Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Sekeluarga mendayung menerobos amukan badai Covid-19 #3 : Beratnya beban memberitahu istri dan kedua anakku

Avatar

Published

on

Oleh : Hendra J Kede

Jakarta, koin24.co.id – Mulai seri ketiga tulisan ini, istri dan kedua anak penulis yang masih berumur 14 tahun dan 8 tahun mulai terlibat secara langsung. Baik terlibat pikiran, perasaan, maupun beban psikologis dalam pergumulan kekuarga kami menghadapi realitas bahwa penulis terkonfirmasi positif Covid-19.

Dan selang beberapa minggu kemudian, ketiga orang yang paling penulis sayangi dan cintai tersebut juga terkonfirmasi positif Covid-19 pasca penulis dinyatakan sembuh.

Itulah alasan penulis menambahkan kata “Sekeluarga” di depan judul di atas mulai seri tulisan ini dan untuk seterusnya.

***

Terhitung November 2017 penulis tinggal di Jakarta. Tepatnya semenjak penulis dilantik sebagai Komisioner Komisi Informasi Pusat periode 2017-2021. Sementara istri dan kedua anak tetap tinggal di Wonogiri, Jawa Tengah.

Keputusan tentang istri dan anak-anak untuk tidak ikut ke Jakarta diambil setelah kami mempertimbangkan bahwa istri bestatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemkab Wonogiri dan pilihan kami bahwa anak-anak akan dibesarkan dalam salah satu budaya Indonesia, bukan budaya metropolitan.

Dan juga setelah mempertimbangkan optimalisasi waktu kami bersama anak-anak dalam keseharian akan lebih optimal jika istri dan anak-anak tetap di Wonogiri.

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia tentu saja ikut mempengaruhi pola komunikasi, model kekhawatiran, dan materi perbincangan kami dari waktu ke waktu, termasuk pola rutinitas mudik penulis.

Hampir setiap hari istri mengingatkan penulis untuk secara ketat menjaga protokol kesehatan. Begitu juga sebaliknya, hampir setiap saat penulis memastikan istri dan anak-anak untuk memperbanyak makan-makanan rumah dan meminimalisir jajan di luar.

Pada saat penulis terkonfirmasi positif Covid-19, praktis sudah hampir 3 (tiga) bulan penulis tidak mudik ke Wonogiri. Sehingga dapat dipastikan istri dan kedua anak penulis tidak tertular dari penulis.

***

Pembaca tentu sudah bisa membayangkan beratnya beban pikiran dan beban psikologis penulis saat hendak memberitahu istri dan kedua anak penulis kalau hasil swab PCR mengkonfirmasi penulis positif Covid-19, padahal baru sehari sebelumnya penulis memberitahu mereka kalau hasil rapid test penulis non-reaktif.

Dan pada waktu bersamaan penulis juga harus memberitahu berita kedua yang tidak kalah beratnya kepada mereka yaitu tentang Mak Adang di Sumatera Barat yang baru saja meninggal dunia di rumah sakit setelah dirawat sekian lama karena suatu penyakit, sebagai kelanjutan perawatan beliau setelah dinyatakan negatif dari Covid-19.

Teramat sulit bagi penulis untuk meyakinkan diri penulis bahwa kedua berita tersebut tidak akan saling mempengaruhi beban pikiran dan beban psikologis istri dan kedua anak penulis.

Berita kematian anggota keluarga yang awal masuknya ke rumah sakit karena terkonfirmasi positif Covid-19, walaupun wafat saat sudah negatif dan akibat sakit lain, bersamaan dengan berita suami dan ayah mereka akan dirawat di rumah sakit karena baru saja terkonfirmasi positif Covid-19 datang secara bersamaan.

Penulis sendiri secara manusiawi terpengaruh oleh dua berita tersebut. Tidak tahu sebesar apa pengaruhnya pada penulis, namun bayangan akan berakhirnya hidup penulis di dunia ini dalam beberapa hari ke depan karena positif Covid-19 tetap saja ada.

Istri yang aktif dalam Persatuan Ahli Farmasi (PAFI) sebagai Sekretaris Kabupaten Wonogiri tentu lebih paham dari penulis kalau belum ada obat yang efektif dan efisien yang sudah teruji untuk menangani Covid-19. Jangankan obat, vaksin saja belum ada di seluruh dunia.

Istri tentu lebih paham lagi bagaimana meningkatnya resiko bagi pasien positif Covid-19 dengan status cormobid seperti penulis.

Apalagi saat penulis dinyatakan positif Covid-19 diawali dengan batuk-batuk dan penurunan selera makan.

Tentu pengetahuan itu, menurut perkiraan penulis, akan berpengaruh dan berdampak pada pemikiran dan psikologis istri. Hal yang boleh jadi akan membuat pikiran menjadi liar berfikir ke mana-mana sampai pada keadaan terjelek : meninggal dunia, harus dimakamkan di Jakarta, dan dimakamkan menggunakan protokol Covid-19.

Segala hal berkecamuk dalam pikiran penulis yang penulis yakini pasti akan menjadi beban pikiran istri juga setelah mengetahui penulis positif Covid-19 nantinya. Dan pada batas tertentu juga akan menjadi beban pemikiran kedua anak penulis.

Bagaimana istri seorang diri akan membesarkan anak-anak. Bagaimana beban bathin anak-anak tumbuh sebagai yatim sebagaimana pengalaman empirik penulis sebagai anak yatim. Bagaimana istri akan menanggulangi hutang piutang keluarga kami.

Bahkan sempat sekilas tersirat keinginan untuk tidak memberitahu mereka, nanti diberitahu setelah perawatan saja. Namun muncul lagi pemikiran lain: iya kalau sehat, kalau keluar rumah sakit sudah wafat? Bukankah mendapat informasi seperti itu lebih berbahaya bagi istri dan anak-anak?

***

Penulis menyampaikan kedua berita tersebut melalui video call kepada istri setelah memastikan anak-anak tidak berada di samping istri. Setelah memastikan ada orang dewasa lain yang dikenal di sekitar istri.

Pilihan video call, bukan telpon atau pesan tulis, agar istri melihat secara langsung keadaan penulis. Melihat langsung bahwa penulis secara fisik terlihat baik-baik saja. Sehingga saat penulis menyampaikan berita terkonfirmasi positif Covid-19 kami bisa meyakini kalau penulis masuk level ringan, paling berat level menuju sedang. Sehingga sedikit banyak alan meminimalisir dampak berita negatif informasi tersebut kepada istri.

Penulis ingin mendiskusikan dengan istri bagaimana memberitahu anak-anak. Tidak bisa anak-anak diberitahu tanpa melihat dahulu situasi anak-anak. Anak-anak hanya akan diberitahu pada saat mereka kami nilai siap untuk menerima informasi ini.

Penulis memastikan ada orang dewasa di sekitar istri saat penulis memberitahu istri untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, seperti istri lemas atau bahkan pingsan.

***

Alhandulillah, istri penulis begitu kuat dan tegarnya menerima informasi penulis positif Covid-19. Tidak sampai terduduk lemas apalagi pingsan. Walaupun terlihat jelas bagaimana perubahan air wajah istri penulis saat penulis selesai memberitahu kalau penulis terkonfirmasi positif Covid-19.

Istri nampak sudah mengantisipasi jika sewaktu-waktu akan menerima informasi seperti ini. Istri sangat nampak berusaha sekuat tenaga untuk tegar dan kuat. Istri mencoba memberi semangat kepada penulis untuk tabah dan semangat untuk sembuh. Dan penulis….. sekuat tenaga berusaha untuk tidak meneteskan air mata….

Tidak bisa penulis pungkiri, saat itu terbayang saat-saat penulis bertemu istri sebelum penulis ke Jakarta dan terbayang bisa jadi itulah pertemuan terakhir dengan perempuan yang begitu penulis cintai. Perempuan yang sudah penulis kenal dari semester 3 (tiga) saat penulis kuliah dulu. Perempuan yang sudah mendampingi penulis sebagai istri selama 15 (lima belas) belas terakhir dalam susah dan senang. Perempuan yang telah memberikan dua anak-anak yang begitu menyenangkan hati penulis.

***

Kami memutuskan anak-anak akan diberitahu. Istri secara pelan-pelan akan mencari waktu dan cara yang tepat untuk memberitahu anak-anak.

Menurut kami, sudah saatnya juga anak-anak mulai mendapat pelajaran kehidupan dengan mengetahui informasi tentang ayah mereka yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Memberitahu informasi ini kami pandang baik bagi mereka dalam belajar memahami realitas kehidupan. Baik bagi proses berlatih perkembangan kejiwaan mereka.

Menyembunyikan informasi ini dan jika terjadi hal yang tidak diinginkan tentang hasil perawatan penulis, kami pandang akan berdampak kurang baik bagi mereka dalam jangka panjang.

Penulis ingat bagaimana saat penulis pergi merantau setamat MAN dulu ke Jogja, ternyata Ayah penulis sebulan kemudian jatuh sakit. Sakit panjang sampai akhirnya meninggal 6 (enam) bulan kemudian. Dan penulis tidak pernah diberitahu. Penulis meyakini keputusan Ayah dan Ibu tidak memberitahu penulis dengan maksud baik dan karena cintanya mereka kepada penulis. Namun sampai saat ini, jika penulis teringat itu, kadang terfikirkan seandainya penulis tahu ayah sakit, mungkin beliau bisa sembuh karena untaian do’a penulis untuk kesembuhannya.

***

Akhirnya penulis bisa video call dengan anak-anak setelah diberitahu istri kalau anak-anak sudah mengetahui kondisi penulis.

Anak pertama (14 tahun, perempuan) nampak begitu berusaha untuk tegar. Dan berusaha menyembunyikan kegelisahan hatinya. Kalimat “Semoga cepat sembuh yah..” masih sangat jelas intonasi suaranya terekam dalam pikiran penulis, bahkan sampai saat ini.

Anak kedua (8 tahun, laki-laki) semalam video call berusaha tertawa dan ceria, dan berusaha membuat tingkah lucu. Kepada Ibunya dia bercerita kalau dia akan menghibur Ayah. Dan begitulah cara dia menghibur ayahnya.

Setelah selesai video call, tentu saja penulis tidak bisa lagi membendung air mata dan bermunajad pada Allah SWT, Tuhan Yang Maka Pengasih dan Maha Penyayang.

Terima kasih ya Allah telah memberiku istri dan anak-anak seperti mereka.

Istriku, anak perempuanku, dan anak lanangku. Mereka bertigalah yang menjadi tonggak awal penulis untuk menguatkan tekad berusaha untuk sembuh dan memenangkan perang melawan Covid-19 yang telah menyerang tubuh penulis ini.

Bismillah…..

Bersambung…..

Penulis:
Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler