Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Ketidakmampuan melacak dan stigma tidak jujur

Avatar

Published

on

Jakarta, koin24 – Setiap pilihan itu ada konsekuensinya, baik positif maupun negatif, itu sudah sunnatullah, sudah hukum alam.

Sebaik-baik pilihan tentunya adalah pilihan yang konsekuensi positifnya lebih besar daripada konsekuensi negatifnya.

Sebaik-baik pilihan tentunya adalah pililihan yang sudah teridentifikasi konsekuensi positif dan negatifnya itu.

Sebaik-baik pilihan tentunya adalah pilihan yang konsekuensi negatifnya sudah diantisipasi dengan baik, dan kalaupun terjadi sudah ada mekanisme untuk mensikapinya.

Sehingga saat konsekuensi dari sebuah pilihan muncul ke permukaan maka seyogyanya disikapi sebagai sebuah konsekuensi semata dan tinggal menjalankan prosedur antisipasi yang sudah disiapkan.

Amatlah kurang bijak apabila saat konsekuensi logis negatif dari sebuah pilihan muncul, kemudian yang dilakukan adalah menyalah-nyalahkan pihak lain.

***

Hukum alam tersebut lebih-lebih harus disadari betul pada saat keadaan darurat, seperti keadaan darurat kesehatan dan darurat kebencanaan Pandemi Corona yang melanda dunia seperti saat sekarang ini.

Keterbatasan waktu, kecepatan pensikapan, dan ketepatan penanganan menjadi sangat penting. Sedikit kesalahan saja dalam mengambil pilihan akan sangat fatal akibatnya. Sedikit waktu saja terlewatkan akan sangat serius implikasinya.

Tidak ada waktu untuk mengkambing-hitamkan pihak lain. Tidak ada waktu untuk menyalah-nyalahkan pihak lain. Apalagi jika pihak lain tersebut pada dasarnya adalah korban juga.

***

Plihannya yang sudah diambil dalam penanganan dan pengendalian penyebaran Virus Corona adalah melakukan tracking dan tracing secara agresif oleh petugas dengan partisipasi minimal dari masyarakat untuk secara mandiri mengidentifikasi potensi ketertularan melalui Pencegahan Oleh Diri Sendiri (PODIS).

Pilihannya yang sudah diambil dalam penanganan dan pengendalian penyebaran Virus Corona adalah menutup rapat siapa saja Pasien Positif Corona, siapa saja Pasien Dalam Pemantauan (PDP), siapa saja Orang Dalam Pengawasan (ODP) sehingga wajar sekali jika pengetahuan masyarakat luas tentang informasi ini sangatlah minimum.

Sehingga amatlah sangat wajar juga dan merupakan konsekuensi amat sangat logis saja jika masyarakat luas tidak pernah tahu apakah dia pernah atau tidak pernah berinteraksi dengan Pasien Positif Corona, PDP, apalagi ODP.

Amat sangat logis sekali itu…… dan jangan sampai berfikir itu sebuah ketidak-logisan…. berbahaya kalau sampai berdikir demikian…

Sehingga amat sangat logis juga jika beban untuk mengetahui ini tidak bisa dibebankan kepada masyarakat luas, dengan segala implikasinya.

Sehingga amat sangat logis sekali juga jika beban untuk mengetahui ini ada pada petugas yang bertanggung jawab melakukan tracking dan tracing secara progresif tadi, tidak selain dari pada itu. Mereka yang seharusnya punya informasinya.

Sehingga amat sangat logis sekali juga jika ada masyarakat yang tidak terlacak, dan kemudian dia pergi berobat ke Rumah Sakit karena merasakan sakit, dan dia menjawab tidak tahu saat ditanya apakah pernah berinteraksi dengan Pasien Positif Corona, PDP, apalagi ODP.

Memberikan stigma tidak jujur kepada masyarakat yang tertular Virus Corona dan menularkan amatlah sangat tidak bijaksana dalam situasi itu, karena pilihan yang diambil tidak memungkinkan masyarakat memiliki informasi lengkap tentang itu.

Memberikan stigma tidak jujur kepada masyarakat yang tidak difasilitasi untuk mendapatkan infornasi lengkap, sebagai implikasi sebuah pilihan kebijakan, merupakan kesimpulan yang amat menggampangkan masalah dan terkesan sekedar mencari-cari kambing hitam.

Seharusnya, jika ada yang tertular dari klaster tidak diketahui ini, yang harus dievaluasi adalah pilihan dan segala ketentuan pengelolaan pengendalian penyebaran Virus Corona melalui tracking dan tracing agresif dengan membatasi informasi kepada masyarakat terutama informasi sumber penular.

Atau pilih pilihan lain, bebankan sekalian beban untuk mengetahui informasi ini kepada masyarakat, itu lebih fair.

Sehingga masyarakat dianggap mengetahui apakah pernah atau tidak pernah berinteraksi dengan Pasien Positif Corona, PDP, dan ODP, layaknya beban mengetahui sebuah isi peraturan oleh masyarakat karena sudah diundangkan dan dicatatkan dalam Lembaran Negara.

Namun syaratnya adalah segala informasi tentang Pasien Positif Corona, PDP, dan ODP harus dibuka seterbuka-bukanya kepada masyarakat, setidaknya kepada masyarakat sekitar pasien Corona.

Konsekuensi negatif dari pilihan ini bukan tidak ada juga, tinggal diidentifikasi dan diantisipasi juga.

***

Semua pilihan itu ada konsekuensinya. Pilihan terbaik haruslah dibarengi sikap konsisten, termasuk sikap konsisten tahapan resiko dari sebuah pilihan.

Bukankah pilihan terbaik itu adalah pilihan yang sudah teridentifikasi potensi resiko dari sebuah pilihan?.

Bukankah pilihan terbaik itu adalah pilihan yang sudah memiliki mekanisme evaluasi atas suatu kejadian di lapangan berbasis pilihan yang sudah diambil?

Masyarakat yang tertular Virus Corona itu pada dasarnya adalah korban. Amatlah bijak jika memperlakukan mereka dalam posisi sebagai korban.

Tidak tertutup kemungkinan mereka menjadi korban tertular Virus Corona karena sebuah pilihan kebijakan itu sendiri.

Sehingga janganlah ditambah beban mereka dan keluarganya dengan stigma tidak jujur, apalagi jika stigma itu diucapkan pejabat yang bertanggungjawab atas pilihan yang sudah diambil.

Kalau ada masyarakat yang tidak terdeteksi pernah bersinggungan dengan Pasien Corona, dalam posisi pilihan penanganan penanggulangan Virus Corona saat ini, yang perlu dipertanyakan dan dievaluasi adalah proses dan petugas yang bertanggung jawab dalam program tracking dan tracingnya, bukan masyarakat luas. Beban pengetahuannya ada disana karena disana informasinya berada, bukan di masyarakat luas.

Janganlah masyarakat disalah-salahkan, janganlah masyarakat diberikan stigma tidak jujur, apalagi secara masif melalui media, khawatirnya masyarakat tergiring untuk berfikir liar yang tidak produktif juga.

Seperti, misalnya, masyarakat berfikir liar dan tidak produktif dengan bertanya-tanya : Jangan-jangan istilah Orang Tanpa Gejala (OTG) sengaja dimunculkan untuk menutupi ketidakmampuan sumber daya yang ada untuk melakukan tracking dan tracing secara agresif dan menyeluruh sehingga ada yang lolos dari proses tracking dan tracing tersebut?

Kembali ke laptop….

Penting sekali untuk fokus bahwa yang perlu dievaluasi adalah kampuan untuk melacak orang yang pernah berinteraksi dengan Pasien Corona.

Masyarakat sangat minim kemampuan untuk itu karena pilihan yang diambil membawa masyarakat pada situasi minim informasi sehingga beban mengetahui ini tidak bisa dibebankan kepada masyarakat.

***

Sebagai penutup……

Semua ada konsekuensinya. Realitas di lapangan saat ini adalah konsekuensi dari sebuah pilihan yang diambil saat ini dalam pengendalian penyebaran Virus Corona.

Seperti konsekuensi penyelidikan pada milenial dengan proyek…eh… program triliunan…. karena pilihan bersurat berkop dan berkonflik kepentingan itu…. ditengah Pandemi Corona pula…. sebuah konsekuensi logis biasa saja…. tidak perlu menyalah-nyalahkan pihak lain….

Penulis:
Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler