Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Tantangan bagi wartawan di masa pandemi

Avatar

Published

on

Oleh: Aat Surya Safaat

Jakarta, koin24.co.id – Pada 1998, ketika keran kebebasan pers terbuka, semangat reformasi di bidang media massa makin tumbuh di tengah masyarakat. Tetapi ternyata kebebasan pers dimaksud tidak menjamin adanya keberpihakan media kepada kepentingan masyarakat.

Semangat untuk mengurangi dominasi pemerintah berhadapan dengan dominasi pasar yang begitu kuat terhadap media massa, karena perkembangan media massa di berbagai negara telah masuk ke era konvergensi, suatu era di mana industri pers kian berkembang, termasuk di Indonesia.

Meski di tengah keterpurukan ekonomi yang diperparah dengan terjadinya tragedi 11 September 2001 di Amerika yang menyebabkan terguncangnya perekonomian global, industri pers di Indonesia sendiri secara kuantitatif relatif mengalami perkembangan seiring berkembangnya era kebebasan pers.

Era kebebasan pers itu sendiri terutama ditandai dengan naiknya jumlah dan produksi koran, majalah dan tabloid, bahkan munculnya stasiun-stasiun televisi dan radio swasta.

Perkembangan media massa seakan berlomba dengan naiknya jumlah partai politik baru di era reformasi. Keduanya menjadi ekspressi dan bukti hadirnya kebebasan pers dan demokrasi di Tanah Air.

Sementara itu dalam beberapa tahun terakhir ini media online berkembang pesat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, didorong oleh semakin majunya teknologi informasi yang ternyata kemudian menyebabkan banyak media cetak “gulung tikar” dan beralih ke edisi online.

Di sisi lain, di kalangan masyarakat berkembang apa yang disebut citizen journalism (jurnalisme warga). Citizen Journalism adalah aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh warga biasa (yang bukan wartawan).

Jurnalisme warga ini mempunyai peran aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaran berita serta informasi. Tipe jurnalisme ini menjadi sebuah tren baru bagaimana warga bisa membuat dan menyebarkan informasi dalam bentuk teks, audio, komentar, dan analisis.

Khusus kebebasan pers di Indonesia dalam perkembanganya cenderung ”kebablasan”, ditandai banyaknya media yang menyiarkan berita-berita dengan cara yang tidak berimbang, sensasional, dan “miskin” informasi karena banyak yang tidak berdasarkan fakta dan berangkat dari isu yang tidak jelas sumbernya.

Menghadapi perkembangan pers di Tanah Air sebagaimana diuraikan di atas, bekal apa yang harus dimiliki oleh seorang wartawan, termasuk di masa pandemi Covid-19?

Kepentingan bisnis

Pers yang cenderung ”kebablasan” itu terjadi karena kepentingan bisnis media makin mengemuka dibanding kepentingan idealnya, dan ini terkait dengan tingginya biaya operasional, khususnya bagi media televisi serta kian ketatnya persaingan dalam industri media. Stasiun-stasiun televisi “berebut” kue iklan yang jumlahnya terbatas.

Khusus perkembangan jurnalisme di Indonesia, di era reformasi sebenarnya terjadi penyempurnaan dengan keluarnya UU No. 40 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang Pers yang antara lain menegaskan bahwa terhadap pers nasional tidak diperbolehkan lagi adanya penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Ditegaskan pula bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media infomasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, di samping dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya, pers harus pula menghormati hak asasi setiap orang, sehingga dituntut adanya pers profesional dan terbuka untuk dikontrol masyarakat berupa adanya jaminan hak jawab dan hak koreksi, baik yang dikemukakan individu maupun lembaga kemasyarakatan dan Dewan Pers.

Dengan kata lain, insan pers di Indonesia dituntut untuk memenuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku agar ekses-ekses dan sensasionalisme yang menyertai kebebasan pers dapat dihindari. Pers juga harus memberikan harapan dan optimisme bagi khalayak.

KEJ itu sendiri terdiri dari 11 pasal. Pertama, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk; dan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Kemudian, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah; dan wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Lalu wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Wartawan Indonesia juga tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Kemudian, wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya; menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Selain itu wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Di samping itu wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik, dan wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Last but not least adalah bahwa wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Selain KEJ, wartawan Indonesia juga perlu memahami apa yang disebut Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). Markah atau batasan ini beririsan dengan pendekatan pemberitaan terhadap korban dan pelaku anak yang bersentuhan dengan hukum.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menandatangani nota kesepahaman dengan Dewan Pers tentang Profesionalitas Pemberitaan Media Massa dalam Perlindungan Perempuan dan Anak, bertepatan dengan puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019 di Surabaya pada 9 Februari 2019.

Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Dewan Pers (DP) juga telah menandatangani MoU pada 12 April 2018 berkaitan dengan pemberitaan ramah anak, yakni Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA).

PPRA dimaksudkan untuk mendorong komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati, dan bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak yang terlibat persoalan hukum ataupun tidak, baik anak sebagai pelaku, saksi atau korban.

Kompeten dan profesional

Terkait pers itu sendiri, dalam bahasa Fraser Bond seperti dijelaskan dalam bukunya “An Introduction to Journalism” (Bond, 1984: 3), pers dalam segala bentuknya harus sanggup memberikan pengaruh positif kepada publik guna lebih menyempurnakan hidupnya, yakni agar lebih aman, sejahtera, dan lebih menjanjikan.

Sebaliknya, pers jangan menjadi sumber keburukan seperti menyebarkan permusuhan, penghujatan, penghinaan, provokasi, adu domba, fitnah (hoax), pornografi, sensasi, dan pengumbaran selera rendah masyarakat.

Dalam kaitan ini pula maka pers di Indonesia seharusnya tetap menyiarkan berita-berita yang sifatnya menenteramkan, berimbang, dan memberi harapan serta optimisme kepada masyarakat.

Kiprah pers seperti itu sangat penting mengingat industri pers saat ini sudah masuk ke layanan multimedia serta berbagai inovasi lain di era konvergensi media saat ini. Era konvergensi media itu sendiri menuntut adanya peningkatan kreativitas, inovasi, dan profesionalisme serta penguasaan teknologi informasi.

Namun apapun kecenderungannya, menurut Fred S. Siebert dalam bukunya ”Four Theories of the Press” (1984), tujuan dari media massa adalah membuat rakyat di seluruh dunia bisa memperoleh informasi yang memungkinkan mereka memiliki sebuah masyarakat yang damai dan produktif serta memberikan kepuasaan dan hiburan.

Siebert juga menjelaskan, secara umum di dunia ini terdapat empat sistem pers, yakni authoritarian (dalam rezim otoriter), libertarian (pers bebas), social responsibility (pertanggungjawaban sosial), dan communist (sistem pers komunis yang dalam terminologi Siebert disebut sebagai Komunis Soviet).

Namun Siebert mengakui tidak adanya sistem pers yang mutlak, melainkan yang satu cenderung lebih dominan dibanding yang lainnya. Fakta juga menunjukkan adanya beberapa negara, bahkan negara maju yang ternyata menggunakan media massa tertentu sebagai ”corong” pemerintah yang bersangkutan.

Sebagai contoh, Kantor Berita Bernama di Malaysia dan British Broadcasting Corporation (BBC) London di Inggris sampai sekarang berdasarkan pengamatan tetap menjadi “corong” pemerintahnya masing-masing.

Demikian juga kantor berita radio Voice of America (VOA) tetap menjadi “corong” Pemerintah Amerika Serikat, terutama untuk pencitraan ke luar negeri. Mereka relatif berhasil mempertahankan bahkan meningkatkan citra negara dan pemerintahnya masing-masing di mata dunia.

Sementara itu era konvergensi media adalah era berkembangnya industri pers, di mana perusahaan-perusahaan media besar membagi materi beritanya ke media cetak, media elektronik, dan media online yang dimiliki media masing-masing.

Konsekuensinya, dunia jurnalisme, termasuk di Indonesia mau tidak mau mengalami pergeseran dan menghasilkan beragam istilah, mulai dari cyber journalism, online journalism, dan convergent journalism.

Dari penjelasan di atas, nampak bahwa perkembangan politik dan regulasi pers serta kemajuan teknologi informasi pada dasarnya telah memberikan tantangan terhadap perusahaan pers dan informasi untuk maju dan berkembang sesuai kemampuan masing-masing.

Media massa dituntut supaya melakukan terobosan-terobosan baru dalam upaya memelihara kelangsungan hidup serta meningkatkan kemampuanya di masa depan, termasuk dalam menjalankan kiprahnya di masa pandemi Covid-19 sekarang ini.

Para wartawannya dituntut memahami Kode Etik Jurnalistik, Undang-undang Pokok Pers, Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, dan Pedoman Pemberitaan Media Siber (bagi media siber/online), kemudian mempraktekkannya dengan baik di lapangan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah wartawan yang kompeten dan profesional. (***)

Penulis:
Aat Surya Safaat
Wartawan Senior dan Konsultan Komunikasi.

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler