Connect with us

Opini Redaksi Tamu

Sapardi, lelaki tua dan laut, serta kisah puisi esai

Avatar

Published

on

Mengenang
Sapardi Djoko Damono (1940-2020)

Oleh: Denny JA

Jakarta, koin24.co.id – Ketika mendengar wafatnya penyair besar, Sapardi Djoko Damono, pikiran saya melayang pada kisah sekitar 40 tahun lalu. Tahun 80an. Itu saat saya membaca novel Lelaki Tua dan Laut, terjemahan karya Ernest Hemingway. Sapardi Djoko Damono yang menerjemahkannya.

“Manusia dapat dihancurkan. Tapi ia tidak dikalahkan.”

Ini kutipan terkenal dari Ernest Hemingway tentang novel itu. Ia menulis novel The Old Man and The Sea, tahun 1952. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia 31 tahun kemudian. Lelaki Tua dan Laut, terbit tahun 1983.

Tahun 1982, usia saya baru 19 tahun. Berulang – ulang saya membaca novel aslinya dalam bahasa Inggris: The Old Man and The Sea.

Saya mendengar itu novel yang sangat bagus. Tapi bahasa Inggris saya masih buruk. Berulang saya membacanya. Tapi tetap tak mengerti isi novelnya. Apalagi simbol dan makna dibalik kisah itu.

Akhinya di tahun 1983, saya membaca terjemahan bahasa Indonesia. Teringat masa itu. Lama saya merenung dengan kisah nelayan tua dari Kuba, bernama Santiago.

Kisah itu ikut menumbuhkan spirit perjuangan. Ini era ketika saya intens sekali mencari identitas diri.

Santiago, nelayan tua, di novel itu termenung. Ia boleh dihancurkan oleh nasib buruk. Tapi ia tak boleh dikalahkan.

Sudah hari ke 84 ia melaut. Santiago tak kunjung mendapatkan ikan. Komunitasnya sudah bergunjing. Selesai sudah era Santiago sebagai nelayan.

Anak muda yang acap menemaninya melaut, Manolin, sudah diperingati ayahnya. Daripada, Manolin menemani lelaki tua itu, yang tak lagi berdaya, sebaiknya Manolin menemani nelayan lain, yang lebih sukses.

Hari itu, hari ke 85, Santiago bertekad. Ia tak boleh dikalahkan oleh nasib buruk. Ia pun bertekad pergi ke laut paling jauh. Ia berniat membawa Ikan, jika bisa, yang paling besar.

Datanglah momen itu. Santiago mendapatkan ikan besar. Tapi itu tak semudah yang ia bayangkan. Dua hari dua malam, ia bertarung agar ikan itu menyerah. Yang terjadi, ikan itu malah menarik perahunya ke tengah laut, yang buas.

Akhirnya, ikan besar itu bisa ia kalahkan. Tapi dalam perjalanan laut menuju rumah, begitu banyak Ikan Hiu. Satu persatu, ikan Hiu itu bisa ia halau.

Di tengah malam, Santiago kelelahan.Ia tertidur lelap. ikan besar yang berhasil ia tangkap, yang ia seret di perahunya, habis dimakan ikan hiu. Haya kerangka tulang yang bisa ia bawa pulang.

Betapa kaget Santiago. Susah payah ia mengalahkan Ikan. Sudah disiapkannya berita baik untuk penduduk. Kini ia hanya membawa tulang saja.

Nelayan tua itu pulang. Walau yang tersisa hanya kerangka tulang ikan, tapi penduduk tahu, itu ikan yang sangat besar. Penduduk memberi hormat padanya.

Santiago, lelaki tua itu, nelayan yang sudah melemah itu, menyadari. fisiknya boleh menua. Tapi tangkapan ikan besar itu, walau hanya tersisa tulang, menjadi bukti. Spiritnya masih sangat kuat. Ia tidak menyerah. Ia tidak kalah. Ia terus berjuang.

-000-

Itulah kali pertama saya mengenal sentuhan Sapardi Djoko Damono. Sapardi yang menerjemahkan novel itu menjadi enak dibaca. Indah. Mengalir. Gurih.

Nama Sapardi Djoko Damono mulai menetap di memori saya.

Saat itu, Sapardi sudah menjadi penyair terkenal. Buku puisinya Dukamu Abadi, terbit tahun 1969. Itu 12 tahun sebelum Sapardi menerjemahkan novel.

Sudah terbit pula tiga buku puisinya yang lain: Akuarium (1974), Mata Pisau (1974), serta Perahu Kertas (1983).

Tapi saya saat tak banyak membaca puisi Sapardi. Saya lebih senang fiksi yang banyak drama.

Pertemuan saya berikutnya dengan Sapardi di tahun 2012. Sekitar 30 tahun kemudian. Ini pertemuan penting dalam hidup saya sebagai penulis puisi. Sekitar 3 bulan lamanya, saya intens berjumpa dengan Sapardi.

Saya sedang menjadi konsultan politik. Sudah 9 tahun saya tenggelam di dunia politik praktis dan riset opini publik. Saya juga mulai merintis usaha kecil – kecilan.

Sudah 9 tahun pula saya tak lagi menulis kolom di koran. Padahal dulu, saya penulis kolom yang yang produktif sekali. Sudah 1000 kolom saya tulis. Dan sudah pula sebagian kolom dibukukan menjadi sekitar 20 buku. Satu kumpulan kolom di satu koran menjadi satu buku.

Kerinduan saya menulis datang lagi. Tapi kali ini tidak esai, tidak kolom. Kepada teman teman dekat, saya katakan saya “hamil tua.” Saya ingin menulis lagi. Itu dunia lama yang mendarah daging.

Saya ingin menulis puisi. Kisah yang ingin saya ekspresikan kasus diskriminasi di Indonesia. Ia memfiksikan kisah sebenarnya. Semacam historical fiction. Atau true story- Fiction. Gabungan fakta dan fiksi. Kombinasi cerita dan berita.

Pola itu tak sesuai dengan puisi yang ada sekarang. Saya ingin puisi panjang seperti novel. Juga ada catatan kaki seperi makalah ilmiah. Ini kebutuhan kisah diskriminasi itu.

Draft lima puisi panjang sudah jadi. Saya belum tahu harus diberi nama apa puisi seperti ini. Layakkah? Saya tak ingin nanggung.

Usia saya di tahun 2012 hampir 49 tahun. Sudah terlalu tua jika hanya menulis puisi iseng-iseng. Terlambat pula jika saya sekedar menjadi follower dari apa yang ada.

Saya perlu seorang penyair senior untuk diskusi. Ingin saya tahu apa pendapatnya? Apa sarannya? Saya ingin Ia menjadi partner kritis namun juga konstruktif.

Sapardi Djoko Damono menjadi pilihan pertama. Itu karena di samping penyair, ia juga akademisi. Ia doktor di bidang sastra. Ia juga profesor ilmu sastra. Ia pernah menjadi dekan

Ia pernah memimpin jurnal sastra. Ia juga pernah mengurus pusat dokumentasi sastra. Juga akademi Jakarta. Sapardi sosok sastrawan yang lengkap.

-000-

Datanglah momen itu. Saya lupa tepatnya. Entah akhir 2011, atau awal 2012. Yang jelas, berbulan sebelum April 2012, karena buku puisi esai saya pertama, Atas Nama Cinta, terbit tahun 2012, bulan April.

Sapardi datang bertandang ke kantor saya. Saat itu, usianya 72 tahun. Saya merasa terhormat, Ia sendiri memilih ingin datang ke kantor.

Ia membawa beberapa jurnal puisi, terbitan bahasa Inggris: Poetry. Saya ingat kalimat pertamanya. Ia memanggil saya pak Denny. Saya juga memanggilnya Pak Supardi.

“Pak Denny, jurnal puisi ini untuk anda. Tahun ini tepat 100 tahun usia jurnal ini. Jika anda membaca Jurnal ini sejak kelahirannya hingga sekarang, anda akan terkesima. Sejarah perjalanan puisi dunia semua terekam dalam artikel di serial jurnal ini.”

Saya tak ingat kata- kata detailnya. Uraian di atas saya ambil secara bebas dari memori.

Ujar Sapardi lagi, “Saya merindukan terbit jurnal puisi seserius ini untuk Indonesia. Bagus jika satu ketika pak Denny tergerak untuk ikut mempublikasikannya.” Kami pun terlibat dalam percakapan panjang soal kemungkinan bersama menerbitkan Jurnalisme sejenis Poetry.

Lalu saya pun memulai maksud berdiskusi dengannya. Saya berikan draft cetak buku Atas Nama Cinta. Saya ingin, Sapardi membaca buku ini. Jika bisa, memberi pengantar.

Saya ceritakan juga. Saya perlu nama untuk jenis puisi ini. Apakah pak Sapardi punya nama yang cocok?

Sapardi berjanji membacanya. Apakah ia bersedia memberi pengantar? Ujarnya, soal itu kita bicarakan kemudian. Ia ingin membacanya dulu.

Kembali Sapardi bersemangat bercerita soal Jurnal Poetry itu. Ia juga banyak bercerita kekecewaannya atas majalah puisi atau satra di Indonesia.

Sekitar 80 persen percakapan kami dalam jumpa tersebut, isinya saya mendengar ia bercerita soal Jurnal Puisi.

-000-

Setelah pertemuan itu. Setelah Sapardi membaca draft buku puisi Atas Nama Cinta. Kami berjumpa lagi. Jika tak salah, kami berjumpa di Kafe saya, Pisa Kafe, di Menteng.

Di luar dugaan saya, Sapardi semangat sekali. Ia katakan, “Pak Denny membawa cara baru penulisan puisi. Catatan kaki di puisi ini istimewa. Memang sudah banyak puisi dengan catatan kaki. Tapi ini catatan kaki yang berbeda. Ia berisi kumpulan data dan fakta.

Tak hanya cara penulisan. “Tapi isi puisi pak Denny pun berbeda.” Ia memuji saya membawa topik yang jarang dibicarakan dalam puisi Indonesia. Seperti Isu Ahmadiyah. Isu LGBT.

Sapardi menyatakan bersedia memberi pengantar. Semua yang ia katakan itu, Ia akan masukkan dalam pengantarnya. (1)

Kamipun berdiskusi soal nama yang tepat untuk jenis puisi ini. Sapardi sempat menyebut: Puisi Naratif. Prosa Liris. Puisi Berita. Puisi Investigatif.

Saya tanyakan, bagaimana jika namanya Puisi Esai? Sapardi mengkerutkan kening. Ujarnya, memang sudah ada Foto Esai. “Tapi tak apa pak Denny memberi nama Puisi Esai. Pak Denny yang merumuskan puisi ini. Ya Pak Denny juga yang berhak memberi nama,” ujar Sapardi.

Dalam kata pengantar buku saya itu, Sapardi juga menulis:

“Gagasan dan karangan yang diberinya label Puisi Esai penting untuk dicatat dalam perkembangan puisi kita.”

“Saya kira ia tidak perlu risau apakah jenis puisi yang dipilihnya ini akan ditulis juga oleh penyair lain kelak. Ia sudah menawarkan suatu cara penulisan baru, dan itu sudah lebih dari cukup.”

-000-

Terbitlah kemudian buku puisi esai itu. Respon dunia sastra mulai muncul. Terlebih lagi ketika terbit buku 33 Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam dunia Sastra Indonesia. Buku itu diterbitkan PDS HB Jassin kerja sama dengan Gramedia. Tebalnya 700 halaman lebih.

Tim 8 dalam buku itu, ikut memilih saya sebagai salah satu penyair yang berpengaruh. Puisi esai yang saya perkenalkan, juga diikuti penulis lain. Terbit sudah saat itu lebih dari 20 buku puisi esai oleh penyair lain.

Sapardi termasuk penyair yang membela puisi esai di publik. Dalam wawancara tahun 2014, dua tahun setelah terbit buku puisi esai, Sapardi memperkuat apa yang Ia tulis di dalam pengantar.

Bahwa ia (Sapardi) belum pernah melihat dalam sastra Indonesia, puisi dengan catatan kaki sebagaimana dalam puisi esai. (2)

Soal buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh, Sapardi termasuk santai saja menanggapinya. Ujarnya ini kan soal opini. Yang tak setuju, ya silahkan membuat opininya sendiri.

Soal bagus dan tak bagus itu relatif. Bagi saya, ujar Sapardi, itu Novel Siti Nurbaya yang diagungkan orang, itu jelek sekali. Juga novel Pramudya, yang bagus hanya Bukan Pasar Malam. Karena ia masuk penjara, Pram menjadi pahlawan, itu gombal.

Demikianlah Sapardi. Ia lurus saja. Berani melawan arus.

Sejak terbit buku Atas Nama Cinta (2012), saya dan Sapardi hanya berhubungan sesekali. Kadang saya yang menyapa dulu. Kadang Sapardi yang menyapa.

Sungguhpun sudah sangat jarang berjumpa, Jejak Sapardi Djoko Damono abadi dalam perjalanan puisi esai. Kini puisi esai sudah resmi menjadi kata baru dalam Kamus Bahasa Indonesia.

Selamat jalan, Pak Sapardi. Selamat jalan Senior. Selamat jalan, Maestro. ***

Catatan;

1. Lihat pengantar Sapardi di buku puisi esai Denny JA, Atas Nama Cinta
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/988143041373798/

2. Wawancara Sapardi: “Sastra Mau tak Mau Masuk ke dalam Kapitalisme.”
https://m.merdeka.com/peristiwa/sapardi-sastra-mau-tidak-mau-masuk-ke-dalam-kapitalisme.html
Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/3052793984816730/?d=n

Denny JA
Konsultan Politik/Penulis/Penggiat Media Sosial

Opini Redaksi Tamu

Pemahaman dan Pemanfaatan Literasi Digital Bagi Orang Tua pada Era Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Anik Hanifatul Azizah, S.Kom, M.IM

Istilah literasi digital tidak asing lagi bagi masyarakat, namun bagaimana memahami dan memanfaatkan digital dengan bijak adalah hal yang perlu dilatih dan terus dipelajari. Mengapa perlu memahami literasi digital? Karena sebenarnya digitalisasi ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), literasi digital adalah kemampuan dan kecakapan menggunakan teknologi digital, memahami isi dan informasi, serta menjalankan perannya secara efektif dalam lingkungan digital.

Terdapat tiga kata kunci dalam definisi di atas, pertama kata ‘menggunakan’, dapat dipahami bagaimana kita sendiri atau anak mampu menggunakan teknologi sesuai fungsinya. Kemudian kata ‘memahami’ berarti adalah bagaimana kita paham value dari sebuah media tersebut, dan ketiga adalah ‘menjalankan’ yaitu bagaimana kita atau anak dapat memposisikan diri dengan dunia digital yang dihadapi.

Pemahaman literasi digital ini disampaikan pada kegiatan pengabdian masyarakat Universitas Esa Unggul bertajuk Edukasi Smart Parenting pada peringatan hari ibu 22 Desember 2021 dengan menggandeng komunitas bidan EBSCO yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Literasi digital sangat penting untuk diterapkan masyarakat, terutama generasi orang tua millennial ataupun baby boomers sebagai pelaku digital immigrant. Terdapat dua generasi yaitu generasi digital native dan generasi digital immigrant.

Generasi digital native merupakan para generasi muda yaitu mereka yang sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan kemajuan digital. Sedangkan, generasi digital immigrantmerupakan mereka yang sejak lahir tanpa adanya kemajuan digital atau teknologi, maka mereka perlu mempelajari lagi teknologi yang ada nantinya. Anak-anak dari generasi millennial dan baby boomers ini termasuk generasi digital native, sedangkan orang tuanya sendiri mengenal digital di saat remaja atau bahkan sudah beranjak dewasa. Inilah yang menjadi tantangan terbesar. Seorang digital immigrant ditantang untuk mendidik digital native.

Elemen penting digital literasi Bukan hanya sekadar definisi, tapi esensi. Sebagai orang tua dituntut untuk paham dan membiasakan hal ini pada literasi digital sehari-hari. Beberapa tips menerapkan pola asuh digital yang baik yaitu, menjaga komunikasi dengan anak, membekali diri dan terus belajar, membuat aturan bersama anak, menjadi teladan digital yang baik bagi anak serta memanfaatkan aplikasi parental control dalam penggunaan gadget anak.

Aplikasi parental control dapat membantu orang tua mendampingi anak di dunia digital, tapi tidak dapat menggantikan peran orang tua. Kegiatan anak selama pandemi sebagian besar dilakukan secara daring, tugas orang tua adalah mendampingi anak. Orang tua hendaknya paham esensi dari kegiatan belajar daring tersebut. Orang tua juga sebaiknya paham aplikasi atau platform apa yang digunakan anak selama kegiatan belajar berlangsung. Sebagai orang tua dari generasi digital native harus siap dan rela banyak belajar untuk pemahaman digital yang baik. Menjadi teladan digital yang baik dapat menjadi upaya yang tepat untuk menumbuhkan digital wellbeing atau kesejahteraan digital pada masyarakat. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Sistem Informasi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Aktifitas Fisik Untuk Ibu Hamil Saat Pandemi

meldachaniago

Published

on

Oleh : Dr. Erry Yudhya Mulyani, S.Gz, M.Sc

Pandemi Covid19 membatasi aktivitas fisik manusia. Masyarakat tidak lagi dapat leluasa bergerak. Dampaknya banyak di antara kita merasa menjadi kurang fit dan bugar. Begitu juga dengan ibu hamil. Padahal, aktivitas fisik bagi ibu hamil sangat dibutuhkan untuk kesehatan janin dan dirinya sendiri. Akibatnya dalam kondisi pandemik ini, ibu hamil yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit harus lebih waspada.

Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertajuk Edukasi Smart Parenting di Era Digital pada 22 Desember 2021 lalu, fenomena yang dihadapi ibu hamil selama masa pandemik menjadi salah satu topik bahasan yang dianggap penting untuk diangkat. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan fisiologis dan anatomis yang terjadi pada perempuan hamil membuat pergerakan ibu menjadi terbatas, apalagi ditambah dengan kondisi pandemik seperti sekarang.

Padahal sistem imun ibu diharuskan beradaptasi dengan keadaan pandemik ini sebagai bentuk pertahanan terhadap ibu dan janin. Sistem imun yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan  perempuan hamil dalam menjaga kesehatan fisiknya selama masa kehamilan adalah dengan melakukan olahraga dan aktifitas fisik. Olahraga merupakan gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Contoh olahraga yang dapat dilakukan ibu adalah jogging, yoga dan berjalan kaki. Sedangkan aktifitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menghasilkan energi, misalnya bersih-bersih rumah, menyapu. Ibu dapat berolahraga selama 20 – 30 menit sebanyak 3 – 4 kali perminggu.

Olahraga dan aktifitas fisik selama kehamilan sangat dianjurkan dan penting dilakukan. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam proses persalinan, mengurangi stress kehamilan dan menjaga kenaikan berat badan normal. Oleh sebab itu penting dilakukan ibu dalam menjaga sistem imun dimasa pandemik ini. Namun ibu hamil tidak disarankan untuk melakukan olahraga dan aktifitas fisik berat karena dapat membahayakan kondisi ibu dan janin.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, aktifitas fisik dan olahraga berperan sebagai modulator dalam sistem imun. Selama dan setelah melakukan aktifitas fisik terjadi peningkatan limfosit dan pelepasan sitokin pro dan anti-iflammatory. Hal ini berdampak pada rendahnya kejadian gejala penyakit infeksi pada orang yang secara rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga (da Silveira M et al 2021). Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa ibu hamil yang rutin melakukan aktifitas fisik dan olahraga secara signifikan menurunkan kenaikan berat badan selama kehamilan yang berlebih (Wang J et al 2019).

Acara pengabdian masyarakat yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom ini, digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu, di antaranya dengan menyelenggarakan pelatihan bidan homecare binaan EBSCO Community, serta acara temu kangen seluruh bidan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan melalui bantuan pendanaan program pembelajaran kolaboratif yang berorientasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat tahun 2021. (***)

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Gizi, Universitas Esa Unggul

Continue Reading

Opini Redaksi Tamu

Ayo Tetap Jaga Prokes, Catatan Hendry Ch Bangun

Avatar

Published

on

Ketika tulisan ini dimuat, Senin 4 Oktober, hanya ada 922 kasus positif virus Corona dalam 24 jam terakhir. Luar biasa, di bawah angka 1.000 ini membuat kita bangga dan bahagia. Dibandingkan bulan Juli lalu yang mencapai 25.000-an, ketika semua fasilitas kesehatan tidak mampu melayani pasien yang datang untuk dirawat.

Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura yang kini setiap harinya mencapai 2000-an pasien positif Covid-19 sejak awal Oktober 2021, atau Malaysia yang sempat menyentuh 20.000-an pada Agustus dan di Oktober mencapai 9000-an.

Gerakan vaksinasi massif yang dilakukan pemerintah, dengan ujung tombak Kemenkes, Polri, dan TNI menunjukkan hasilnya walaupun belum mencapai target dua juta perhari sebagaimana diminta Presiden Jokowi. Tetapi dengan satu jutaan perhari, hasilnya sudah membaik.

Fasilitas kesehatan utama di Jakarta dan hampir seluruh kota besar di Indonesia tidak lagi full, mampu menerima pasien yang ada. Wisma Atlet yang mampu menampung ribuan orang, kini sudah tinggal puluhan. Tidak ada lagi antre ambulan memasukkan pasien. Justru yang tampak adalah orang pulang karena selesai dirawat.

Sukses ini juga dikarenakan sikap konsisten pemerintah, yang semula dijalankan trial by error, sudah menemukan cara jitu melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dievaluasai setiap pekan atau dua minggu sekali. Setiap kota dipantau pelaksanaan vaksinasi, lalu tracing, dan pemberlakukan protokol kesehatan.
Evaluasi di setiap akhir pekan akan menentukan tingkatan PPKM berikutnya. Ditambah dengan dorongan vaksinasi, yang langsung diberikan Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet, dan duet Panglima TNI-Kapolri, dengan menyaksikan ke lapangan dan memberi motivasi, memberi efek besar.

Kita bangga bahwa Indonesia masuk dalam klub negara yang 100 juta penduduknya telah divaksin dan juga kita patut senang karena dipuji oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dalam keberhasilan menangani pandemik Covid-19.

***

Ya sudah terbukti, kita tidak terpuruk dalam hal kesehatan, dan juga tidak terseret dalam krisis ekonomi, yang seandainya dulu melaksanakan lockdown, akan semakin bangkrut. Lockdown itu membuat penduduk di Vietnam, Thailand, Malaysia, menjerit-jerit karena berbulan-bulan tidak bisa bekerja, tidak bisa berdagang, sebab ekonomi rumah tangga hancur. Sementara di Indonesia ini selain ada skema bantuan sosial, pelonggaran kegiatan memungkin adanya geliat ekonomi, meski bergerak secara pelahan-lahan.

Kita menyaksikan di televisi, membaca di suratkabar atau media online, sektor transportasi sudah bergerak agar cepat. Penerbangan untuk jalur-jalur tertentu tingkat keterisian penumpang telah mencapai 75 persen. Mal dan pertokoan sudah dibuka. Tempat-tempat wisata, mulai dari Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta, Bandung, sudah dipenuhi oleh warga yang jenuh karena terlalu lama dikurung di rumah akibat pandemi.

Tidak hanya itu, hotel pun sudah mulai penuh. Baik oleh keluarga yang mengambil program staycation juga karena kegiatan pemerintah seperti rapat-rapat lembaga dan kementerian sudah berlari kencang. Ya, karena selama pembatasan kegiatan dilarang, maka begitu ada kelonggaran kegiatan kembali ke jalur normal agar serapan anggaran mencapai target.

Tetapi euphoria ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagaimana disampaikan Luhut Panjaitan yang dipercaya menjadi komandan pengaturan PPKM, masyarakat harus tetap waspada dan tetap ketat dengan prokes yang ditetapkan pemerintah.
Adanya aplikasi PeduliLindungi, yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat terbang, naik kereta api, masuk ke hotel-hotel, mal dan pertokoan, bahkan sudah diujicoba ke pasar modern, ikut mendukung pengawasan kegiatan masyarakat. Sistem itu menjadi semacam seleksi, agar di suatu pusat keramaian atau kegiatan, orang yang berkumpul adalah orang-orang yang bebas virus. Dengan demikian akan dicegah terjadinya penularan.

Hanya saja kita juga menyaksikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang karena alasan tertentu tidak menggunakan masker di tempat umum. Dari sisi ekonomi, masker memang harus dibeli dan harganya tidak murah, antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000 perlembar. Apabila dalam satu keluarga ada empat orang dan dianggap sehari digunakan sekali, itu jumlah yang lumayan.

Ada juga yang malas karena terlalu percaya diri bahwa dia sehat tanpa memikirkan lingkungan saat dia beraktivitas yang bisa saja tertular. Ada yang memang bawaannya “menantang” semua kebijakan yang dibuat pemerintah dan tidak ingin diatur karena itu privacy-nya.

***

Ancaman yang disebut-sebut sudah mengintai adalah gelombang ketiga, pada Desember atau awal Januari 2022 karena adanya libur panjang Natal dan Tahun Baru, yang biasanya juga disertai dengan pulang kampung, bertemu kerabat.

Penularan bisa terjadi di perjalanan apabila tidak ada penjagaan protokol kesehata baik oleh para penumpang maupun pelaksana seperti bus ataupun transportasi massal lainnya. Lalu kerumunan karena saling bersilaturahmi atau kumpul keluarga yang sering disertai kesungkanan mengingatkan prokes.

Kita sudah tahu bagaimana susahnya kalau ada penularan massif seperti yang terjadi bulan Juli lalu akibat libur Idul Fitri, rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan kolaps, dan ketersediaan obat dan vitamin sulit dan harga-harga naik.

Mudah-mudahan kita semua mau belajar dan coba menghindari kelalaian yang dulu terjadi. Hanya keledai yang terantuk batu yang sama dua kali, kata pepatah. Masak sih kita keledai?

***
Jakarta, 04 Oktober 2021.

Penulis
Hendry Ch Bangun
Wartawan Senior/Wakil Ketua Dewan Pers

Continue Reading
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Terpopuler