Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Stigma Patuh

Avatar

Published

on

Jakarta, koin24 – Pemerintah secara masif mengkampanyekan supaya masyarakat meningkatkan kehati-hatian dan kewaspadaan agar jangan sampai tertular Virus Corona yang level penyebarannya sudah lada level tertinggi, level Pandemi.

Dokter dan para penggiat kesehatan dengan gencar mengkampanyekan agar masyarakat sering mencuci tangan dan menjaga jarak untuk mengurani resiko tertular Virus Corona, terutama sebelum mengusap mata, hidung, dan telinga.

Media masif memberitakan betapa mudahnya penularan Virus Corona sehingga dilabeli Pandemi. Pemberitaan tidak lagi hanya masif, bahkan nampaknya juga sudah sistematis dan terstruktur.

*****

Media secara terstruktur, sistematis, dan masif mengkampanyekan ini, hampir dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu.

Mengkampanyekan bahwa kena cipratan butiran air ludah dan terhirup orang lain, bisa menularkan. Berjabat tangan dengan orang yang sudah tertular bisa ketularan karena boleh jadi di telapak tangan orang yang sudah tertular mungkin ada Virus Corona, walaupun orang tersebut tidak menunjukan gejala sama sekali dan masih proses inkubasi.

Mengkampanyekan bahwa menyentuh benda-benda sekeliling bisa saja berakibat tertular Virus Corona karena mungkin saja pada benda-benda tersebut ada Virus Corona yang berasal dari bersin atau telapak tangan orang yang sudah tertular yang sebelumnya bersentuhan dengan benda-benda tersebut. Hal ini karena kemampuan Virus Corona hidup cukup lama di benda-benda mati.

Mengkampanyekan bahwa menjaga jarak dengan siapa saja yang pernah berkunjung ke negara atau daerah yang penyebaran Virus Corona sudah pada status Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat memutus mata rantai penyebaran Virus Corona secara signifikan sehingga dijadikan strategi utama oleh pemerintah.

****

Pilihan masyarakat dalam situasi seperti ini hanyalah patuh dan menerima karena informasi tersebut disampaikan oleh orang dan lembaga yang berwenang dan kompeten di bidang tersebut.

Kepercayaan dan kepatuhan yang tentunya diwujudkan sesuai penangkapan masyarakat atas informasi yang dikampanyekan tersebut.

Kepercayaan dan kepatuhan yang tentunya diwujudkan sesuai dengan latar belakang pendidikan, budaya, dan lingkungan masyarakat tersebut.

Apapun bentuknya, semua itu merupakan terjemahan masyarakat untuk mematuhi anjuran meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian menghadapi Virus Corona dan membantu menahan laju penyebaran Virus Coroma.

Kalau di lapangan bentuk kewaspaan dan kehati-hatian masyarakat yang semakin tinggi terkadang berlebihan, itu wajar saja. Kenapa? Karena masyarakat tidak pernah diberitahu siapa saja Pasien Positif Corona (PPC), siapa saja Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan siapa saja Orang Dalam Pemantauan (ODP), dan daerah mana saja yang perlu diwaspadai. Masyarakat tidak bisa memastikan dari siapa dan dari tempat mana harus berhati-hati dan waspada.

Hal itu melahirkan situasi di mana yang dikedepankan masyarakat adalah mengambil resiko paling minimal, salah satu wujudnya adalah melakukan identifikasi sendiri orang dan tempat yang harus diwaspadai dan harus berhati-hati terhadapnya.

Identifikasi tersebut tentu saja mendasarkan dan berdasarkan materi yang dikampanyelan melalui media masa dan melalui media komunikasi yang lain oleh pemerintah, dokter, dan tenaga medis sesuai penangkapan masyarakat yang heterogen.

Kehati-hatian dan kewaspadaan yang bersifat terjemahan sendiri oleh masyarakat tersebut makin menjadi-jadi, untuk tidak menyebut paranoid, setiap mendengar pernyataan juru bicara Gugus Tugas Penganggulangan Virus Corona bahwa penambahan Pasien Positif Corona sebagai indikator imbauan untuk menjaga jarak, meningkatkan kehati-hatian, meningkatkan kewaspadaan belum dilaksanakan dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat.

Apalagi setelah wacana Darurat Sipil dilontarkan untuk menertibkan masyarakat, situasi makin tambah menjadi-jadi, bahkan mungkin sudah benar panaroid pada sebagian kecil masyarakat, yang diwujudkan seperti dan tidak saja dalam bentuk penolakan pemakaman pasien positif Corona sampai pembongkaran kembali kuburan untuk dipindah dari dilingkungannya.

*****

Semua tindakan masyarakat itu menurut hemat penulis semata-mata sebagai akibat langsung dari kampanye dan imbauan yang sangat masif dari pemerintah dan profesional kesehatan melalui media masa.

Semua tindakan itu dimaknai masyarakat sebagai tindakan kepatuhan semata. Semua tindakan tersebut semata karena percaya pada media masa dan siapa yang bicara di media masa tersebut, termasuk dan tidak terbatas dokter yang menjadi narasumber di media masa.

Atau ada alasan lain yang lebih logis? Penulis belum menemukan alasan lainnya sampai tulisan ini penulis tulis.

Itulah alasan penulis kenapa tidak pernah percaya ada masyarakat Indonesia yang tidak menghargai dedikasi dokter, perawat, dan tenaga medis yang tengah berjuang melawan Corona. Penulis tidak percaya ada masyarakat memberikan stigma negatif kepada dokter dan tenaga medis yang sedang berjuang melawan pandemi Corona.

Sekali lagi, semua yang penulis jelaskan di atas adalah bentuk kepercayaan dan penghormatan masyarakat kepada dokter, perawat, dan tenaga medis yang sudah maju di garis depan melawan Virus Corona ini dengan terjun langsung di medan pertempuran pada lingkaran paling dalam dan terdekat dengan Virus Corona.

Kalau masyarakat menjaga jarak dari dokter, perawat, dan tenaga medis yang terjun langsung di garis depan melawan Virus Corona tersebut, penulis yakini semata-mata itu karena dan sebagai wujud menghormati dan mematuhi anjuran para dokter untuk berhati-hati, waspada, dan menjaga jarak terhadap ODP dan PDP.

Bukankah masyarakat diminta menjaga jarak, berhati-hati, dan waspada terhadap orang yang baru pulang dari negara atau daerah yang berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) Virus Corona supaya tidak tertular?.

Masyarakat menterjemahkan anjuran tersebut dengan mengidentifikasi sendiri bahwa Rumah Sakit Rujukan adalah sebagai daerah atau tempat yang paling banyak orang tertular Virus Corona dibanding tempat manapun.

Masyarakat menterjemahkan anjuran tersebut dengan mengidentifikasi orang yang bekerja di Rumah Sakit Rujukan sebagai orang yang mungkin saja berpotensi tertular Virus Corona.

Bukankah gencar juga diberitakan tentang kekurangan Alat Pelindung Diri (APD)? Bukankah juga gencar diberitakan dokter dan petugas medis terinfeksi?. Bukankah gencar diberitakan dokter dan petugas medis memilih menjaga jarak dari suami/istri dan anak-anak beliau karena beliau tidak bisa memastikan dirinya bukan pembawa Virus Corona?

Apalah lagi masyarakat juga diberitahu media kalau semua dokter dan petugas medis yang merawat orang terpapar Virus Corona masuk dalam kategori Orang Dalam Pemantauan (ODP).

******

Percayalah…..

Seluruh lapisan masyarakat Indonesia sangat menghormati dokter dan tenaga medis yang sedang berjuang di garis depan melawan Virus Corona dengan penghormatan tertinggi. Penghormatan yang tidak saja pada lahiriah namun merupakan penghormatan tulus dari lubuk hati yang paling dalam.

Seluruh lapisan masyarakat Indonesia penulis yakini berlinang air mata saat mendengar ada dokter dan tenaga medis yang terpapar Virus Corona.

Seluruh lapisan masyarakat merasakan kesedihan mendalam saat mengetahui ada dokter dan tenaga medis yang meninggal dunia akibat Virus Corona. Bukan hanya sedih mendalam namun juga takut, takut kehilangan tempat bersandar dan berlindung dari serangan ganas virus Corona ini.

Seluruh lapisan masyarakat Indonesia sangat menaruh hormat yang paling tinggi dan paling dalam kepada para dokter dan tenaga medis sebagai pelindung masyarakat dari keganasan Corona.

Tidak ada masyarakat Indonesia yang memberikan stigma negatif kepadanpara dokter dan tenaga medis, pejuang utama dan terdepan, pelindung masyarakat yang tak tergantikan, melawan Virus Corona.

Tidak ada masyarakat Indonesia yang memberikan stigma negatif kepada keluarga dokter dan keluarga tenaga medis, pejuang dan pahlawan negara, menghadapi serangan Virus Corona ini. Masyarakat bisa merasakan beban batin keluarga dokter dan keluarga tenaga medis sebagaimana masyarakat merasakan beban batin keluarga prajurit yang maju ke medan perang membela dan melindungi bangsa, negara, dan masyarakat.

Kalau ada masyarakat sedikit menjaga jarak dengan dokter, menjaga jarak dengan tenaga medis, dan mungkin sedikit berlebihan dengan sedikit menjaga jarak juga dengan keluarga dokter dan keluarga tenaga medis, itu bukanlah karena memberikan stigma negatif kepada dokter, bukanlah memberikan stigma negatif tenaga medis, dan bukanlah memberikan stigma negatif kepada keluarga beliau-beliau, sama sekali bukan.

Sebagain kecil masyarakat mungkin sedikit berlebihan, namun sekali lagi itu bukan karena memberika stigma negatif dokter, tenaga medis, dan keluarganya.

Sekali lagi bukan, bukan memberikan stigma negatif, bukan !!!

Semua itu semata-mata karena masyarakat percaya dan patuh pada anjuran dokter.

Semua itu semata-mata karena masyarakat percaya dan patuh pada anjuran petugas medis.

Semua itu semata-mata karena masyarakat percaya dan patuh pada anjuran pemerintah.

Percaya dan patuh untuk berhati-hati, untuk waspada, untuk menjaga jarak dengan siapapun yang pernah berinteraksi dengan orang yang pernah berkunjung ke daerah yang banyak orang terpapar Virus Corona, termasuk dan tidak hanya daerah Rumah Sakit Rujukan.

Percaya dan patuh untuk berhati-hati, untuk waspada, untuk menjaga jarak dengam siapapun yang pernah berinteraksi dengan orang yang pernah berinteraksi dengan orang terpapar Virus Corona, termasuk dan tidak terbatas dokter dan petugas medis yang merawat langsung pasien positif Corona.

Itulah wujud kepatuhan dan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap anjuran dokter, tenaga medis, dan pemerintah yang mereka hormati dan junjung tinggi.

Bukankah masyarakat seperti ini patut kita apresiasiasi dan diberikan stigma yang menggembirakan, sebagai masyarakat yang memberikan peluang terkendalinya penyebaran Virus Corona yang sudah pada level Pandemi ini sesuai anjuran ahlinya yaitu dokter, tenaga medis, dan pemerintah?

Pendapat penulis : Iya, masyarakat yang patut diberikan stigma yang menggembirakan.

Stigma Patuh

Penulis:
Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler