Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Orang Tanpa Gejala corona dan potensi generasi paranoid dalam dilema keterbukaan informasi publik

Avatar

Published

on

Jakarta, koin24 – Istilah baru klaster orang terpapar dan penular Virus Corona dikenalkan : Orang Tanpa Gejala (OTG)

Dikenalkan secara resmi oleh Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Apakah itu artinya orang yang masuk keriteria OTG ini jumlahnya tidak sedikit dan sudah pada level mengkhawatirkan dan sulit dikendalikan dan sebarannya juga sudah merata di seluruh Indonesia sehingga perlu disampaikan kepada publik?

Tentu penulis tidak tahu jawaban pastinya, namun penulis meyakini kayaknya memang demikian keadaannya, pembaca memiliki kebebasan untuk percaya sebagaimana penulis percaya atau tidak percaya.

Kepercayaan pada situasi tersebut yang membawa penulis memutuskan untuk tidak mau pura pura tidak khawatir sama sekali. Penulis tidak mau pura pura biasa-biasa saja. Walaupun penulis menolak panik menghadapinya.

Kalau penulis pura-pura tidak khawatir dan pura-pura biasa-biasa saja malah bisa meningkatkan resiko pada penulis dan keluarga penulis tertular Virus Corona. Panik akan menambah runyam situasi.

Lebih baik sedikit menaikan tensi kekhawatiran dengan mengendalikan rasa panik sehingga bisa juga naik tingkatan kewaspadaan dan kehati-hatiannya.

****

OTG bukan Pasien Dalam Pemantauan karena PDP sudah menunjukan gejala, setidaknya gejala ringan

OTG bukan Pasien Positif Corona karena Pasien Positif Corona, seharusnya, sudah dalam perawatan medis intensif.

OTG bisa saja Orang Dalam Pemantauan namun tidak menunjukan gejala sudah terpapar Virus Corona

OTG bisa saja orang yang seharusnya PDP bergejala ringan namun tidak terlihat gejala ringannya

OTG bisa saja orang yang seharusnya Pasien Positif Corona namun tidak memperlihatkan gejala positif Corona

OTG merupakan golongan orang yang tidak memperlihatkan gejala apapun namun pembawa dan penular Virus Corona aktif dan efektif kepada siapapun yang berinteraksi dengannya seaktif dan seefektif penularan oleh Pasien Dalam Pemantauan dan Pasien Positif Corona.

Sehingga penulis berpendapat terlalu beresiko jika menganggap enteng klaster ini. Menurut penulis ini adalah klaster paling berbahaya dalam mengendalikan laju penyebaran Virus Corona. Resiko menganggap enteng terlalu besar dan berbahaya, baik resiko pada orang per orang maupun resiko pada lingkungan sekitar.

Apalagi orang yang berstatus OTG pun tidak menyadari bahwa dirinya pembawa Virus Corona dan efektif menularkan kepada siapapun yang berada disekelilingnya termasuk anak, istri, suami, keluarga, kerabat, dan handai taulan, seefektif Pasien Positif Corona.

Apalagi orang yang berstatus OTG tidak memiliki kesempatan untuk berusaha lebih gigih untuk terbebas dari Virus Corona dan melindungi anak, istri, suami, keluarga, kerabat, handai taulan karena memang tidak ada indikator dia sudah terpapar Virus Corona.

Berbeda dengan ODP, PDP dan Pasien Positif Corona yang punya kesempatan untuk merawat diri dan melindungi orang-orang yang mereka sayangi agar mereka semua tidak tertular Virus Corona darinya, setidaknya dengan tidak berkumpul dengan mereka.

Siapa saja, tanpa kecuali, entah seseorang itu merasa sangat sehat, entah orang sekeliling melihat seseorang itu sangat sehat, sebenarnya dibalik itu bisa saja di dalam tubuhnya sudah ada Virus Corona dan bisa saja dia secara efektif telah dan akan menularkan kepada siapapun yang pernah berinteraksi dengannya, karena dia sebenarnya adalah OTG walaupun tidak menyadarinya

Kondisi ini, jika berlangsung dalam waktu cukup lama, lama kelamaan semua orang bisa jadi paranoid. Tidak saja paranoid pada orang lain yang ada disekitarnya, lebih parah dari itu, orang bisa paranoid pada dirinya sendiri. Mencurigai semua orang dan diri sendiri berkemungkinan sebagai OTG

Na’uzubillahi minzalik

Berlindung kita kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, dari keadaan dan situasi yang demikian itu

****

Alat rapid test amat sangat terbatas, bahkan untuk memenuhi kebutuhan ideal (0,6% dari jumlah penduduk) tidak cukup, hanya terpenuhi 7,35% dari kebutuhan ideal.

OTG berarti 271 (dua ratus tujuh puluh satu) juta rakyat Indonesia berpotensi sebagai Orang Tanpa Gejala.

Situasinya ini tentu membuat keadaan makin parah karena dapat dipastikan tidak semua orang dapat melakukan rapid test. Rapid test hanya untuk orang yang bergejala dan atau orang yang dipastikan pernah kontak dengan PDP atau pernah kontak dengan Pasien Positif Corona atau dipastikan pernah ke zona merah penularan Virus Corona.

Pertanyaan kuncinya adalah bagaimana mengidentifikasi Orang Tanpa Gejala (OTG) ini?

Jika jawaban atas pertanyaan ini tidak didapatkan secara memuaskan maka tidak bisa disalahkan jika orang bahkan paranoid pada diri sendiri apalagi pada orang sekitarnya?

Kondisinya adalah orang tidak dapat melakukan rapid test atas kesadaran sendiri karena alat rapid test amat sangat terbatas, apalagi untuk melakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) 

Mau isolasi mandiri dan atau mengecek atas inisiatif sendiri ke rumah sakit tidak mungkin karena tidak ada gejala sedikitpun.

Mau menyarankan orang lain isolasi mandiri dan atau memeriksakan diri ke rumah sakit tidak mungkin karena tidak ada gejala sedikitpun.

Pikiran memeriksa atas inisiatif sendiri ke rumah sakit tanpa gejala apapun atau pikiran untuk menyarankan orang lain melakukan itu harus dibuang jauh-jauh, karena besarnya jumlah penduduk Indonesia.

Bagaimana mungkin ratusan juta orang memeriksakan diri atas inisiatif sendiri tanpa gejala ke rumah sakit dalam kondisi rumah sakit sudah overload seperti saat ini.

Mau isolasi mandiri atau memeriksakan diri karena alasan pernah kontak dengan PDP dan atau Pasien Positif Corona sama tidak mungkin juga.

Siapa saja PDP, siapa saja Pasien Positif Corona, di mana alamat PDP, di mana alamat Pasien Positif Corona, kemana saja PDP pernah berkunjung, kemana saja Pasien Positif Corona pernah berkunjung, dirahasiakan dengan sangat ketat.

Nama dan alamat PDP, Pasien Positif Corona, kemana saja PDP dan Pasien Positif Corona berkunjung dirahasiakan melebihi rahasia nama asli anggota intelijen negara yang sedang menjalan misi negara super rahasia sekalipun.

Ancaman penjara didengung-dengungkan dengan agresif oleh sebagian kalangan jika berani membuka nama dan alamat PDP dan Pasien Positif Corona apapun alasannya. Bahkan jika dunia ini akan kiamat sekalipun.

Alasannya, nama dan alamat pasien wajib dirahasiakan dan tidak dapat dibuka dan diinformasikan dengan alasan apapun karena demikian perintah Undang Undang.

Ini tentu saja menggelitik penulis, karena entah berapa juta orang yang harus di penjara dan berapa penjara yang harus disiapkan dikarenakan membuka nama dan alamat pasien ini.

Hampir semua warga pedesaan diisi oleh orang yang pernah membuka dan menyebarkan informasi nama dan alamat pasien tanpa ijin pasien dan atau keluarganya selama ini sebelum Pandemi Corona melanda.

Hampir tidak ada orang di kampung-kampung yang belum pernah menyampaikan informasi nama dan alamat pasien tanpa ijin pasien dan atau keluarga pasien sebelum Pandemi Corona. Lha nyatanya kalau ada warganya sakit, dikabarkan secara masif dan dijenguk beramai-ramai.

OTG ini membawa penulis pada pertanyaan apakah memang demikian hasil kajian naskah akademis UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi, khususnya Pasal 17 huruf h angka 2, yaitu terkait analisis sosiologisnya sebagai dasar norma ini?

Apakah hasil kajian sosiologis menemukan bahwa nama dan alamat pasien harus dirahasiakan dan bagi yang membuka diancam hukuman pidana?.

Penulis melihat dan memahami tidak ada alasan logis norma ini dibuat dari aspek sosiologis sejauh berkaitan dengan nama dan alamat pasien karena tidak saja itu mengabaikan realitas sosiologis masyarakat Indonesia namun juga mencerabut rakyat Indonesia dari akar sosiologisnya.

Atau bukan demikian maksud dari norma tersebut. Bagaimana mungkin sebuah norma hukum positif bertolak belakang dari akar sosiologis masyarakat yang akan diaturnya. Melahirkan sebuah norma hukum positif yang bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan akar sosiologisnya hanya akan menimbulkan kekacauan sosial.

Atau yang diatur oleh norma ini hanya yang erat kaitannya dengan data rekam medik seseorang, bukan identitas nama dan alamat pasien?

Terlebih untuk situasi wabah, atau situasi Endemi, terutama dalam situasi Pandemi, benarkah norma tersebut dapat diterapkan karena alasan pembentukannya memang demikian adanya?

Atau situasi Pandemi ini lebih banyak pengaturannya oleh norma lain yaitu norma Informasi Serta Merta yang bersifat terbuka?

Mungkin pembaca yang budiman bisa memberikan jawaban yang pasti terkait hal ini.

Namun apapun jawaban pastinya, haruslah itu memberikan kontribusi besar bagi pengendalian laju penyebaran Virus Corona ini.

Bukan jawaban sebaliknya yang justru berkontribusi pada semakin kencangnya laju penyebaran Virus Corona yang sudah pada level Pandemi yang penyebarnyapun bahkan bisa oleh Orang Tanpa Gejala (OTG).

*****

Terus harus bagaimana mengendalikan penyebaran Virus Corona klaster Orang Tanpa Gejala (OTG) ini?

Gejala tidak ada.

Berstatus Orang Dalam Pemantauan juga tidak.

Berstatus Pasien Positif Corona juga tidak.

Pernah berinteraksi dengan Pasien Dalam Pemantauan? Tidak tahu juga karena tidak pernah tahu dan tidak pernah diberitahu siapa saja yang PDP.

Pernah berinteraksi dengan Pasien Positif Corona? Tidak tahu juga karena tidak pernah tahu dan tidak pernah diberitahu siapa saja Pasien Positif Corona.

Pernah berkunjung ke rumah atau tempat yang pernah dikunjungi Pasien Dalam Pemantauan maupun Pasien Positif Corona? Tidak tahu juga karena tidak pernah tahu dan tidak pernah diberitahu mana saja rumah dan tempat yang pernah dikunjungi PDP dan Pasien Positif Corona.

Melakukan rapid test atas inisiatif sendiri walau tanpa ada gejala sama sekali atau tanpa dilengkapi informasi riwayat kontak dengan PDP, Pasien Positif Corona, tempat yang pernah dikunjungi PDP dan Pasien Positif Corona? Tidak mungkin dilaksanakan dan dilayani karena ada skala prioritas.

Tak bergejala, tak PDP, tak Pasien Positif Corona, tidak tahu pernah berinteraksi dengan PDP, tidak tahu pernah berinteraksi dengan Pasien Positif Corona, dan tidak tahu juga tempat yang pernah dikunjungi PDP dan Pasien Positif Corona. Lantas apa alasan manusiawi yang bisa dijadikan sebagai landasan untuk mengisolasi diri secara mandiri dan menjaga jarak dengan anak, istri, dan keluarga? Setidaknya dari yang tinggal serumah?

Apakah perlu setiap orang yang dalam satu rumah harus dipersepsikan sebagai OTG sehingga menjaga jarak semua dan mengisolasi diri semua walau dalam satu rumah?

Apakah memang perlu secara serius membangun pikiran paranoid pada semua orang seolah-olah semua orang berpotensi sebagai pembawa dan penyebar Virus Corona agar tidak terpapar Virus Corona?

Apakah memang perlu membangun pikiran paranoid kepada 271 (dua ratus tujuh puluh satu) juta rakyat Indonesia seolah-olah seluruh rakyat Indonesia berpotensi sebagai pembawa dan penyebar Virus Corona untuk meningkatkan kemungkinan tidak tertular Virus Corona?

Apakah memang perlu membangun pikiran paranoid kepada seisi rumah, suami, istri, anak, mertua seolah-olah mereka semua berpotensi sebagai pembawa dan penyebar Virus Corona tanpa bergejala agar tak tertular Virus Corona?

Apakah perlu membangun pikiran paranoid pada diri sendiri seolah-olah diri sendiri adalah pembawa Virus Corona dan efektif menularkan pada siapapun, termasuk anak istri yang tinggal serumah agar bisa melindungi orang-orang yang disayangi?

Kalau itu yang terjadi, apakah sudah siap negara tercinta ini nantinya dengan fakta terbentuknya masyarakat paranoid?

Sudah siapkah kita sebagai bangsa jika Pandemi Corona ini menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa paranoid, bahkan masyarakatnya paranoid pada diri sendiri?

Haruskah Pandemi Corona ini membentuk satu generasi bangsa sebagai generasi paranoid?

Bisakah dengan mudah karakter paranoid ini sembuh setelah Virus Corona berlalu?

Hemat penulis, terlalu besar resiko dan beban yang akan ditanggung bangsa, negara dan masyarakat Indonesia dalam beberapa generasi kedepan jika Pandemi Corona ini sampai membentuk satu generasi menjadi generasi paranoid dan membesarkan generasi berikut dalam keadaan sebagai paranoid.

****

Kenapa tidak diambil opsi membuka saja nama dan alamat Pasien Positif Corona, bahkan nama dan alamat Pasien Dalam Pemantauan, sehingga semua orang tidak perlu menjadi paranoid?

Semua orang, baik yang bergejala maupun yang tidak bergejala, baik yang berkesempatan menjalani rapid test maupun yang tidak berkesempatan, dapat menilai dan mengambil keputusan atas dirinya sendiri apakah berpotensi membawa dan menularkan Virus Corona kepada orang-orang sekelilingnya.

Semua orang, baik yang bergejala maupun yang tidak bergejala, baik yang berkesempatan menjalani rapid test maupun yang tidak berkesempatan, dapat menilai dan mengambil keputusan atas dirinya sendiri apakah perlu melakukan isolasi diri mandiri, apakah perlu menjaga jarak dengan orang yang tinggal serumah, apakah perlu melakukan pengecekan ke rumah sakit karena ada alasan logis riwayat kontak.

Semua orang dapat mengambil keputusan karena mengetahui punya atau tidak punya riwayat kontak dengan PDP maupun Pasien Positif Corona yang nama dan alamatnya bisa diketahui.

Semua orang dapat mengambil keputusan karena mengetahui riwayat pernah atau tidak pernah berkunjung ke rumah atau tempat yang pernah ditempati atau dikunjungi PDP maupun Pasien Positif Corona yang nama dan alamatnya bisa diketahui.

Sehingga tidak perlu meraba-raba dan mencurigai semua orang, termasuk dirinya sendiri, sebagai Orang Tanpa Gejala.

Indikatornya OTG jelas hanya 2 (dua) dan dapat dikenali :

Indikator Pertama. Pernah kontak dengan ODP dan atau PDP dan atau Pasien Positif Corona. Siapa saja ODP, PDP, dan Pasien Positif Corona juga jelas dan dapat diakses.

Indikator Kedua. Pernah berkunjung ke rumah atau tempat yang pernah dikunjungi ODP, PDP, dan Pasien Positif Corona. Mana saja rumah dan tempat yang pernah dikunjungi ODP, PDP, dan Pasien Positif Corona juga jelas dan dapat diakses.

Setidak-tidaknya informasi nama, alamat, dan riwayat kunjungan Pasien Dalam Pemantauan dan Pasien Positif Corona jelas dan dapat diakses.

*****

Marilah ditimbang baik-baik, karena apapun keputusan yang diambil ada resikonya.

Memberi tahu atau tidak memberi tahu nama, alamat dan riwayat kunjungan PDP dan Pasien Positif Corona ada resiko negatifnya dan ada efek positifnya.

Keputusan dan pilihan yang tanpa resiko setelah adanya munculnya klaster OTG ini nampaknya tidak ada lagi. Keputusan dan pilihan apapun ada resikonya.

Di satu sisi ada resiko bagi PDP dan Pasien Positif Corona dan keluarga jika nama dan alamat PDP dan Pasien Positif Corona dibuka dan dapat diakses publik. Resikonya sudah banyak diulas sebelum klaster OTG ini ditemukan.

Di sisi lain ada resiko penularan Virus Corona yang tak terkendali dan resiko terbentuknya tidak saja masyarakat paranoid bahkan ada potensi terbentuk generasi paranoid yang sebenarnya bisa dihindari, atau setidaknya diminimalisir, jika nama dan alamat PDP dan Pasien Positif Corona tidak ditutup dan dapat diakses publik.

Resiko mana yang akan diambil dari dua sisi resiko yang ada dan saling meniadakan tersebut akan sangat berpengaruh, tidak saja berpengaruh pada tingkat kecepatan laju penularan Virus Corona namun juga berpengaruh pada karakter masayarakat Indonesia pasca Pandemi Corona ini berlalu dan pada karakter generasi setelahnya, khususnya dan tidak hanya karakter paranoid.

***

Presiden tidak bisa disalahkan sedikitpun jika memutuskan untuk memerintahkan membuka nama dan alamat serta riwayat perjalanan PDP dan Pasien Positif Corona. Begitu pemahaman penulis tentang Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Apalagi sekarang ada fakta baru klaster orang sebagai penyebar Virus Corona yaitu Orang Tanpa Gejala (OTG), sebagai orang yang tidak saja terpapar namun juga penular aktif Virus Corona.

Kenapa demikian?

Karena sampai hari ini belum ada satupun Badan Publik Negara cabang kekuasaan Eksekutif yang telah melakukan Uji Konsekuensi terhadap nama, alamat, dan riwayat perjalanan PDP dan Pasien Positif Corona, apalagi mengeluarkan Surat Keputusan Penetapan, sebagai Informasi Yang Dikecualikan.

Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, pimpinan cabang kekuasaan Eksekutif, dapat berpandangan bahwa nama, alamat, dan riwayat perjalanan PDP dan Pasien Positif Corona berada dalam status quo yaitu Terbuka.

Dan pandangan Presiden inilah nantinya yang akan dijadikan dasar bagi seluruh cabang eksekutif.

Pada bagian akhir tulisan ini ada baiknya direnungkan bersama apa yang disampaikan Filsuf Hukum Romawi 21 (dua puluh satu) abad lalu, Cicero :

Salus Populi Suprema Lex Esto

Dan Presiden Jokowi juga sangat konsen dengan itu karena beliau sering menyampaikan pandangan dan komitmen beliau secara terbuka pada beberapa kesempatan kepada publik :

Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

****

Mari kita patuhi arahan pemerintah dalam rangka pengendalian laju penyebaran Virus Corona sebaik-baiknya.

Dan mari kita berdo’a kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, semoga mata rantai penyebaran Virus Corona dapat segera diputus dan laju penyebarannya segera dapat dikendalikan. Sehingga Ibu Pertiwi dan masyarakat Indonesia dapat segera terbebas dari Pandemi Corona dan generasi demi generasi tetaplah sebagai generasi dengan karakter Pancasilais sejati, Allahumma amiin.

Penulis:
Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler