masa pandemi Covid-19.

Contoh-contoh tersebut menjadi bagian dari kemelut informasi publik yang membuat masyarakat bertanya-tanya: apa yang sesungguhnya terjadi, dan informasi mana yang bisa dipercaya?

Media acapkali dihadapkan pada kondisi anomali, dan hanya menyajikan dua sisi informasi (dua versi), tanpa mampu meyakinkan masyarakat mana yang sejatinya benar. Maka yang paling aman ditempuh (terkadang dengan keraguan) lazimnya adalah memuat kedua versi tersebut. Tentu, kecuali apabila media memilih sikap menginvestigasi sendiri duduk perkara isu publik tersebut; yang dalam istilah Sally Claire “melihat lewat jendela untuk menemukan mana yang benar”.

Maka tepatlah ketika Dewan Kehormatan PWI Pusat juga mendorong wartawan menelusuri dan menginvestigasi kasus kematian enam anggota LPI dalam insiden di Km 50 Jalan Tol Jakartta – Cikampek, 7 Desember 2020. Ketua DP Ilham Bintang menilai pernyataan itu perlu untuk mengurangi keraguan wartawan dan media dalam menginvestigasi peristiwa tersebut.

Tugas jurnalistik untuk menyampaikan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan pada segi-segi tertentu bakal menatap realitas adanya pertarungan kepentingan dalam berebut ruang publik. Yang tersampaikan melalui media mainstream dan media sosial hanya “kebenaran yang sudah diaransemen”.

Hampir di sepanjang 2020, ruang publik dipenuhsesaki oleh berbagai kepentingan yang berebut saling menyampaikan kebenaran menurut versi masing-masing. Tiap pihak menjustifikasi pernyataan dan langkahnya mengatasnamakan tujuan kepentingan rakyat. Perebutan ruang itu diperkuat oleh penggalangan opini masif para buzzer, termasuk dalam memanfaatkan rubrik komentar di portal-portal berita. Konsekuensinya, dalam isu-isu publik tertentu kita makin sulit menyimpulkan mana hal yang benar dan mana hal yang tidak benar.

Altar Suci Kewartawanan

Mari kembali ke kredo “kebenaran jurnalistik”. Di tengah ketidakpastian “kebenaran”, mekanisme standar dalam produksi informasi merupakan altar suci kewartawanan. Inilah mahkota jalan jurnalistik, prosedur yang mutlak harus ditempuh agar produk infiormasi kita tetap berada di jalur akuntabilitas. Moralitas jalan itu merupakan pengejawantahan etika jurnalistik.

Di tengah banalitas pertarungan “kebenaran”, wartawan dan media makin dituntut untuk mampu menyampaikan kebenaran. Secara sederhana, alur mekanisme itu ditempuh melalui proses-proses berjurnalistik yang akuntabel. Sedangkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan diperoleh dari kemauan menjalankan verifikasi secara disiplin terhadap ucapan, pernyataan, dan fakta-fakta. Termasuk memverifikasi cuitan di Twitter, status di Facebook, Instastory di Instagram, juga unggahan-unggahan melalui platform Yutube.

Lewat mekanisme seperti itulah wartawan dan media bisa memberi kontribusi dalam mengawal kebenaran, mengurai keraguan baik di internal media sendiri maupun untuk kepentingan kepublikan.

Sepanjang 2020, sebagai refleksi kondisi dari tahun-tahun sebelumnya, media dihadapkan pada rivalitas kekuasaan yang menjadikan ruang publik sebagai ajang membangun opini. Realitasnya, aransemen-aransemen “kebenaran” itu — dalam format mencitrakan dan aksen memojokkan — tak terlepas dari proyeksi kontestasi 2024.

Siapa yang memenangi perebutan “kebenaran”? Mereka yang punya akses ke sumberdaya kekuasaan dan sumberdaya ekonomi kuat? Lalu ke mana hati nurani yang masih tersisa di newsroom media?

Siapa pun yang bisa mengendalikan opini, tentulah tidak serta merta berhak mengklaim kebenaran. Bukankah pada sisi lain masyarakat juga makin kritis dalam menilai kesimpulan, pernyataan, maupun penjejalan opini yang secara masif digiring oleh para buzzer?

Ada titik yang seharusnya disikapi secara kritis. Yakni, seperti apa “status” kebenaran yang diklaim oleh pihak-pihak tertentu dalam sebuah isu publik? Inilah yang seharusnya mendorong media untuk meyakinkan ikhtiar menemukan kebenaran.

Jika hanya memuat pernyataan, baik perseorangan maupun yang mengatasnamakan lembaga, lalu tidak memverifikasinya secara indepth atau investigatif, media bisa terjebak dalam frame berpikir mereka yang menjejalkan opininya. Apalagi sekarang ada influencer dan buzzer yang masif menyemburkan pembelaan dan pencitraan kepada pihak tertentu.

Tugas Organisasi Wartawan

Menyampaikan kebenaran dalam isu-isu publik merupakan tugas standar wartawan dan media. Bahkan telah menjadi tugas sejak jurnalisme itu ada. Hanya, realitas proyeksi kontestasi politik, perkembangan teknologi informasi, dan kehendak manusia untuk survive melalui “profesi-profesi seperti buzzer” membentuk dinamika baru dalam pengelolaan penyampaian kebenaran. Keyakinan menyampaikan kebenaran, bukan sekadar “kebenaran”, di dalamnya memuat tanggung jawab etis media.

Media harus melakukan cek fakta, sehingga peran yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pers yakni melayani masyarakat dengan menyampaikan informasi, memberi edukasi, menghibur, dan melakukan fungsi kontrol sosial dapat berjalan on the track.

Kemampuan untuk menyampaikan kebenaran, pada sisi lain sering dibayangi oleh ancaman kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Laporan-laporan terjadinya kekerasan dan intimidasi dari peliputan demonstrasi penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law, dan sebagainya menunjukkan bahwa perlindungan kepada wartawan dalam menjalankan tugas belum dipahami sebagai “tanggung jawab bersama” elemen-elemen masyarakat yang membutuhkan informasi dan mengawal pencerdasan kehidupan bangsa.

PWI, sebagai saah satu organisasi profesi kewartawanan, di semua level kepengurusan baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota, dituntut punya ikhtiar sistematis untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi anggotanya. Peningkatan profesionalitas itu antara lain ditempuh melalui penyelenggaraan intensif Uji Kompetensi Wartawan (UKW), jaminan advokasi dan perlindungan baik fisik maupun hukum, serta ikhtiar-ikhtiar yang terkait dengan kesejahteraan.

Dengan peta tantangan di tengah banalitas perebutan ruang publik, kemampuan komprehensif wartawan baik secara teknis maupun etis, tidak bisa lagi ditawar-tawar. Dibutuhkan adaptasi total ke kemampuan dan sikap multiplatform, sehingga makin cerdas membaca kecenderungan perebutan ruang publik yang menggunakan aneka platform media sosial.

Pada 2021 sudah terproyeksikan tugas lanjutan media untuk mengawal isu-isu publik, khususnya di seputar pengendalian pandemi Covid-19. Peliputan akan berfokus pada penggunaan vaksin, keadilan distribusinya, evaluasi pelaksanaannya, perkembangan penanganan pasien positif, disiplin protokol kesehatan, adaptasi perilaku baru, serta pengawalan bantuan sosial yang pada 2020 terbukti diselewengkan.

Fokus liputan itu menuntut intensitas pemosisian wartawan dalam tugas profesinya, yang menggambarkan tanggung jawab sosial untuk bangsa. Menyajikan kebenaran merupakan mahkota profesi ini. (***)

Penulis:
Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah.

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler